Semua Bab Omega keeper Of Crystalon : Bab 131 - Bab 140

Oasis Matahari Terbenam bukanlah surga hijau yang mereka bayangkan. Ini adalah pos terluar yang keras, sebuah luka di tengah lautan pasir yang tak kenal ampun. Bangunan-bangunannya terbuat dari batu pasir yang lapuk dan kayu kering, didirikan mengelilingi satu-satunya sumber air sejauh mata memandang. Udaranya dipenuhi oleh aroma keringat, debu, dan binatang tunggangan, bercampur dengan bau samar dari alkohol murah.Tempat ini adalah rumah bagi mereka yang telah menyerah atau mereka yang terlalu gila untuk takut pada gurun. Para petualang dengan mata yang letih dan tatapan kosong, para penjaga perbatasan yang sinis dengan armor kulit yang usang, dan para pedagang yang menjual artefak-artefak aneh yang mereka pungut dari tepi gurun—tulang-tulang makhluk yang tidak dikenal dan kristal-kristal yang memancarkan cahaya redup.Luca dan Seraphina masuk ke satu-satunya kedai di oasis itu, sebuah ruangan remang-remang yang dipenuhi oleh tawa kasar dan tatapan mata yang waspada. Mereka duduk di

Setelah berhasil melewati penjaga pasir pertama, Luca dan Seraphina tidak merasakan kemenangan. Sebaliknya, keheningan yang mengikuti terasa lebih berat, lebih menekan. Mereka kini tahu aturan main di kota terkutuk ini: setiap musuh adalah cerminan dari jiwa yang hilang, dan setiap pertarungan adalah sebuah teka-teki emosional.Dengan tangan yang masih bertautan erat, sebuah jangkar di tengah lautan keheningan, mereka melanjutkan perjalanan menuju menara observatorium yang menjulang di pusat kota. "Lagu" pasir itu tidak lagi terasa seperti serangan acak. Setelah mereka berhasil menenangkannya dengan harapan, lagu itu seolah berubah. Kini, ia terasa seperti sebuah panggilan, sebuah melodi samar yang menuntun mereka, menarik mereka lebih dalam ke jantung Xylos.“Kau merasakannya juga, kan?” bisik Seraphina, suaranya nyaris tak terdengar, takut memecah keheningan yang rapuh. “Lagunya… seolah menunjukkan jalan.”“Aku merasakannya,” jawab Luca. “Rasanya seperti mengikuti benang di dalam la

Keheningan yang mengikuti pernyataan terakhir pemuda itu terasa lebih berat daripada usia lima ratus tahun yang baru saja ia klaim. Luca dan Seraphina hanya bisa menatap, mencoba memproses kemustahilan di hadapan mereka: seorang anak laki-laki yang lebih tua dari kerajaan mana pun yang mereka tahu, yang berbicara tentang kematian mereka dengan santai seolah sedang membahas cuaca.Setelah apa yang terasa seperti selamanya, Luca akhirnya menemukan kembali suaranya. “Kau… kau bilang kami akan mati,” katanya, suaranya tegang. “Mengapa? Apa yang ada di dalam menara itu?”Pemuda itu—yang entah mengapa terasa salah untuk terus memanggilnya 'pemuda'—menghela napas, sebuah gestur yang seolah membawa beban dari berabad-abad kebosanan. “Kalian orang luar selalu langsung ke intinya, ya? Baiklah, baiklah.”Ia memberi isyarat agar mereka mengikutinya, lalu berjalan dengan santai menuju sebuah bangku batu yang hancur di dekatnya, duduk di atasnya seolah itu adalah sebuah takhta. “Duduklah. Ini akan

Di alun-alun yang sunyi, di bawah tatapan dua matahari yang mulai terbenam, Kai menatap Luca dan Seraphina dengan ekspresi yang tidak lagi main-main. Kenakalannya telah lenyap, digantikan oleh keseriusan seorang penjaga kuno yang akan mengirim dua prajurit ke medan perang yang tak terlihat.“Aku sudah mengajari kalian cara bernyanyi,” katanya, suaranya yang tenang kini terdengar berat. “Tapi ingat, badai yang sesungguhnya tidak akan memberimu waktu untuk pemanasan. Jika harmoni kalian goyah bahkan hanya sedetik, ia akan menelan kalian. Jangan melawannya. Selaraskan dengannya.”Ia berhenti sejenak, tatapannya menusuk lurus ke mata Luca. “Dan yang terpenting: jika kalian mencoba menghancurkannya, kalian akan menghancurkan teman kalian juga. Mengerti?”Luca dan Seraphina mengangguk serempak.“Bagus,” kata Kai. “Sekarang pergilah. Dan cobalah untuk tidak mati dengan cara yang membosankan.”Dengan peringatan terakhir yang aneh itu, ia berbalik dan menghilang kembali ke dalam bayang-bayang

Di hadapan pintu kayu yang lapuk itu, berdiri penjaga terakhir. Ia tidak memiliki pedang. Ia tidak memiliki armor. Ia hanyalah sebuah bayangan, siluet seorang pria tinggi yang sedang berjalan menjauh, membelakangi mereka. Namun, dari sosok yang sunyi itu, memancar gelombang keputusasaan yang begitu murni, begitu absolut, hingga membuat udara di sekitar mereka terasa berat dan dingin.Ini adalah inti dari badai luka yang paling dalam."Pada akhirnya… semua orang akan pergi."Perasaan itu, yang diproyeksikan oleh Ketakutan akan Ditinggalkan, menghantam Luca dan Seraphina seperti gelombang pasang yang tak terlihat. "Lagu" kepercayaan yang telah mereka bangun dengan susah payah mulai goyah. Genggaman tangan mereka terasa dingin.Di dalam benak Luca, ia melihat bayangan teman-temannya yang terpencar di dunia baru ini—Aeri, Veyran, Trint, Fyren—perlahan-lahan memudar, meninggalkannya sendirian.Di dalam hati Seraphina, ia kembali merasakan kesepian yang telah menemaninya sejak malam kotanya