Langit sudah gelap ketika Aurelie sampai di rumah. Bukan karena lembur, tapi karena dia menunggu semua orang di kantor bubar dulu, baru berani pulang.Langkahnya gontai. Kunci pintu dia buka dengan tangan gemetar. Begitu pintu tertutup kembali di belakangnya—semua tenaga di tubuhnya runtuh bersamaan dengan air matanya.“Aurelie?”Suara Mami Nadira datang dari ruang tengah.Aurelie buru-buru menghapus pipinya, tapi terlalu banyak yang mengalir. Terlalu deras untuk diseka hanya dengan punggung tangan.“Rel… Sayang, kamu kenapa?” tanya Nadira cemas, langsung menghampiri. “Rel, hey, lihat Mami. Ada apa, nak?”Dan saat tangan hangat itu menyentuh bahunya, semua pertahanan Aurelie runtuh.Tangisnya pecah. Keras. Dalam. Histeris.“Aurelie, astaga, tenang… tenang dulu, Sayang….”Tapi Aurelie justru jatuh berlutut. “Mi… aku bodoh banget, Mi… aku—aku enggak bisa tahan lagi.”Nadira langsung ikut jongkok, memeluk putrinya erat-erat.“Tenang dulu, napas… pelan-pelan ceritanya… ada apa?
Terakhir Diperbarui : 2025-07-15 Baca selengkapnya