Embun belum benar-benar menguap dari kaca jendela mobil hitam yang melaju cepat ke arah Selatan Jakarta. Shaquelle duduk di balik kemudi sendiri, wajahnya tegang, mata menatap jalan tanpa berkedip.Tadi malam, dia tak bisa tidur. Suara mami Nadira bergema terus-menerus di kepala, “Kalau kamu benar-benar cinta, kamu tahu kadang membiarkan seseorang sembuh … lebih penting daripada menjelaskan kenapa kamu melukainya.”Tapi pagi ini, naluri mengalahkan logika.Dia tak bisa lagi menunggu. Tak bisa diam. Dia harus bicara. Harus bertemu. Hari ini. Sekarang.Mobilnya berhenti tepat di depan pagar rumah Aurelie. Dan seolah semesta sedang bermain-main, pada saat yang sama, mobil putih milik mami Nadira baru saja bergerak keluar.Shaquelle bersembunyi dengan menurunkan sandaran jok berharap mami Nadira tidak menyadari keberadaannya.Setelah mobil mami Nadira menghilang di belokan, Shaquelle buru-buru keluar. Dia membuka pagar kecil di samping rumah, masuk ke halaman seperti orang yang seda
Pagi itu, rumah terasa lebih hening dari biasanya. Burung-burung masih berkicau di luar jendela, tapi tak satu pun dari suaranya bisa menembus lapisan berat di dada Aurelie.Di meja makan, sarapan sederhana sudah terhidang, ada roti panggang, telur rebus, dan susu coklat hangat. Tapi tak ada yang menyentuhnya.Mami Nadira duduk diam, mencoba menyembunyikan air matanya dengan sibuk mengoleskan mentega ke roti, meski tangan gemetar halus.Aurelie berdiri di ambang pintu dapur, jaket jeans terlipat di lengan, koper kecil di sisi tubuhnya.“Mi … aku berangkat ya,” ucapnya pelan, seperti takut menyentuh luka sendiri.Nadira hanya menoleh. Senyumnya tipis, tapi matanya merah. Ia bangkit lalu memeluk Aurelie erat—erat sekali. Tak banyak kata.“Kalau kamu sampai sana … langsung kabari Mami. Dan kalau mulai merasa terlalu sepi … ingat, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu.”Aurelie mengangguk di pelukannya. “Iya, Mi.”“Sarapan dulu ya sayang ….” Mami Nadira menggeser piring berisi
Lorong rumah sakit sore itu lengang. Aroma disinfektan tipis bercampur udara AC yang terlalu dingin. Shaquelle berdiri di depan pintu klinik rawat jalan yang setengah terbuka, ragu untuk mengetuk.Di dalam, Nadira tengah merapikan berkas medis dan mengenakan jas putih. Wanita itu tampak tenang seperti biasa, tapi saat melihat sosok Shaquelle berdiri di ambang pintu, matanya sempat mengerjap.“Shaquelle,” sapanya, pendek dan sopan.“Maaf mengganggu, Tante. Aku tahu ini mendadak.”“Masuklah.” Tapi ekspresi wajah mami Nadira tampak enggan bicara dengan Shaquelle.Shaquelle masuk perlahan, jas kerjanya masih rapi, tapi wajahnya terlihat letih, bahkan terlihat kerutan halus di keningnya dan kantung mata hitam yang membuat Shaquelle terlihat seperti sedang memiliki beban hidup yang berat.“Aurel … dia baik-baik saja?” tanya Shaquelle, nyaris seperti seorang anak laki-laki mencari restu.Nadira menatapnya sejenak, lalu menghela napas. “Dia mencoba. Tapi kamu pasti sudah tahu, luka sep
Nada sambung terdengar tiga kali sebelum suara lembut menjawab di seberang.“Halo, Bunda Aura?”“Zara. Maaf mengganggu waktu sibuk kamu.”“Enggak apa-apa, Bun. Ada yang bisa Zara bantu?”Aura menghela napas perlahan. “Greta sedang menginap di sini.”Hening sesaat. Lalu suara Zara terdengar waspada. “Greta? Tunangannya Shaquelle yang dulu?”“Yang merasa dirinya masih tunangan,” sahut Aura datar. “Dia datang membawa koper, menyalahkan Shaquelle, dan lebih buruk lagi… memburuk-burukkan seorang gadis magang yang sedang dalam posisi tersudut.”Zara menghela napas keras. “Gadis magang? Siapa Aurelie?”“Kamu tahu anak itu?” tanya Aura cepat.“Iya, Zara dekat dengan ibunya. Nadira. Kami sahabat waktu coass. Aurelie itu anak baik. Cerdas dan punya etika.”Nenek Aura menahan senyum tipis. “Nah, kalau begitu kamu mengerti kenapa Bunda perlu bantuan kamu.”Zara langsung menangkap maksudnya. “Zara akan ke sana sekarang.”“Greta harus pe
Greta keluar dari restoran dengan langkah cepat, sepatu high heels-nya menghantam aspal seperti ketukan marah. Tangannya sibuk membuka WhatsApp, membuka chat Shaquelle yang terakhir kali dibacanya semalam—tidak ada balasan.Seen. 23.42.“Cowok brengsek,” gumamnya, membuka pintu mobil sewaan. “Biar aku ajarin, siapa yang enggak boleh dipermainkan.”Pukul 15.16 Greta sampai di lobby Private Residence Gunadhya PenthouseGreta menapakkan kaki ke lantai marmer lobby dengan percaya diri, kacamata hitamnya masih bertengger angkuh di batang hidung. Tas Dior menggantung di bahu, ponsel masih dalam genggaman.“Selamat sore, Nona Greta,” ujar resepsionis dengan ekspresi kaku.Greta menoleh, mengangkat alis. “Aneh. Biasanya kalian senyum. Ada yang salah?”Resepsionis ragu sejenak. “Kami diminta tidak mengizinkan Anda naik ke unit 59-C.”Greta mengerutkan kening. “Apa maksud kamu?”Sebelum resepsionis menjawab, dua petugas kepolisian berpakaian sipil
Sebuah pesan masuk ke layar ponsel Zaviya saat dia baru saja menyandarkan tubuh ke sofa empuk ruang televisi rumahnya.Greta: Zaviyaaa, I’m in Jakarta for a while! Miss you so bad. Let’s do lunch? I really need a familiar face today. XO.Zaviya memandang notifikasi itu selama beberapa detik sebelum akhirnya meletakkan ponselnya di meja kopi, tanpa membalas.Dia tidak pernah benar-benar benci pada Greta. Tapi menyukainya juga tidak. Dulu, ketika pertama kali Greta datang bersama Shaquelle ke acara keluarga, Zaviya adalah orang pertama yang bersikap hangat. Menyambut, bertanya, tertawa atas lelucon receh Greta. Tapi dari hari ke hari, Zaviya mulai melihat sesuatu yang salah.Greta bukan hanya keras kepala. Dia keras hati. Dan berisik tanpa filter.Lalu ditambah curhatan mama Kejora yang menyatakan kalau beliau sangat tidak menyukai Greta karena foto-foto seksinya di Instagram bersama banyak pria.Bayangkan saja, bagaimana malunya mama Kejora yang sudah me