Semua Bab Pesona Presdir Dingin: Bab 91 - Bab 100

Baik Sam maupun Anton tidak langsung menanggapi ucapan Larissa. Jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya mudah saja. Sam hanya perlu menolak atau mengiakan. Namun, beberapa detik berlalu, pria itu tampak menimbang seolah ragu. Clarissa, putri pertamanya yang baru berusia lima tahun, sangat menyukai sosok Dirga. Masih membekas dalam ingatan Sam tentang pertemuan terakhir mereka tahun lalu yang dibumbui drama. Gadis kecil itu sulit dibujuk untuk berpisah dengan paman kesayangannya. Alhasil, Sam dan istrinya kesulitan menenangkan Clarissa. Gadis kecil itu pun pada akhirnya berhasil ditenangkan karena Dirga sendiri. Sam menepis ingatan itu. Dia menatap Larissa dengan senyum tipisnya. “Aku rasa, sebaiknya tidak sekarang, Tante,” tolaknya dengan nada suara yang terdengar hati-hati. Sam menambahkan, “waktunya belum tepat. Dirga baru saja menikah. Dia perlu menghabiskan waktu dengan istrinya, bukan dengan keponakannya.” Kekehan kecil di akhir ucapannya mengundang senyum di bibir Larissa.

Alisa membasahi tenggorokannya yang terasa kering saat mendapati raut wajah serius pria tampan di hadapannya. Batinnya meringis kecil. ‘Memangnya kapan Dirga tidak serius, sih, Al?’ Belum sempat memberikan penolakan, pria itu sudah pergi membawa piring miliknya ke arah wastafel cucian. Alisa segera bangkit untuk menyusulnya. “Dirga,” panggilnya dengan suara yang rendah. Dia membasahi bibir bawahnya. “Aku tahu niatmu baik,” sambungnya sambil berusaha memikirkan sebuah cara untuk memberikan penolakan secara halus. Namun, sejujurnya percuma saja memprotes Dirga karena akan selalu berakhir sia-sia. Tapi, tak ada salahnya mencoba, bukan? Lagipula baru memikirkan Dirga mengajarinya berenang saja sudah membuat perasaan Alisa tidak nyaman. Entah jenis perasaan apa, tapi detak jantungnya juga tidak aman. Kini, langkahnya tepat berada di samping pria itu. Mata besar Alisa menatap wajah tampan Dirga lekat-lekat. "Aku rasa lebih baik kamu bekerja saja daripada harus repot-repot mengajariku

Jika Sabrina tidak bisa menolak perintah Utari, lain halnya Alisa yang juga tidak bisa menolak perintah Dirga. Ralat, sebenarnya Alisa bukan tidak bisa, dia sudah mencoba …, tapi sulit menggoyahkan ucapan yang sudah ke luar dari mulut pria itu.Seperti situasi pagi ini, sebelum Dirga berangkat bekerja, dia sudah menurunkan satu perintah. “Usahakan jam delapan kamu sudah sampai. Jangan sampai terlambat.”Alhasil Alisa sudah berada dalam perjalanan selama lima belas menit menuju kolam renang yang terletak di blok depan kompleks perumahan Dirga tinggal. Sejenak, dia menghentikkan langkah untuk menghela napas lega.Tidak jauh dari langkahnya, bangunan kolam renang itu sudah tertangkap oleh mata besarnya. ‘Akhirnya …,’ batin Alisa sambil kembali melanjutkan langkah.Ya, Alisa tidak pergi menggunakan kendaraan baik mobil maupun sepeda motor, melainkan dia berjalan dengan kedua kakinya sendiri. Itu karena perintah kedua Dirga yang berbunyi, “karena jaraknya dekat, lebih sehat kalau kamu berj

Di sisi lain, Dirga yang tengah berada di ruang kerjanya masih menatap ke arah layar ponsel alih-alih terpaku pada layar laptop di hadapannya. Manik hitamnya menyorot tajam pada ruang percakapannya dengan Alisa.Pesan yang Dirga kirim hanya dibaca. Belum ada tanda-tanda wanita itu membalas pesannya.Satu helaan napas berat lolos dari mulutnya, diikuti dengusan kasar. Satu tangan Dirga menekan pangkal hidungnya begitu menyadari bahwa betapa konyol dirinya saat ini.Untuk apa dia menunggu balasan dari Alisa segala? Dan, kenapa pula Dirga sangat penasaran dengan reaksi Alisa ketika mengetahui Argo juga mengikuti kelas renang di tempat yang sama?Benar-benar tidak bisa dipercaya.Salah besar jika Dirga-lah yang sengaja mengatur rencana agar Alisa bisa bertemu Argo di sana. Karena kabar baiknya, itu kebetulan yang tak disengaja.Arus ingatan Dirga berputar ke sekitar satu bulan lalu saat Argo memutuskan membeli satu unit rumah di kompleks perumahan yang sama setelah meminta testimoni darin

Alih-alih tersinggung, Dirga justru menampilkan senyum miring di sudut bibirnya. Tanpa menanggapi nasihat Andra, dian menurunkan perintah dengan suara datarnya. “Jemput Alisa sebelum jam makan siang.”Sesaat, Andra dibuat tertegun sebelum membalas, “Oke … baik.”Tanpa Dirga ketahui, di belakang sana Andra sudah mengangkat kedua tangannya, menunjukkan kalau dirinya sudah menyerah. Sebagai teman sekaligus sesama pria tampan, dia sudah menunaikan tugasnya untuk memberikan nasihat terbaik.Selebihnya? Dirga pria dewasa. Mau didengarkan atau tidak, terserah.Andra hanya berdoa semoga Alisa cukup tahan menghadapi sikap Dirga yang sulit dibaca itu. Tapi, sejauh Andra memperhatikan … sepertinya memang Alisa cukup baik menahannya.Karena memikirkan nasib wanita itu, Andra jadi teringat akan satu hal. “Ah, aku baru ingat sesuatu, Ga,” celetuknya sambil mengerjapkan mata bulatnya.Dirga menoleh. Manik hitamnya menatap lurus ke arah pria itu. “Soal apa?” tanyanya sedikit tidak berminat. Meski be