Pesona Presdir Dingin のすべてのチャプター: チャプター 101 - チャプター 110

HWA! Rasa malu membuat Alisa menenggelamkan wajahnya dalam-dalam di atas lutut yang dipeluknya. Dia seolah melupakan fakta bahwa dirinya masih berada di dalam area kolam renang. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah bagaimana dia bisa menghadapi Dirga setelah ini? Tapi, mustahil bisa menghindari pria itu. Alisa menjerit pelan dalam hatinya. ‘Argh! Apa yang harus aku lakukan?’ Tangannya sedikit meremat poni panjangnya. Rasa frustasi menyerang kepalanya. Bisa-bisanya dia salah mengetik nama?! Seharusnya nama yang diketiknya adalah Virgo, bukan Dirga. Bukankah nama Virgo dari ke Dirga itu perbedaannya sangat jauh? Entah apa yang Alisa pikirkan semalam sampai-sampai bisa membuatnya berakhir tak karuan pagi ini. Dia membatin, ‘Kalau aku bilang hanya salah mengetik nama, itu terdengar tak masuk akal!’ Alisa menyesal karena hasil tulisan semalam belum sempat diperiksanya. Saat bangun pagi tadi, laptopnya memang sudah ada di meja kerja. Mati total. Mungkin karena semalam dibiarkan me

Bukannya Alisa tidak peduli, tetapi dia juga memiliki urusannya sendiri. Lagipula saat ini dia sudah menetapkan batasan untuk memilah dan memilih mana yang harus dipedulikan dan mana yang harus diabaikan.Dan mengenai tidak ada kabarnya Sabrina … itu yang Alisa abaikan. Dia mengedikkan bahunya. “Mungkin saja Sabrina menginap di rumah temannya dan lupa mengabari Bibi Tari.”Itu satu-satunya kemungkinan yang masuk akal di dalam kepalanya sekarang. Fokus Alisa kini sudah kembali pada paket dari Alexa. Rasa penasaran membuatnya ingin segera membuka paket kiriman tersebut.“Untung Lexa tidak mengirimkan ke rumah,” gumamnya sambil menghela napas lega.Bisa gawat. Alisa bahkan belum mengetahui kapan akan pergi ke sana. Jadi, mungkin saja hadiah pernikahan ini tidak akan langsung segera dibukanya.Jadi, ya … tepat sebelum hari pernikahannya, Alisa sempat memberi kabar pada Alexa lewat pesan singkat. Dan respons wanita itu? Alisa hanya menggelengkan kepala dan tak percaya karena Alexa melayang

“Dou.”DEGSapaan pendek yang tidak lagi terdengar asing bagi Alisa itu membuatnya meyakini bahwa dia tak salah mengenali sosok pria di hadapannya. Detak jantung Alisa sempat meningkat cepat.Namun, itu murni karena terkejut saja. Tampaknya pria yang disapa "Dou" juga tak kalah terkejutnya karena terlihat menatap Alisa dengan horror.Pria itu tampak menyapa balik Andra. "Hai, Dra!"Mata besar Alisa membola. Dia membatin, 'Lho? Mereka saling kenal?' Dia melanjutkan, 'aduhh, kenapa bisa situasinya kacau seperti ini?'“Siang, Produser Argo.” Andra kembali melayangkan sapaan.Ya, satu di antara dua pria itu adalah Produser Argo. Produser muda tersebut mengangguk singkat lantas melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift disusul pria di sebelahnya.Beruntungnya saat Andra melangkahkan kakinya mundur untuk memberi ruang pada pria-pria itu masuk ke dalam lift, Alisa juga melakukan hal yang sama.'Aku sebaiknya diam saja atau nanti malah jadi salah bicara,' batin Alisa yang kini memilih memundur

Dirga kemudian berusaha mengatur ekspresi wajahnya sedemikian rupa. Satu tangannya terangkat untuk melonggarkan dasi yang terasa mencekik leher. Tanpa menatap Andra, Dirga menyahut, “Kenapa aku harus khawatir?” Dia mendengus halus. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. “Alisa bukan anak kecil. Dia tahu cara menjaga dirinya sendiri.” Namun, ucapan itu tidak sejalan dengan isi kepalanya. Bagi Dirga, Alisa terkadang tidak bersikap dewasa. Malah terkadang bisa sangat impulsif, bahkan yang paling kentara adalah sikapnya yang labil. Pendiriannya tidak begitu kuat. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman yang tampak terlihat samar. Andra yang menangkap senyum samar Dirga kini menaikkan satu tangannya untuk menepuk bahu pria itu dengan santai. “Sesulit itu mengakui kalau kamu sudah goyah pada Alisa?” Andra ikut mendengus halus. Kalau bisa meralatnya, dia ingin mengatakan, “Sesulit itu mengakui kamu sudah menaruh hati pada Alisa?” Pertanyaan itu segera mendapatkan lirikan t

Alisa tak menduga akan duduk satu ruangan sambil menikmati secangkir teh hangat bersama seorang selebriti muda yang biasa dilihatnya tampil di layar kaca. Sosok Gauri Callysta kini duduk tepat di hadapannya dengan gayanya yang anggun. Sikapnya yang menawarkan Alisa minuman tampak manis di matanya. Sekilas, auranya juga menyegarkan.Rasa-rasanya gadis itu menunjukkan kepribadian yang hangat dan asli, bukan hanya sekadar kepribadian yang dibentuk oleh agensi perusahaan saja.“Tehnya enak. Terima kasih, Gauri,” ucap Alisa sambil menaikkan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum sekaligus membuka topik pembicaraan.Gauri balas tersenyum. Pun, matanya. “Syukurlah Kak Alisa menyukainya,” jedanya sambil meletakkan gelas mug-nya di atas meja. Mata indahnya menatap Alisa lekat-lekat. “Kalau Kak Dirga sedang di ruangan Gau, dia juga sangat menyukai teh ini.”Mendengar nama Dirga disebut, dalam sekejap, ingatan Alisa terlempar ke belasan menit lalu saat melihat Gauri yang memasangkan dasi untuk pri