Map merah itu masih tergeletak di meja, seperti benda asing yang menyedot semua cahaya di ruangan. Arga duduk menunduk, jemarinya mengepal di pangkuan, sementara Naya berdiri di dekat jendela, menatap kelap-kelip lampu kota.“Ga,” suara Naya pelan, namun bergetar, “aku tahu tawaran itu besar sekali. Tapi setiap pilihan besar selalu datang dengan bayangan kehilangan. Pertanyaannya, kehilangan apa yang sanggup kita terima?”Arga mengangkat kepala, matanya sayu. “Aku ingin percaya bahwa ini jalan untuk menyebarkan lebih banyak cahaya. Tapi aku takut, Nay. Takut jika cahaya itu berubah bentuk jadi sorot lampu panggung—terang, tapi membutakan.”Naya menoleh, menatapnya lama. “Kau tidak sendiri. Kita mulai ini bersama, dan kita harus menentukannya bersama.”Keesokan harinya, aula universitas dipenuhi wajah-wajah penting. Rektor, pejabat kementerian, jurnalis. Arga dan Naya duduk di deretan depan. Map merah itu kini di tangan seorang pejabat kementerian, yang berdiri di podium dengan suara l
Last Updated : 2025-09-04 Read more