Share

Bab 117. Kembali ke Desa

Penulis: Cahaya Asa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-09 21:31:39

Kereta menuju Surabaya berangkat tepat pukul tujuh pagi. Stasiun Gambir masih lengang ketika Arga dan Naya melangkah masuk dengan koper sederhana. Tidak ada iringan pejabat, tidak ada karpet merah. Hanya mereka berdua, duduk bersebelahan di kursi kelas eksekutif yang menghadap jendela.

Arga menarik napas panjang. “Lucu, ya. Keputusan sebesar itu diumumkan kemarin, tapi pulangnya tetap begini. Sunyi.”

Naya tersenyum kecil sambil menatapnya. “Justru itu indah, Ga. Kau tidak pulang sebagai pejabat, tapi sebagai bagian dari desa. Mereka yang menunggumu bukan kamera wartawan, tapi wajah-wajah yang mencintai apa adanya.”

Kereta melaju, meninggalkan gedung-gedung tinggi Jakarta. Perlahan, pemandangan berganti sawah hijau, sungai berkelok, dan rumah-rumah sederhana. Arga bersandar, matanya setengah terpejam, seolah setiap kilasan luar jendela membawanya pulang ke memori pertama kali ia menjejak di Desa Cahaya Laut.

Setibanya di Surabaya sore itu, mereka melanjutkan perjalanan dengan mobil sew
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 122. Berusaha Mandiri

    Pagi itu, udara di balai desa masih mengandung sisa asin dari laut. Angin membawa bau garam yang menusuk, bercampur dengan debu kapur dari papan tulis yang semalam penuh coretan strategi. Arga berdiri di depan, menatap deretan pemuda yang duduk di kursi bambu. Sebagian wajah mereka masih kantuk, sebagian lain tegang, tapi ada juga yang bersinar dengan semangat.“Kalau kita menunggu program dari pusat saja, kita akan terus jalan di tempat,” suara Arga memecah hening. Ia menuliskan satu kata besar di papan tulis: Mandiri. “Cahaya Laut harus bisa berdiri sendiri. Kita bisa menerima bantuan dari luar, tapi fondasinya harus dari kita sendiri.”Pemuda-pemuda itu saling pandang. Ada yang mengangguk, ada yang masih ragu. Lalu tangan Karjo terangkat pelan. Pemuda dengan tubuh kekar itu menatap Arga dengan keraguan bercampur tekad.“Kalau kita mandiri, apa tidak berbahaya, Mas? Maksud saya… pemerintah bisa saja marah. Apalagi kemarin waktu rapat di Jakarta, kita jelas-jelas menentang usulan dar

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 121. Tak Kenal Lelah

    Matahari pagi menyorot tajam ke pantai Cahaya Laut, tapi semangat warga tidak kalah panas. Gudang ikan kembali penuh, kincir angin sudah tegak meski sederhana, dan toples abon dengan label emas berjajar rapi di meja panjang balai desa. Semua tampak siap menuju pameran UMKM di Surabaya.Namun Arga tahu, perjalanan tidak akan mulus. Dua kali sabotase sudah jadi peringatan: ada yang tidak rela Cahaya Laut bersinar.“Ga,” bisik Naya saat mereka menata dokumen pengiriman, “kita harus hati-hati. Musuh kita bukan cuma iri hati. Ada uang, ada kekuasaan di baliknya.”Arga menatap wajah Naya, lalu mengangguk. “Aku sudah menduga. Karena itu, kita tidak hanya menyiapkan produk. Kita juga harus menyiapkan cerita.”“Cerita?” Naya mengerutkan kening.“Ya. Produk bisa dibajak, modal bisa diganggu, tapi kalau cerita kita sampai ke hati orang, itu tidak bisa dicuri.”Siang itu, Arga mengumpulkan para pemuda dan ibu-ibu di balai desa. Meja penuh dengan contoh produk: abon, kerupuk, sambal, dan serundeng

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 120. Iri Pada Perkembangan Desa

    Sore itu, Cahaya Laut seperti hidup dua kali lipat dari biasanya. Di balai desa, meja-meja penuh dengan toples abon, kerupuk ikan, dan botol sambal hasil olahan. Suara tawa terdengar di antara pemuda yang sedang mengepak produk. Di luar, kincir angin kecil terus berputar, lampunya menyala walau matahari sudah condong ke barat.Namun, di sudut gelap dekat pohon kelapa tua, sepasang mata memandangi semua itu. Tatapannya bukan kagum, melainkan penuh iri. Lelaki itu bernama Darma—bekas nelayan yang sejak lama merasa tersisih dari lingkaran baru Arga. Dulu ia sering jadi pemimpin kelompok melaut, tapi semenjak Arga datang dengan ide sekolah, koperasi, dan olahan ikan, namanya makin tenggelam.“Apa mereka pikir Cahaya Laut jadi besar tanpa aku?” gumamnya, mengepalkan tangan.Keesokan paginya, Arga berdiri di beranda sekolah. Anak-anak duduk rapi menunggu pelajaran. Pemuda desa juga berkumpul, membawa catatan tentang produksi abon semalam. Naya menata kertas di tangannya, bersiap membahas re

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 119. Harapan Baru

    Pagi itu, matahari menyorot ke pantai Cahaya Laut dengan lembut. Riak ombak datang dan pergi, membawa aroma asin yang akrab. Namun di balai desa, suasana berbeda. Kursi-kursi bambu dipenuhi pemuda, sebagian masih dengan kaos oblong, sebagian lain mengenakan kemeja seadanya. Mereka menunggu Arga yang berdiri di depan papan tulis besar, spidol hitam di tangannya.“Saudara-saudaraku,” Arga membuka suara dengan tegas. “Kita sudah menolak tawaran-tawaran yang ingin menjadikan desa ini alat politik. Sekarang giliran kita membuktikan, bahwa tanpa embel-embel mereka pun, Cahaya Laut bisa berdiri sendiri. Tapi itu tidak mungkin kalau kita hanya diam. Kita harus bergerak.”Seorang pemuda mengangkat tangan. “Gerak bagaimana, Pak? Sekolah sudah berjalan. Tapi kalau bicara ekonomi, kebanyakan dari kami hanya tahu melaut. Kalau hasil tangkapan sepi, ya sepi. Apa yang bisa diubah?”Arga tersenyum kecil. Ia menuliskan dua kata besar di papan: Olahan Ikan.“Kalian hebat di laut. Tapi kita tidak boleh

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 118. Kembali Diuji

    Pagi pertama setelah pesta panjang di pantai, desa masih dipenuhi sisa-sisa euforia. Obor yang setengah terbakar tertancap di pasir, kain hias masih tergantung di depan rumah, dan suara anak-anak yang menirukan lagu semalam terdengar di sudut-sudut gang.Namun di balai desa, suasana berbeda. Para perangkat desa, tokoh masyarakat, dan beberapa pemuda duduk berkeliling dengan wajah serius. Arga dan Naya baru saja tiba, disambut dengan senyum yang kali ini lebih hati-hati.Pak Darma mengetuk tongkatnya di lantai. “Saudara-saudaraku, syukur sudah kita panjatkan. Tapi ingat, keputusan besar membawa tanggung jawab besar pula. Kita sudah jadi pusat program nasional. Itu artinya, bukan hanya anak-anak yang akan datang belajar, tapi juga pejabat, pengusaha, bahkan orang-orang yang kita tidak kenal.”Suasana hening sejenak. Lalu salah satu pemuda angkat bicara. “Pak, saya sudah dengar kabar dari kota. Ada partai politik yang ingin mendirikan kantor cabang di desa kita. Katanya untuk mendukung p

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 117. Kembali ke Desa

    Kereta menuju Surabaya berangkat tepat pukul tujuh pagi. Stasiun Gambir masih lengang ketika Arga dan Naya melangkah masuk dengan koper sederhana. Tidak ada iringan pejabat, tidak ada karpet merah. Hanya mereka berdua, duduk bersebelahan di kursi kelas eksekutif yang menghadap jendela.Arga menarik napas panjang. “Lucu, ya. Keputusan sebesar itu diumumkan kemarin, tapi pulangnya tetap begini. Sunyi.”Naya tersenyum kecil sambil menatapnya. “Justru itu indah, Ga. Kau tidak pulang sebagai pejabat, tapi sebagai bagian dari desa. Mereka yang menunggumu bukan kamera wartawan, tapi wajah-wajah yang mencintai apa adanya.”Kereta melaju, meninggalkan gedung-gedung tinggi Jakarta. Perlahan, pemandangan berganti sawah hijau, sungai berkelok, dan rumah-rumah sederhana. Arga bersandar, matanya setengah terpejam, seolah setiap kilasan luar jendela membawanya pulang ke memori pertama kali ia menjejak di Desa Cahaya Laut.Setibanya di Surabaya sore itu, mereka melanjutkan perjalanan dengan mobil sew

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status