Lahat ng Kabanata ng Menikah Karena Visa: Kabanata 91 - Kabanata 100

Daniel menatap Adi lama, rahangnya mengeras, tapi di balik tatapan tegas itu, pikirannya mulai terusik. Apa mungkin... yang dia bilang ada benarnya? Ingatan-inginannya tentang Elena, kejadian beberapa minggu terakhir, semua berputar di kepalanya. Keraguan yang tak pernah ia izinkan masuk, kini perlahan merayap. Namun, ia tak mau menunjukkannya di depan Adi. “Aku nggak tahu apa maksudmu,” ucap Daniel akhirnya, nadanya terdengar datar, nyaris tanpa emosi. “Tapi kalau kau datang ke sini untuk memprovokasi, aku sarankan kau pergi sebelum aku benar-benar marah.” Adi tahu jika Daniel mungkin saja tak percaya padanya, tapi mustahil tabrakan itu tak disengaja hanya karena kantuk. "Kita bisa cari tahu dari CCTV jalan" Adi menambahkan namun Daniel belum sepenuhnya percaya, dia segera menuju ruangan inap Elena. Masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca oleh keluarganya, dia duduk disebelah Elena. "Adi sudah pulang?" Daniel menoleh, " Belum, dia ingin menjengukmu" Elena diam, ten

Langit sore di Maple Hollow berwarna jingga pucat, matahari mulai turun di balik gedung-gedung rendah. Daniel melangkah keluar dari rumah sakit, udara dingin musim gugur langsung menyapa kulitnya. Tadi, sebelum kembali tertidur, Elena sempat berbisik pelan—meminta sesuatu yang manis. “Cupcake stroberi… yang dari toko dekat taman,” katanya lemah. Daniel tahu toko yang dimaksud. Namun ada satu alasan lain ia keluar: mencari petunjuk. Sosok ber-mantel gelap itu masih menghantui pikirannya. Jalan menuju toko cupcake melewati taman kota yang tak terlalu ramai sore ini. Beberapa anak bermain di ayunan, dan pasangan lansia duduk di bangku sambil memberi makan burung. Daniel memandang sekeliling, matanya mencari kemungkinan wajah yang pernah ia lihat tadi di rumah sakit. Di seberang jalan, ada kios bunga. Daniel memperlambat langkahnya, karena dari sudut mata, ia melihat sekilas bayangan seseorang yang mirip—postur tubuh, cara berjalan, dan mantel gelap yang sama. Orang itu sedang ber

Malam itu, Elena akhirnya bisa beristirahat dengan tenang. Wajahnya terlihat jauh lebih rileks dibanding siang tadi, napasnya teratur, dan senyumnya tipis. Daniel yang sejak tadi duduk di kursi samping ranjang, berdiri perlahan. “Aku keluar sebentar, ambil air di dispenser,” katanya pelan agar tidak membangunkan Elena. Ia melangkah ke luar kamar, menutup pintu dengan hati-hati. Suasana kamar menjadi sunyi, hanya terdengar suara mesin infus yang berdetak pelan. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka sedikit. Seorang suster masuk, mengenakan masker dan topi medis, langkahnya tenang namun matanya tampak memandang Elena terlalu lama. Begitu mendekat ke ranjang, ia menurunkan maskernya sedikit. Elena yang setengah sadar, sempat memandang sosok itu… dan matanya langsung melebar. “Isabel?” suaranya nyaris hanya berupa bisikan. Suster itu tersenyum tipis. “Sudah lama ya, Elena… kita nggak bertemu.” Nada bicaranya datar, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang membuat dada Elena terasa

"Maaf aku tidak kasih kabar mau ke sini" Ucap Isabel sembari duduk, Elena yang awalnya Engan untuk ikut duduk dan bergabung akhirnya ikut karena Isabel tampak cari cara agar Elena duduk. " Tidak apa-apa" Jawab Daniel dengan sedikit melirik ke arah sorot mata Elena yang mengarah ke Isabel. Tak berapa lama Daniel ikut duduk dia sebelah Elena dengan membawakan potongan buah. Isabel duduk sambil tersenyum lebar, matanya menatap Daniel. “Masih inget nggak, Daniel… waktu kita kuliah dulu, kita sering lembur di perpustakaan sampai diusir satpam?” ucapnya sambil tertawa kecil. Daniel mengangguk singkat. “Iya, inget.” Suaranya datar, jelas hanya menanggapi sekadarnya. Sesekali ia melirik Elena, memastikan wanita itu tak merasa terganggu. Isabel seolah tak peduli, malah melanjutkan, “Terus waktu kamu bantuin aku bikin presentasi akhir… sampai rela nggak tidur dua malam. Aku masih salut, lho.” Daniel menghela napas tipis. “Itu udah lama banget.” Rania yang duduk di sebelahnya i

Daniel merasakan tatapan Elena, tapi ia pura-pura fokus pada langkahnya menyusuri koridor kantor polisi. “Kita pulang dulu aja,” ujarnya singkat. Elena tidak langsung menjawab, hanya menegakkan punggung dan berjalan di sampingnya. Isabel mengikuti dari belakang, seakan tidak menyadari ketegangan di antara keduanya. Begitu sampai di parkiran, Daniel membukakan pintu mobil untuk Elena. “Terima kasih, Isabel. Nanti kalau ada perkembangan, aku kabarin,” katanya, suaranya datar. Isabel tersenyum tipis. “Oke. Hati-hati di jalan.” Ia lalu melangkah pergi, meninggalkan mereka berdua. Di dalam mobil, suasana hening. Hanya suara AC yang terdengar. Elena menatap keluar jendela, lalu perlahan berkata, “Dia bilang melakukan ini untuk kamu.” Daniel menghela napas. “Aku nggak minta dia lakukan apa-apa.” “Tapi dia jelas punya… kedekatan khusus sama kamu, Daniel. Dan itu bukan cuma aku yang lihat,” ujar Elena, nadanya dingin tapi terkontrol. Daniel menatap jalan, tidak langsung membala