Raksa duduk di kursi tunggu dengan jari-jari yang tak henti mengetuk lututnya. Setiap detik terasa lambat. Di hadapannya, pintu berlapis kayu bertuliskan dr. Bagya Utama, Sp.KJ berdiri kokoh, menjadi pemisah antara harapan dan kecemasan yang saling berebut ruang di dadanya.Sebelum Nora masuk, Raksa sempat berbisik lirih, “Kamu tidak perlu menutupi apa pun. Katakan saja apa adanya. Itu akan membantumu, Nora.”Nora menoleh sekilas, tapi tatapannya kosong, hampa. Bibirnya tak bergeming. Tanpa jawaban, dia berdiri, lalu melangkah masuk ke ruang psikiater dengan gerakan tenang yang justru membuat Raksa makin cemas. Perempuan itu bahkan tak menoleh sekali pun.Raksa menelan ludah, dada sesak. Kenapa kamu diam saja, Nora? Apa kamu benar-benar ingin menanggung semuanya sendirian?Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir resah. “Semoga Tuhan memihakku kali ini,” gumamnya nyaris tak terdengar. “Semoga hasil evaluasi sesuai yang kubutuhkan.”Dia sadar betul kalimat itu terdengar seperti d
Last Updated : 2025-09-29 Read more