“Kau pikir kau bisa lari, Naira?” Suara itu muncul dari dalam kepalanya. Bukan suara Revan, bukan ibunya, bukan Linda. Suara itu dalam, berat, seperti besi berkarat yang digesek paksa. Naira membuka matanya. Tubuhnya masih tergeletak di lantai berkarat. Tapi… ruangan penthouse sudah berubah. Dinding-dindingnya kini basah, berlumut, meneteskan cairan hitam. Lampu gantung berayun sendiri, mengeluarkan cahaya redup kemerahan, seakan terbakar dari dalam. Ia bangkit, menggenggam keris. Bilahnya tak lagi menyala merah, tapi berdenyut pelan, seolah menunggu sesuatu. Revan berdiri di pojok ruangan, wajahnya lebih pucat dari biasanya. “Pintu berikutnya sudah terbuka.” “Tanpa aku menyentuhnya?” Naira menatapnya tajam. Revan mengangguk. “Kamu sudah terlalu dalam. Sekarang pintu yang memilihmu.” Dari dinding sebelah kanan, retakan membentuk garis melingkar. Retakan itu menganga, perlahan menjadi pintu tinggi dengan ukiran wajah-wajah yang berteriak. Dari celahnya, keluar bau amis yang menu
Last Updated : 2025-09-07 Read more