“Kalau pintu ini terbuka… kau bukan lagi penonton, Naira. Kau jadi panggungnya.” Suara Revan parau, setengah tertelan oleh raungan yang keluar dari celah pintu raksasa. Akar merah di permukaan kayu itu berdenyut, seolah jantung raksasa yang hendak meledak. Naira berdiri kaku. Keris masih tertancap di dadanya, namun darah hitam yang menetes bukan melemahkannya—justru membuat tubuhnya dingin, lebih ringan, seakan separuh dirinya sudah lepas. “Aku tidak bisa kembali, kan?” suaranya datar. Revan menatapnya lama. “Kalau kau masuk, kau bisa mati. Kalau kau tidak… kau akan mati dengan cara lain.” Pintu berdecit, mengeluarkan kabut pekat yang berbau besi dan bunga busuk. Dari baliknya terdengar bisikan ribuan suara, tumpang tindih: doa, sumpah, tangis. Naira melangkah. Satu kaki melewati ambang. Seketika dunia berubah. Ia berdiri di sebuah ruangan bundar, temaram, dindingnya terbuat dari… wajah. Wajah-wajah manusia, menempel rapat, mata mereka terbuka lebar. Ada yang menangis, ada yang
ปรับปรุงล่าสุด : 2025-09-25 อ่านเพิ่มเติม