All Chapters of Kembar Dua: Ayah Mengejar Ibu Kembali Ke Dekapan: Chapter 181 - Chapter 190

Melihat wajah Ralph tampak pucat, Hadi segera bertanya dengan cemas, "Tuan nggak enak badan ya?"Ralph perlahan meregangkan tubuh, mengambil selangkah dengan kaki panjangnya. Setelah menarik napas dalam, barulah dia turun dari mobil. "Nggak apa-apa, cuma terlalu lama nyetir, jadi capek.""Syukurlah kalau begitu. Nanti aku panggil terapis datang ke rumah, pijat sebentar biar lebih enak.""Hmm."Di ruang bawah tanah vila, memang ada satu ruangan terapi spa. Biasanya kalau Ralph lelah karena pekerjaan, akan ada terapis profesional datang melayani.Begitu masuk ke rumah, Ralph akhirnya bisa lebih rileks.Bulan melihatnya, segera menyambut. "Tuan, dapur sudah siapkan teh sore, mau makan sedikit?""Hmm." Ralph mengangguk. Ketika berjalan menuju tangga, dia sempat bertanya, "Obat maag ada?""Obat maag?" Wajah Bulan langsung diliputi kecemasan. "Sakit maag Tuan kambuh lagi?"Ralph tidak menjawab. Bulan pun segera paham, tidak banyak bertanya lagi dan langsung pergi mencari kotak obat.Ralph me

Namun, kalau sampai Indah tahu penyakit lambung anaknya kambuh karena hal ini, dia pasti akan tambah marah, lalu melimpahkan semua kesalahan kepada Nikki.Bulan diam-diam merasa cemas, sempat terpikir harus mencari cara agar bisa keluar untuk memberi tahu Widodo datangnya agak malam saja. Sayangnya, belum sempat bergerak, dari halaman sudah terdengar suara mobil.Indah ikut penasaran, melirik ke arah pintu sambil bergumam, "Siapa yang datang jam segini?"Detik berikutnya, terlihat dokter keluarga masuk dengan kotak obatnya. Indah langsung paham. "Ralph, kamu sakit ya? Pantas saja wajahmu pucat begini, kelihatannya bukan cuma kecapekan. Sebenarnya kenapa? Demam atau apa?"Widodo baru masuk. Begitu melihat Indah dan Bastian juga ada di sana, dia mengira kondisi Ralph cukup parah sampai orang tua ikut turun tangan. Dia pun buru-buru maju.Namun, belum sempat dia membuka mulut, Ralph sudah mengangkat tangan menghentikan. "Aku nggak apa-apa, nggak perlu periksa. Kamu pulang saja.""Hah?" Wi

Yuni mendengarkan, sampai beberapa kali berdecak. "Gila, tetanggamu itu keren banget! Ini sih benar-benar pulang kampung dengan penuh kejayaan!"Yuni mendengar cerita sahabatnya. Meskipun hatinya ikut sakit karena pengalaman Nikki, rasa ingin tahunya lebih besar. "Terus, benar nggak yang Ralph bilang, tetanggamu itu tertarik sama kamu?""Mana mungkin. Aku ini perempuan yatim piatu, sudah menikah dan punya anak. Sudah kayak bunga layu, mana ada orang yang mau lihat aku. Dia cuma orang baik, mungkin kasihan sama aku, soalnya dari kecil memang sering perhatian sama aku."Nikki sejak dulu rendah diri. Dia tidak percaya dirinya masih bisa menemukan pasangan yang baik. Apalagi kondisi Kennedy jauh lebih unggul dari 99% pria lainnya. Kennedy menyukainya? Jangan mimpi!Yuni mencebik, lalu menggeleng. "Kalau dari ceritamu, aku malah curiga dia benaran suka sama kamu. Kenapa memangnya kalau nggak punya orang tua? Kamu 'kan nggak tumbuh jadi orang yang nggak benar.""Justru pola pikirmu lurus, ha

Begitu Nikki mendengar Ralph lagi-lagi mulai melontarkan kata-kata bermakna menggoda, hatinya dipenuhi rasa muak. Dia menjawab dengan kesal, "Pokoknya aku nggak suka. Aku cuma mau tidur nyenyak."Ralph pun merasa malu, wajah tampannya sedikit canggung, dan senyuman di wajahnya seketika sirna. Setelah hening beberapa detik, sikapnya tiba-tiba berubah dingin. Dia melemparkan kalimat pendek, "Terserah. Makin dibujuk makin merajalela."Padahal, Ralph sudah menurunkan gengsi dengan menghampiri Nikki dan mengajaknya mengobrol. Orang yang tahu diri pasti akan mengalah dan membiarkan masalah berlalu. Namun, Nikki tetap saja tidak tahu berterima kasih.Dada Ralph terasa sesak. Kata-kata Indah sore tadi kembali terngiang di telinganya, membuatnya tiba-tiba muak pada kelemahan diri sendiri. Di dunia ini masih banyak perempuan. Kenapa harus terpaku pada Nikki?Nikki melihat Ralph berbalik dan melangkah pergi dengan wajah murka. Dia sadar dirinya baru saja kembali menyinggung perasaan suaminya, tet

Menjelang tengah hari, Irfan datang untuk membicarakan sesuatu.Melihat sahabatnya murung, sementara para sekretaris di luar kantor tampak ketakutan, dia duduk dan bertanya dengan penasaran, "Kenapa kamu? Harfi sampai khusus berpesan padaku, bilang mood-mu lagi jelek hari ini, suruh aku jangan bikin kamu kesal.""Bukan apa-apa. Mereka kerjaannya berantakan, kena marah sedikit masih mending," sahut Ralph dengan datar.Irfan tersenyum kecil, tidak menanggapi. Dia duduk tegak sambil membuka ponselnya, lalu memutar layar dan menyodorkannya kepada Ralph. "Lihat ini.""Apa?" tanya Ralph. Matanya terangkat, melihat sebuah video pendek yang sedang diputar di layar.Meskipun nomor polisi mobil sudah diburamkan, dia tetap langsung mengenali mobilnya. Lebih tepatnya, Maybach yang kemarin dia parkir di area istirahat jalan tol.Alis Ralph berkerut, tak menyangka kejadian kemarin saat beberapa anak muda memotret mobilnya di area istirahat akan diunggah ke media sosial."Itu mobilmu, 'kan? Kemarin k