All Chapters of Suamiku ternyata seorang Intel: Chapter 61 - Chapter 70

"Mas berangkat dulu ya," pamit Arga kemudian mengecup kening istrinya."Mas Arga hati-hati di jalan ya," ucap Vita sambil melambaikan tangannya. Arga mengangguk pelan lalu masuk ke dalam mobil.Vita masih berada di depan rumahnya hingga mobil yang Arga kendarai menjauh dari area rumah. Setelahnya ia kembali masuk ke dalam rumah, tak lupa mengunci pintu depan. Setelah kejadian buruk yang menimpa dirinya di rumah lamanya, Vita memang menjadi lebih waspada.Lantunan musik berjudul Kupu-Kupu yang dinyanyikan oleh Tiara Andini menemani Vita yang sibuk membereskan area rumah. Tak jarang mulutnya sesekali mengikuti lirik lagu yang terdengar.Drrrt... Drrrt... Drrrt.Lagu terhenti dan digantikan oleh getaran halus pertanda ada yang menelepon. "Siapa sih pagi-pagi gini udah nelepon?" gumam Vita penasaran. Ia pun segera mengelap tangannya yang basah, dan mendekat ke meja tempat ponselnya berada.Mata Vita seketika membulat saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya."Gilang?!" seru Vita

"Ini kopinya." Vita meletakkan secangkir kopi dan beberapa cemilan, serta segelas es teh untuk dirinya. Setelah itu ia kembali duduk di hadapan Gilang.Semenjak pria itu memujinya cantik, Vita merasa gugup dan canggung. Padahal pujian itu biasa untuk teman yang sudah lama tak bertemu. Karena menurut Vita, Gilang pun semakin tampan. Kulitnya tampak putih bersih, mungkin karena sempat tinggal lama di Korea."Kamu kegiatannya di rumah aja?" tanya Gilang setelah menyesap kopi. "Iya," jawab Vita singkat. Ia kemudian menunduk karena merasa gugup saat matanya bertemu dengan milik Gilang. Pria itu pun sepertinya berpikiran yang sama karena berkali-kali berdehem. "Rumah kamu ada di dekat sini ya? Kok cepat banget sampai," ucap Vita merasa heran. "Iya, ternyata apartemen aku ada di dekat sini," balas Gilang. Vita mengangguk pelan. "Jadi kamu mau ngasih aku apa?" tanyanya penasaran.Gilang sontak menepuk dahinya. "Oh iya aku lupa." Pria itu lalu mengangkat kotak yang tadi ia bawa, dan meleta

"Iya, saya paham. Pak Bima pun bilang kalau dia benar-benar menyesal dan bersedia meminta maaf secara langsung," ucap Nova hati-hati. Ia bisa melihat pria di depannya tampak tek terima dengan perkataannya.Arga terkekeh seolah ada yang lucu dengan kalimat rekannya itu. "Menyesal? Meminta maaf? Setelah hampir delapan tahun dia baru mau minta maaf sekarang?" tanya pria itu terdengar sarkastik.Nova menelan ludah saat merasakan hawa dingin yang semakin mengisi ruangan tersebut. "Eee... itu" "Kamu tahu gara-gara dia hidup saya jadi hancur? Saya bahkan sempat ingin mengakhiri nyawa saya sendiri, apakah kamu tahu itu?!" tanya Arga tajam. Dada pria itu naik turun karena menahan sakit yang begitu besar.Nova semakin tidak bisa berkutik. Tubuhnya semakin membeku sambil berdiri di depan layar."Wah benar-benar ngga tahu malu ya! Segera putus komunikasi dengan orang itu, dan bilang kalau kita ngga akan menerima tawarannya!" tegas Arga."Tapi-" "Ngga ada tapi tapi! Ikuti saja perintah saya. Kal

Sudah satu hari berlalu sejak pertengkarannya dengan Vita, Arga memilih mengurung diri di ruang kerjanya. Pria itu bahkan tidak pergi ke kantor seperti biasanya. Ia tidak ingin bertemu dengan Nova, yang baginya kini hanya menjadi sumber masalah dan rasa frustrasi.Ponselnya berulang kali berbunyi dan menampilkan deretan pesan yang dikirimkan oleh rekannya itu. Mr. N : Saya minta maaf masalah kemarin.Mr. N : Saya benar-benar minta maaf.Mr. N : Ada yang mau saya omongin, tapi ngga bisa lewat telepon, kita harus ngobrol langsung.Mr. N : Apa saya aja yang datang ke rumah kamu?Arga mendesah kecil membaca pesan-pesan yang dirikimkan oleh Nova. Pria itu memijat pelipisnya karena kepalanya tiba-tiba saja terasa sakit."Dasar cerewet," gumamnya pelan. Ia sama sekali tidak membalas pesan itu. Tanpa ragu Arga mematikan ponselnya, lalu duduk bersandar di kursi. Ia memilih untuk menutup mata, dan mencoba menenangkan pikirannya yang kusut.Tok… tok… tok…Suara ketukan terdengar dari arah pint

Arga menatap benda kecil di depannya dengan tatapan datar. Sudah hampir lima belas menit ia hanya duduk diam dan menahan diri untuk tidak menyentuh flashdisk itu."Apa sebenarnya isinya?" gumamnya pelan.Di satu sisi rasa penasaran menggerogoti hatinya. Namun di sisi lain gengsi dan rasa marahnya membuatnya menahan diri. Ia kemudian mengalihkan pandangan dari flashdisk itu, dan mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan lain.Namun semakin ia berusaha bersikap tak peduli, semakin besar pula rasa ingin tahu dalam dirinya. Dadanya berdebar lebih kencang, jemarinya terus tergoda untuk mengambil benda itu lagi.Arga menggelengkan kepala sejenak seolah menenangkan diri, lalu mengambil flashdisk itu. Dalam satu gerakan cepat, ia memasukkannya ke port laptop dan menunggu layar menampilkan apa yang tersembunyi di dalamnya.Layar laptop menampilkan tiga folder yang tersusun rapi, folder A, B, dan C. Arga menatapnya sejenak, alisnya mengerut. Ia menekan tombol mouse dengan jari yang sedikit geme