LOGINPernikahan Vita dan Arga telah berjalan satu tahun. Mereka belum memiliki anak karena keduanya sepakat menundanya hingga usia pernikahan menginjak dua tahun. Arga adalah suami yang penuh perhatian. Ia tidak pernah menuntut banyak hal, selalu mendengarkan keinginan Vita, dan hampir tak pernah menolak permintaannya. Namun, segalanya mulai berubah. Banyak kejadian kecil yang terjadi dan mulai mengusik pernikahan mereka. Vita yang curiga pun diam-diam mulai menyelediki suaminya sendiri. Namun Vita yang awalnya curiga Arga selingkuh dengan perempuan lain, kini mulai bertanya-tanya: siapa sebenarnya pria yang ia nikahi? Apakah Arga menyimpan perempuan lain? Atau... rahasianya jauh lebih besar dari yang pernah Vita bayangkan?
View More"Selamat ulang tahun pernikahan kita yang ke satu," ucap Vita sambil tersenyum lebar.
Arga mengangguk, kemudian mendekat untuk mengecup kening Vita. "Terima kasih sudah bertahan dengan aku selama setahun ini," ucapnya lembut. Malam ini adalah tepat satu tahun sejak Vita dan Arga mengikat janji sebagai suami istri. Mereka meniup lilin bersama di atas kue kecil buatan Vita dengan tulisan: Happy 1st Anniversary, Arga & Vita. Tepat setelah lilin padam, suara dering ponsel terdengar. Arga buru-buru merogoh saku celananya dan melihat ke layar ponselnya. Ekspresinya berubah sepersekian detik saat ia melihat siapa yang menelepon. Namun sedetik kemudian, ia kembali tersenyum. "Maaf sayang, aku angkat telepon sebentar ya," ucap Arga. Tanpa menunggu jawaban dari Vita, Arga beranjak dari kursinya dan berjalan meninggalkan Vita sendiri di ruang makan. Vita menatap lilin yang baru saja padam. Ia menarik napas pelan dan mencoba tersenyum. Ini bukan pertama kalinya Arga bersikap seperti ini. Setelah satu tahun menikah, Vita sudah cukup mengenal kebiasaan suaminya. Arga selalu menghindar saat menerima telepon, terutama jika telepon itu datang di luar jam kerja. Ia akan berpindah ruangan dan memastikan Vita tidak ada di dekatnya saat berbicara. Selain itu, ponsel bagi Arga seperti barang pribadi yang tak boleh disentuh siapa pun, bahkan oleh istrinya sendiri. Dulu di awal pernikahan mereka, Vita sempat mempermasalahkan hal itu. Baginya dalam pernikahan seharusnya tidak ada yang disembunyikan. Semua harus saling terbuka termasuk soal ponsel. Tapi Arga menanggapinya dengan tenang. Ia menjelaskan bahwa ada hal-hal yang bersifat pribadi dan tidak bisa dibagikan, bahkan kepada istrinya sendiri. Bukan karena ia menyembunyikan sesuatu, melainkan karena ia ingin menjaga Vita agar tidak terbebani oleh hal-hal yang seharusnya tidak perlu diketahui. Jawaban itu awalnya terasa ganjil bagi Vita, namun Arga mengucapkannya dengan tenang dan meyakinkan sehingga Vita pun mulai mencoba memahami suaminya itu. Ia berusaha percaya bahwa mungkin memang ada orang-orang yang seperti Arga, tertutup namun tetap mencintai istrinya dengan cara mereka sendiri. Beberapa menit kemudian, Arga kembali ke ruang makan. Wajahnya tampak berbeda, tidak setenang biasanya. Vita memandangnya dengan tatapan heran. "Telepon dari siapa?" tanya Vita. "Dari atasan," jawab Arga sambil kembali duduk di kursinya. Vita mengernyit. "Beliau bilang apa emang? Kenapa telepon malem-malem?" tanya Vita penasaran. Arga tidak langsung menjawab. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, seperti sedang merangkai jawaban yang pas untuk ia berikan kepada istrinya. Sementara itu, Vita masih menunggu jawabannya dengan terus menatapnya tanpa berkedip. "Aku disuruh pergi ke kantor, katanya ada urusan penting," ucap Arga pelan. Vita menatapnya tak percaya. "Ke kantor? Sekarang?" tanya Vita sambil menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam. "Iya," jawab Arga sambil mengangguk. "Tapi kita lagi ngerayain ulang tahun pernikahan loh Mas," ucap Vita lirih, suaranya jelas menunjukkan rasa kecewa. Arga menghela napas pelan, lalu berkata, "Iya Mas tahu. Tapi gimana lagi? Ini perintah dari atasan, mas nggak bisa nolak." Vita tak berkata apapun lagi. Ia hanya memalingkan wajahnya agar tak melihat wajah suaminya. Dadanya terasa sesak. Ia ingin marah, tapi juga tak ingin menjadi istri yang mengekang. Melihat reaksi istrinya, Arga berdiri dari kursinya. Ia berjalan mendekat lalu berjongkok di sebelah Vita. Tangannya menyentuh lutut istrinya pelan. "Mas cuma sebentar, nanti kalau urusannya udah selesai, mas janji langsung pulang. Boleh ya?" bujuk Arga dengan lembut. Vita diam sejenak lalu menarik napas panjang. Akhirnya Vita mengangguk pelan. "Oke," ucap Vita. Arga tersenyum kecil. Ia meraih dagu Vita dengan lembut, berusaha membuat istrinya menoleh. "Lihat sini dong," ucap Arga. Vita sempat enggan, namun akhirnya ia menoleh juga, sekilas ia menatap wajah suaminya yang tampak lelah. "Mas berangkat sekarang ya," ucap Arga kemudian, ia lalu mengecup kening Vita sebentar, sebelum akhirnya berdiri dan berjalan keluar dari ruang makan. Vita tetap duduk di tempatnya, matanya menatap kue buatannya yang bahkan belum ia potong. Vita sudah menyiapkan semuanya sejak pagi. Ia memasakkan makanan kesukaan Arga, ayam lada hitam, tumis sayur, dan sup jagung hangat. Bahkan ia sempat ke salon paginya hanya untuk merapikan rambut dan memoles wajahnya agar bisa tampil lebih cantik malam ini. Namun Vita juga sadar bahwa ia tidak bisa menyalahkan Arga sepenuhnya. Sejak awal Arga memang pernah bilang bahwa pekerjaannya sebagai asisten pribadi direktur perusahaan tidak mengenal waktu. Kadang harus siap dipanggil kapan saja, bahkan pada saat hari libur atau tengah malam sekalipun. Itu sudah jadi bagian dari tanggung jawabnya. Namun tetap saja, Vita tidak menyangka suaminya itu akan benar-benar dipanggil di malam ulang tahun pernikahan mereka yang pertama. Waktu terus berjalan, jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam, namun Arga belum juga pulang. Berkali-kali Vita mengecek layar ponselnya, berharap ada pesan dari suaminya, namun hasilnya nihil. Iamelirik ke arah jendela ruang tamu, kemudian menggeser sedikit tirai dan mengintip ke arah luar. Ia berharap melihat mobil Arga masuk ke halaman rumah, namun kondisi di luar tampak gelap dan sepi. Tidak ada tanda-tanda Arga akan datang. Vita kembali melihat ponselnya, ia membuka aplikasi pesan untuk bertanya kapan Arga akan pulang, namun sebelum sempat terkirim, ia menghapusnya lagi. Entah kenapa jari-jarinya enggan untuk mengirimkan pesan tersebut kepada suaminya. Akhirnya Vita menyerah, rasa kantuk perlahan mulai menyergap, tubuhnya terasa lelah menunggu. Ia sadar bahwa tubuhnya perlu istirahat setelah seharian bekerja keras. Sebelum masuk ke kamar, Vita berjalan ke ruang makan. Ia memandangi meja yang penuh dengan makanan, namun kini makanan tersebut telah dingin. Ia menunduk sejenak lalu menarik napas panjang. Kue red velvet yang tadi Vita susun dengan hati-hati, ia angkat pelan dan memasukannya ke dalam kulkas. Disusul dengan ayam lada hitam, tumis sayur, dan sup jagung yang kini tak lagi mengeluarkan aroma lezat. Semua makanan yang ia siapkan akhirnya masuk ke dalam kulkas tanpa satu sendok pun tersentuh. Saat menutup pintu kulkas, perasaan pahit tiba-tiba menyeruak. Vita merasa semua yang ia lakukan hari ini sia-sia. Seolah usahanya untuk membuat hari ini berkesan hanya dianggap angin lalu. Dengan langkah pelan, Vita mematikan lampu ruang makan dan berjalan menuju kamar. Setelah sampai di kamar, ia langsung merebahkan dirinya di ranjang. Ia menoleh sisi ranjang di sebelahnya yang masih rapi dan terasa dingin. Lalu Vita memejamkan matanya, dengan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan.“Kalian yakin dia pelakunya?” tanya Bima dengan nada serius, matanya menatap Gilang yang tertidur dalam posisi duduk dan tangan terborgol. “Kami yakin, Pak. Bapak bisa lihat sendiri bukti fotonya,” jawab Nova tegas.Bima mengangguk singkat. Ia menepuk pundak Nova pelan sebagai bentuk apresiasi. Lalu tatapannya beralih pada Arga yang berdiri sedikit jauh membelakanginya sambil mengisap rokok.Bima melangkah mendekat hingga berdiri di samping pria itu. “Terima kasih karena sudah berhasil menangkap pelaku yang sudah merugikan banyak pihak, termasuk putri saya sendiri,” ucapnya. Arga tidak segera menjawab. Ia menyesap rokok dalam-dalam kemudian mengepulkan asapnya ke depan. “Jangan terlalu senang. Saya melakukan ini karena dia juga sudah menyakiti istri saya,” balasnya dingin. Arga membuang puntung rokok ke lantai dan hendak melangkah pergi, namun suara Bima kembali menghentikannya.“Semua bayaran untukmu sudah saya transfer. Saya harap itu cukup sebagai balasan atas jasa kamu kali ini
“Mas Arga kok bisa tahu aku di sini?” tanya Vita dengan suara yang terdengar panik. “Udah kamu diam dulu, Mas bakal jelasin nanti,” jawab Arga cepat. Tangannya bekerja tegang dan tergesa, berusaha melepaskan ikatan kasar yang membelit tubuh istrinya. Saat melihat bekas kemerahan di lengan dan pipi Vita, mata Arga tampak berkaca-kaca. Ia merasa gagal menjaga istri tercintanya dari jeratan pria menakutkan itu. “Ayo cepet, jangan terlalu lama. Takut dia balik!” seru Nova dari arah pintu.Arga mempercepat gerakannya. Ikatan terakhir akhirnya terlepas. Vita mengembuskan napas panjang, hampir tak percaya ia bisa bebas secepat ini. Arga menariknya ke dalam pelukan singkat, kemudian melepasnya karena tidak ingin Nova menunggu lebih lama. Pria itu membantu Vita berdiri. “Ayo kita pergi dari sini,” ucapnya lembut. Begitu mencoba menapak, Vita meringis. Sakit itu menyambar dari pergelangan hingga betisnya. Kemungkinan karena ia terlalu lama terikat sehingga membuat otot-ototnya kaku dan peri
“Kamu benar-benar nggak tahu pekerjaan suamimu yang sebenarnya?” tanya Gilang dengan suara merendah namun mengandung kecurigaan yang besar. “Mas Arga… dia karyawan kantor biasa bukan agen rahasia seperti yang kamu bilang,” jawab Vita lirih. Ia mengalihkan pandangan karena tak sanggup menatap langsung mata sipit pria itu yang terasa menusuk hingga ke tulang.Gilang tertawa keras, tawa yang terdengar seperti ejekan. Ia meraih dagu Vita dan membelai pipinya dengan sentuhan yang membuat kulit perempuan itu merinding. Tatapannya menancap ke mata Vita, seolah ingin menelanjangi isi kepalanya.“Kamu memang lugu, pantas saja kamu gampang dibodohi laki-laki," ucap pria itu dengan nada meremehkan. Tanpa menunggu balasan, Gilang berdiri. Langkahnya terdengar berat saat berbalik, meninggalkan Vita yang masih terbaring di lantai dingin dengan kedua tangan dan kaki terikat tali. Nafas Vita terengah, antara sakit dan rasa tidak berdaya.Namun sebelum Gilang sempat melangkah lebih jauh, sebuah suar
“Kenapa kamu tega lakuin ini ke aku?” tanya Vita tajam dengan tangan dan kaki yang sudah terikat tali. Tubuhnya dibiarkan terbaring begitu saja di lantai kotor penuh debu. Wajah perempuan itu bahkan tertutupi oleh rambut panjangnya.Di sisi lain Gilang yang duduk di kursi sedang menatapnya sambil tersenyum penuh keangkuhan. “Apalagi alasannya selain kamu yang bodoh dan gampang ditipu?” tanya pria itu diakhiri kekehan dengan maksud mengejek. Vita mengerjap. Matanya seolah sudah kering karena terlalu lama menangis beberapa saat lalu. Kepalanya kemudian memutar perkataan Arga yang menyuruhnya untuh menjauhi Gilang. Maaf Mas Arga, aku nyesel karena ngga nurutin perintah Mas Arga buat jauhin Gilang, bisik Vita dalam hati. “Lihat aja, aku bakal laporin kamu ke polisi!” seru Vita dengan suara bergetar. “Polisi? Silahkan aja kalau kamu bisa keluar dari sini hidup-hidup!” balas Gilang. Pria itu lanjut menyesap rokoknya sambil menghembuskan asap ke udara. Ia seolah tak memedulikan Vita






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews