All Chapters of Pak Deon, Istrimu Menolak Kembali: Chapter 171 - Chapter 180

“Aku... aku hanya menganggapmu sebagai seorang teman baik. Kumohon, jangan hancurkan pertemanan kita saat ini, karena kamu tahu, aku masih membutuhkanmu… untuk membawaku keluar dari sini. Mungkin… kita bisa mengabaikan masalah mengenai perasaan ini sejenak, bagaimana?”Afgan terdiam, menahan gejolak yang berkecamuk dalam hatinya. 'Hanya teman?" Ada sedikit kesal yang tampak di wajahnya, tapi ia tahu Jannah rapuh, dan memaksanya hanya akan membuat segalanya lebih buruk.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk dengan berat.“Baiklah… aku keluar dulu. Kamu mungkin membutuhkan istirahat. Mari kita bicara lagi bila kamu sudah lebih tenang.”"Ingatlah untuk segera menandatanganinya, besok pagi aku akan proses mengirimnya kembali ke Indonesia. Persidangan membutuhkan waktu proses juga."Afgan berdiri dan mendekatkan bibirnya ke kening Jannah, hendak memberikan ciuman, tetapi Jannah memalingkan wajahnya de

Di meja kecil samping ranjang, tergeletak setumpuk dokumen yang ditandatangani Deon tadi. Jannah memandanginya sekilas. Hatinya berdesir aneh, seakan ada beban berat menekan dadanya.Tangan kurusnya terangkat, lalu ia meraih berkas itu. Kertas-kertas dengan tulisan resmi, surat cerai yang menunggu tanda tangannya. Sekilas ia teringat wajah Deon, dingin, penuh luka, dan juga tatapan yang kadang tak bisa ia pahami.Dengan perlahan, Jannah membuka halaman depan. Jantungnya berdetak lebih cepat. Rasanya tangannya ingin langsung menorehkan tanda tangan untuk melepaskan semua ikatan, semua rasa sakit. Namun, entah mengapa, saat ujung jarinya menyentuh pulpen, tubuhnya justru menegang.Air matanya menggenang tanpa bisa ditahan. "Kenapa aku tidak bisa?" bisiknya dalam hati.Dengan tiba-tiba, Jannah menepis berkas itu dari atas pangkuannya. Dokumen itu terjatuh ke lantai dengan suara 'brukk' yang terdengar cukup jelas. Napasnya tersengal, matanya terpejam erat.

Afgan berdiri sendirian di tepi liang itu, basah kuyup, dengan sepasang mata merah dan hati yang tak lagi mengenal damai. Ibunya berada di rumah sakit karena tekanan bathin yang tidak pernah bisa ditahannya sehingga beliau pingsan terus menerus.“Deon, Keluargamu menciptakan neraka untuk orang-orang kecil seperti kami. Aku bersumpah, kalian akan menyesal.”Tahun-tahun berikutnya di Jerman adalah perjalanan panjang yang penuh luka bagi Afgan dan sang ibunda yang mulai sering sakit-sakitan."Ibu, aku akan mencari donatur untuk mendapatkan bea siswa kedokteran, nanti aku akan bisa mengobati penyakit Ibu," janji Afgan yang masih berusia sembilan belas tahun saat itu, satu tahun setelah kematian sang ayahnya.Afgan bekerja serabutan, jadi buruh mengangkat koper dekat bandara, jadi penerjemah lepas untuk tamu dari Indonesia, bahkan pernah bekerja di bar demi membiayai kuliah kedokterannya yang tertunda. Ia berutang pada lembaga beasiswa kecil yang m

Hanya detak mesin infus, aroma obat, dan dinginnya udara rumah sakit yang membuat tulangnya bergetar serta perih di wajahnya yang masih belum sembuh total.Jannah menarik selimut hingga ke dada. Kedua tangannya tanpa sadar meraih sisi ranjang yang kosong, mencari kehangatan yang sudah pergi. Bibirnya bergetar saat memejamkan mata.Air matanya menetes perlahan, membasahi bantal.“Kenapa harus begini, Deon... Kenapa sudah tujuh tahun kita pertahankan dan akhirnya selesai juga,” bisiknya lirih.Suara petir kembali menggelegar, membuat tubuhnya mengejang. Ia merangkul dirinya sendiri, seolah berusaha menggantikan pelukan yang dulu selalu datang tanpa diminta. Janin kecil dari rahimnya mengeliat pelan dan terasa lembut, seolah membalas pelukan sang ibu yang ketakutan saat itu."Deon..." Jannah memejamkan kedua matanya.Dan entah bagaimana, tubuhnya perlahan rileks karena bayangan itu.Bayangan seorang lelaki yang memeluknya di

Sementara itu, di Jakarta, Deon tiba-tiba berdiri di ruang kerjanya. Hatinya berdesir begitu saja, seolah ada yang terjadi hal yang besar, tetapi dia tidak mengerti apa arti rasa yang tidak nyaman itu."Cahyo, cepat cari tahu, bagaimana keadaaan Jannah saat ini. Aku ingin semua laporan lengkap, juga keadaan Alfie!"Tidak sampai satu jam, Cahyo kembali dengan laporan, "Alfie baik-baik saja dan saat ini masih di sekolah. Di Jepang, Nyonya Jannah juga baik-baik saja dan tidak ada laporan khusus."Deon menempelkan sebelah tangannya di dada, "Firasat apa ini?"Cahyo berdehem lalu menyahut asal, "mungkin Tuan terlalu lelah dan juga terlihat bagian bawah kelopak mata Tuan sedikit menghitam, bagaimana bila Tuan istirahat sebentar dan aku akan pergi menyeduh teh hangat?"Deon mengangkat sebelah tangannya, "tidak usah," lalu mencoba merebahkan diri ke sandaran kursi kerja. "Pergilah, segera kabari bila ada kejadian lain.""Baik, Tuan."***