“Aku... aku hanya menganggapmu sebagai seorang teman baik. Kumohon, jangan hancurkan pertemanan kita saat ini, karena kamu tahu, aku masih membutuhkanmu… untuk membawaku keluar dari sini. Mungkin… kita bisa mengabaikan masalah mengenai perasaan ini sejenak, bagaimana?”
Afgan terdiam, menahan gejolak yang berkecamuk dalam hatinya. 'Hanya teman?" Ada sedikit kesal yang tampak di wajahnya, tapi ia tahu Jannah rapuh, dan memaksanya hanya akan membuat segalanya lebih buruk.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk dengan berat.
“Baiklah… aku keluar dulu. Kamu mungkin membutuhkan istirahat. Mari kita bicara lagi bila kamu sudah lebih tenang.”
"Ingatlah untuk segera menandatanganinya, besok pagi aku akan proses mengirimnya kembali ke Indonesia. Persidangan membutuhkan waktu proses juga."
Afgan berdiri dan mendekatkan bibirnya ke kening Jannah, hendak memberikan ciuman, tetapi Jannah memalingkan wajahnya de
Di dalam kamar, Bella masih memegang lehernya, wajahnya penuh amarah. Namun di balik rasa sakit itu, senyum licik merayap kembali di bibirnya. “Kita lihat, Afgan. Kau kira kau bisa lolos begitu saja?”"Aku akan menghancurkanmu dan juga si wanita penyakitan itu kalau sudah berada di atas ranjang Deon!"Sementara itu, di koridor rumah sakit, Afgan menarik napas panjang. Tubuhnya bergetar bukan karena takut, melainkan karena menahan amarah dan jijik. Ia tahu Bella berbahaya. Dan kini, ia harus semakin berhati-hati.Dia tidak ingin Jannah yang akan menjadi korban permainan kotor wanita itu.***Malam itu, bandara udara Yokohama dipenuhi lampu-lampu yang redup hangat, namun terasa asing bagi Deon. Wajahnya tetap ketus dan dingin tanpa ekspresi sambil mendorong kursi roda di depannya.Aflie menarik koper kecil di belakangnya dan Kakek Robert berjalan perlahan di samping Alfie sambil mengenggam erat tangan kecil itu, merasa sangat bahag
“Aku... aku hanya menganggapmu sebagai seorang teman baik. Kumohon, jangan hancurkan pertemanan kita saat ini, karena kamu tahu, aku masih membutuhkanmu… untuk membawaku keluar dari sini. Mungkin… kita bisa mengabaikan masalah mengenai perasaan ini sejenak, bagaimana?”Afgan terdiam, menahan gejolak yang berkecamuk dalam hatinya. 'Hanya teman?" Ada sedikit kesal yang tampak di wajahnya, tapi ia tahu Jannah rapuh, dan memaksanya hanya akan membuat segalanya lebih buruk.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk dengan berat.“Baiklah… aku keluar dulu. Kamu mungkin membutuhkan istirahat. Mari kita bicara lagi bila kamu sudah lebih tenang.”"Ingatlah untuk segera menandatanganinya, besok pagi aku akan proses mengirimnya kembali ke Indonesia. Persidangan membutuhkan waktu proses juga."Afgan berdiri dan mendekatkan bibirnya ke kening Jannah, hendak memberikan ciuman, tetapi Jannah memalingkan wajahnya de
Deon meremas tangan Jannah lebih erat, menunduk menatap wajah pucat itu. Dalam hatinya ia bersumpah, tak peduli seberapa besar campur tangan Kakek Robert, tak peduli seberapa besar ancaman dari masa lalu, ia tidak akan membiarkan siapapun merebut posisinya di sisi Jannah.Tidak Afgan. Tidak siapapun.Namun, Jannah mengulangnya sekali lagi, "Dengan bercerai, kita tidak lagi terikat dalam kebencian.""Kebencian? Kau membenciku, Jannah?"Suara Deon menggema berat, penuh luka yang tak terkatakan.Jannah tidak menjawab karena takut, dia hanya menatap Deon dalam-dalam seolah mengatakan, "aku tidak pernah membencimu, Deon... Bahkan aku sangat mencintaimu." Namun kalimat-kalimat itu tertahan di kerongkongannya.Jannah menepis tangan Deon yang mengenggamnya dan menoleh ke arah Afgan.Melihat sikap Jannah yang datar, akhirnya Deon tidak tahan lagi.“Kau ingin perceraian, bukan? Baiklah, ini dokumennya. Aku akan menandatanganinya!&r
Deon yang berdiri di balik kaca ruang UGD seolah tertikam ribuan pisau di dadanya. Kata-kata itu menghantam jantungnya lebih keras daripada pukulan mana pun.Afgan mengangguk cepat, tanpa ragu. “Baik, Jannah. Aku pasti membawamu pergi. Luka di wajahmu akan sembuh total, demikian juga luka di hatimu. Aku akan mengisinya dengan kebahagiaan, bukan tangis. Aku janji, Jannah. Bertahanlah...”Jannah menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu menyahut dengan suara bergetar, “Jangan pernah meninggalkanku lagi, Afgan…”Afgan menunduk, keningnya menempel lembut pada dahi Jannah, seperti janji yang diikrarkan tanpa kata. Kedua tangannya memegang pipi Jannah dengan lembut. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, tidak lagi untuk laki-laki itu."Di balik kaca, Deon hanya berdiri kaku. Pandangannya kabur, bukan karena kaca, melainkan karena air mata yang ia paksa untuk tidak jatuh. Napasnya berat, dadanya seolah diremukkan dari dalam. Tapi
Cahyo segera menyusul dengan mobilnya yang membawa Deon. Di dalam mobil, kedua mata Deon kembali berkaca-kaca. Dia marah, tetapi dia panik melihat keadaan istrinya yang bisa meninggalkan dunia ini setiap detiknya.Setiap kata yang diucapkan Jannah masih menusuk hatinya. Terutama kalimat itu, 'Deon tidak butuh aku lagi.''Deon, mari kita bercerai saja.'Dadanya sesak, seakan seluruh udara di ruangan menghilang. Amarahnya mendidih, tapi ada rasa sakit yang jauh lebih dalam daripada kemarahan itu.Dia menyusul langkah Afgan menuju ke ruang UGD. Menyaksikan bagaimana mereka berjuang untuk memberikan pompa dan tubuh Jannah kembali ditempel berbagai alat medis untuk menyokong napasnya.Deon ingin sekali menerobos masuk, ingin berteriak di hadapan Jannah, ingin memaksa istrinya menatap matanya dan mendengar kebenaran. Tapi tubuhnya terpaku.Tubuh dengan wajah rusak yang sudah hancur itu terlihat seperti boneka tak bernyawa yang sedang dipaksa untuk
Afgan mencoba bertahan, tapi sebelum pukulan itu mendarat, Jannah bergerak cepat. Ia menahan tubuh Deon, bahkan berdiri di depan Afgan, melindungi pria itu dengan segenap dirinya.“JANGAN, DEON!” teriaknya.Deon terhenti. Matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang ia lihat.“Kau… memilih melindunginya?” suaranya serak, penuh luka yang ditutupi amarah. “Kau melindungi dia dari aku, suamimu?!”Air mata Jannah jatuh. “Kau tidak mengerti, Deon…”“Tidak mengerti?!” Deon tertawa getir, matanya merah. “Aku menunduk di depan Kakekku, aku rela menginjak harga diriku demi membawa pulangmu! Dan ini balasanmu? Membiarkan lelaki lain memelukmu, lalu berdiri melawanku?!”Afgan maju setapak, menahan dengan nada tenang. “Tuan Deon, tolong jangan salah paham. Jannah hanya—”“DIAM KAU!” bentak Deon, hampir saja melemparkan tinjunya la