Aruna berdiri di depan cermin, menatap pantulan wajah yang asing baginya. Mata sembab, bibir pecah-pecah, rambut kusut menempel di pipi. Wajah itu seperti milik orang lain—perempuan yang terus berlari, tapi tak pernah benar-benar sampai di tempat tujuan.Hujan sudah turun sejak subuh, deras, menetes di jendela kamar hingga kaca seakan diselimuti kabut. Aroma tanah basah merayap ke dalam ruangan, menyatu dengan dingin yang menusuk tulang.Tangannya masih menggenggam jurnal hitam. Noda samar air mata semalam masih terlihat di halaman terakhir. Ia menutupnya perlahan, seolah menutup kembali luka lama, lalu menarik napas panjang. Ada tekad samar di sana, meski rapuh.Dari belakang, Renata masuk membawa segelas air hangat. “Kak, minum dulu. Sebelum sakit,” ucapnya lembut.Aruna hanya melirik sebentar, tidak segera meraih. Pandangannya kosong, pikirannya jauh melayang.“Ren,” suaranya serak, hampir berbisik. “Aku harus pergi.”Renata berhenti di tempat, dahi berkerut. “Pergi ke mana? Kakak m
Terakhir Diperbarui : 2025-07-20 Baca selengkapnya