LOGIN“Saat kau melangkah masuk ke kamar itu, kau bukan lagi milikmu sendiri. Kau miliknya—sepenuhnya.” Aruna pikir pekerjaannya hanya menyiapkan laporan dan kopi untuk bosnya, Leonardi. Tapi semua berubah ketika ia menemukan kamar rahasia yang penuh misteri dan hasrat terlarang. Sejak saat itu, Aruna terseret ke dalam dunia gelap sang miliarder dingin—tempat ketakutan, trauma, dan godaan bercampur menjadi candu. Semakin ia berusaha lari, semakin erat Leonardi menggenggam hatinya. Apakah Aruna mampu melepaskan diri… atau justru akan memilih terikat selamanya?
View More“Aku harus kuat. Demi Renata. Demi Ibu. Demi keluarga kecilku.”
Aruna meremas jemarinya erat-erat, seolah kalimat itu mampu menghentikan gemetar yang terus merayap dari ujung kaki hingga tenggorokannya.
Udara pagi di Jakarta selalu terasa berat, seolah memaksa setiap orang bernapas lebih keras agar tetap hidup. Aruna menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari mobil Taksi online yang mengantarnya. Jantungnya berdetak tak beraturan, seperti drum yang ditabuh terlalu cepat.
Mobil Taksi online yang tadi mengantarnya sudah melaju pergi, meninggalkan dirinya yang saat ini sedang berdiri di depan sebuah bangunan yang begitu megah sekaligus mencekam.
Wiratama Corp.—gedung bertingkat tinggi dengan dinding kaca hitam yang berkilau di bawah sinar matahari. Tulisan nama perusahaan itu terpampang besar di atas pintu masuk, huruf-huruf peraknya berkilau dan memantulkan bayangan dirinya yang tampak kecil, rapuh, dan entah kenapa seperti terjebak dalam dunia yang bukan miliknya.
Aruna mengepalkan tangan, berusaha sekuat tenaga menenangkan degup jantungnya yang mulai liar, dan kini ia berusaha menegakkan bahu yang sebenarnya ingin roboh. Ia mengingat wajah Renata—adik perempuannya yang selalu ceria meski tubuhnya ringkih karena sakit. Ia juga terbayang ibunya yang kian menua, wajahnya penuh keriput tapi masih berusaha tersenyum setiap pagi. Semua beban itu kembali berbisik dalam kepalanya: Aku harus kuat. Kalau aku menyerah, siapa lagi yang akan menjaga mereka? Semua ini demi mereka. Demi keluarga yang masih menunggu di rumah kontrakan sempit di ujung gang.
Begitu melangkah masuk, hawa dingin AC langsung menyergap kulit wajahnya membuat wajahnya yang sedari tadi pucat, menjadi sedikit kemerahan. Lobi luas itu dipenuhi orang-orang berjas rapi, berjalan cepat dengan ekspresi kaku, seakan setiap langkah mereka telah diatur oleh jam yang tak pernah berhenti berdetak. Tidak ada yang menoleh, tidak ada yang menyapa, bahkan sekadar senyum pun tidak. Seolah semua orang di sini sudah terbiasa menjadi bayangan yang hanya bergerak sesuai perintah.
Di balik meja resepsionis berdiri seorang perempuan berwajah pucat sempurna, dengan riasan tipis yang membuatnya tampak seperti boneka porselen. Tatapannya tajam, menilai, mengukur.
Aruna mengangguk cepat, jemarinya meremas map berisi kontrak kerjanya hingga hampir kusut.
Suara ting lift ketika pintunya terbuka terdengar begitu nyaring, menembus rongga dadanya. Bagi Aruna, suara itu lebih mirip dentang lonceng kematian ketimbang panggilan kerja baru. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, menekan tombol angka 25.
Lift bergerak naik, lambat tapi mantap. Angka digital di atas pintu berubah satu per satu: 10… 11… 12… Seakan waktu sengaja mempermainkannya, memperpanjang detik-detik penyiksaan rasa takut. Napas Aruna tercekat, telapak tangannya dingin dan basah oleh keringat.
“Demi Renata. Demi Ibu,” ia kembali berbisik, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Ketika pintu lift terbuka, suasana di lantai dua puluh lima berbeda dari lobi bawah. Sunyi. Terlalu sunyi. Hanya ada beberapa meja kerja dengan komputer rapi, seperti tidak pernah disentuh manusia. Tidak ada suara obrolan, tidak ada tawa, hanya derik keyboard dan dengung AC yang mencekik.
Di ujung lorong panjang itu, sebuah pintu kaca buram berdiri angkuh. Tulisan di atasnya membuat jantung Aruna serasa berhenti:
Ia menelan ludah, lalu mengangkat tangan. Tiga ketukan pelan terdengar di pintu itu. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi sambil menelan sisa-sisa ludah di tenggorokannya yang mengering, kali ini lebih hati-hati, lebih ragu.
Tiba-tiba, pintu terbuka dari dalam.
Sosok tinggi berbalut jas hitam berdiri membelakanginya, menatap ke luar jendela besar yang memamerkan pemandangan Jakarta dari ketinggian. Satu tangan pria itu terselip di saku celana, sementara tangan lainnya memegang gelas kaca berisi cairan cokelat gelap. Entah kopi atau mungkin bourbon—Aruna tak berani menebak. Matanya hanya berani melirik di ujung. Tak berani melihat, apalagi menoleh ke arah pria itu.
Leonardi Wiratama.
Aruna tahu itu bahkan sebelum pria itu berbalik. Energi yang dipancarkannya terlalu pekat, terlalu kuat, membuat udara di ruangan seolah kehilangan oksigen.
Diam. Sunyi. Waktu terasa beku di ruangan itu. Aruna merasakan udara di paru-parunya seakan menghilang. Ia menunduk pelan, berusaha mengatur napas agar tidak terdengar.
“Masuk,” suaranya berat, dalam, dan berwibawa. Satu kata saja cukup membuat bulu kuduk Aruna meremang.
Aruna melangkah pelan, menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati. Ia berdiri tegak di depan meja besar, menunduk tanpa berani menatap wajah pria itu. Tubuhnya kaku, napasnya tertahan.
Leonardi masih berdiri memunggunginya, lalu perlahan berbalik. Lalu berjalan pelan. Suara derap sepatu kulit mewah Leonardi mendekat menuju tempat Aruna berdiri. Setiap langkahnya terdengar lambat, terukur, namun sangat mengintimidasi. Saat akhirnya Aruna mendongak sedikit, tatapan mereka bertemu. Tatapan itu...
Dingin. Tajam. Menusuk. Seolah mata itu mampu menembus lapisan terdalam jiwanya, mengungkap rahasia yang bahkan belum pernah ia ucapkan pada dirinya sendiri.
Aruna refleks menunduk lagi, tidak sanggup menahan tatapan itu lebih lama.
“Aruna Ayudya,” Leonardi mengulang namanya dengan intonasi yang terdengar seperti perintah.
Aruna terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? Batinnya
Ia melangkah pelan memutari meja, suaranya terdengar mantap di atas lantai kayu. Setiap langkah mendekat membuat jantung Aruna berdegup makin cepat. Saat berhenti tepat di sampingnya, jarak mereka hanya beberapa sentimeter.
Aruna bisa mencium aroma tubuh pria itu. Maskulin, segar, dengan sentuhan kayu manis dan pahit yang samar-samar menyeruak dari tubuh Leonardi yang terbalut setelan jas mewah. Aroma itu membuat kepalanya berputar.
“Tugasmu sederhana,” ucap Leonardi, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Ikuti semua perintahku. Tanpa pertanyaan. Tanpa drama.”
Aruna menahan napas, jemarinya bergetar hingga hampir menjatuhkan map.
Leonardi menundukkan kepala, mendekatkan wajahnya ke telinga Aruna. Napas hangatnya menyapu kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Urat Aruna menegang. Napasnya beradu dengan detak jantungnya seolah berteriak ingin keluar dari tubuhnya.
“Dan satu lagi…” ia berbisik tepat di telinga Aruna.
“Bu… maafin Aruna, ya.”Suara itu pecah, lirih, namun menembus dinding sepi kamar rawat. Aruna menangis di pelukan ibunya, bahunya berguncang. “Aruna nggak bisa jagain Renata. Aruna bukan kakak yang baik.”Ibu Aruna memeluknya makin erat, matanya ikut basah. “Sudah, Nak. Jangan siksa dirimu terus. Tak ada seorang pun yang bisa menolak takdir.”Tangannya yang renta mengusap rambut Aruna, lembut seperti dulu waktu putrinya masih kecil. Tapi kali ini, usapan itu bukan lagi pengantar tidur—melainkan pelipur duka.Leonardi berdiri di sisi tempat tidur. Matanya sembab, wajahnya letih. Ia tak ikut bicara. Hanya menatap dua perempuan itu, sadar bahwa duka ini bukan duka biasa—melainkan kehilangan yang mengguncang sampai ke akar jiwa.Pagi itu, ibu Aruna datang menjenguk dengan hati yang setengah hancur. Sejak kabar kematian Renata, ia dan Aruna sama-sama kehilangan arah.“Leonardi,” katanya pelan, “pulanglah dulu. Istirahatlah. Kau sudah beberapa hari di sini.”Leonardi menggeleng. “Saya ngga
Aruna membuka mata dengan perlahan. Cahaya putih dari lampu ruang rawat menembus kelopak matanya yang berat, membuat pandangannya berputar sejenak.Udara rumah sakit dingin, namun keningnya dipenuhi peluh. Ia mencoba mengangkat tangan, tapi pergelangan itu terasa berat oleh selang infus yang menempel.Lalu, ia melihat seseorang di kursi sebelah.Leonardi.Lelaki itu duduk bersandar dengan kepala menunduk, mata cekung karena semalaman tidak tidur. Di pangkuannya, masih ada sisa tisu dan botol air mineral yang belum disentuh.Aruna memandangi wajah itu lama. Napasnya bergetar.“Renata …” suaranya nyaris tidak terdengar, hanya sebuah bisikan yang tersangkut di tenggorokan.Namun begitu bibirnya menyebut nama itu, kesadarannya pecah seketika.“RENATA!” jeritnya melengking, membuat Leonardi terlonjak kaget. Aruna berusaha bangkit, tapi tubuhnya belum kuat. Tangannya menepis selimut dan mencari seseorang yang tak lagi ada di ruangan itu. “Mana dia, Leo?! Di mana Renata?! Aku harus—”“Aruna,
“Turunkan senjatamu sekarang, Richardo!” suara Kirk menggema di atas dek kapal yang kini sunyi, hanya tersisa suara deburan ombak dan desau angin asin yang membawa aroma mesiu.Richardo berdiri dengan tangan bergetar, darah dari lukanya menetes ke lantai kayu. Daniel di belakangnya tampak pasrah, wajahnya kehilangan seluruh warna. Pistol yang sebelumnya ia genggam kini tergelincir ke lantai, membentur dengan suara logam yang nyaring.“Aku, aku tidak pernah bermaksud sejauh ini,” ucap Daniel gemetar, suaranya hampir patah.“Diam!” bentak Richardo, matanya merah dan penuh amarah yang tak tersisa arah. “Kau pikir aku akan menyerah begitu saja?”Namun sebelum ia sempat bertindak, dua agen FBI langsung menubruknya dari sisi kanan. Tubuh Richardo dihantam keras ke lantai, senjatanya terlepas, dan dalam hitungan detik borgol logam mengikat pergelangan tangannya.“Richardo, kau ditangkap atas tuduhan pembunuhan, perdagangan manusia, dan sabotase internasional,” ujar salah satu agen dengan nad
“Jangan bergerak!”Suara keras itu membelah udara, diikuti dentuman tembakan yang memekakkan telinga. Aruna tersentak, menutup telinganya. Seketika, jeritan Richardo terdengar — pelurunya meleset, dan pistol di tangannya terlempar jauh, terhempas ke laut.Leonardi berbalik. Di sisi dek sekoci, sosok berpakaian hitam dengan emblem FBI di dadanya berdiri dengan pistol teracung. Kirk — anggota Hostage Rescue Team yang selama ini memimpin operasi penyelamatan — menatap tajam ke arah mereka.“Target sudah teridentifikasi!” seru Kirk melalui radio di pundaknya. “Ulangi, target terkendali. Julia Beaumont dan kaki tangannya sudah dikepung.”Malam ini, suasana laut utara Jakarta lebih sibuk. Suara sirene dan desau helikopter mengguncang udara di atas mereka. Cahaya lampu sorot menembus kabut asap dan air laut, membuat permukaan dek sekoci terlihat seperti medan perang kecil — penuh darah, bayangan, dan kepanikan yang masih bergema.Richardo berlutut, memegangi lengannya yang berdarah. Ia menat
“Berhenti di situ, Aruna!”Suara Julia memotong udara seperti cambuk besi. Di ujung jarak beberapa meter, kilatan logam pistolnya berkilau oleh cahaya darurat merah yang menyorot dari langit-langit kapal yang mulai miring. Air laut sudah merembes masuk lewat dinding yang retak, menciptakan genangan yang berkilat dingin di bawah kaki mereka.Aruna membeku. Jantungnya berdetak begitu keras hingga terasa seperti hendak pecah. Nafasnya tertahan di tenggorokan, dan matanya terpaku pada moncong senjata yang berkilat—kilau maut yang memantulkan wajahnya sendiri.“Julia… kau tidak perlu melakukan ini,” ucap Aruna perlahan, suaranya parau dan gemetar. “Kita semua bisa pergi dari sini hidup-hidup.”Julia tersenyum miring, bibirnya bergetar di antara tawa dan tangis. “Kau pikir aku masih punya hidup setelah semua ini, Aruna?” desisnya getir. “Tidak. Kau sudah mengambil semuanya—Leonardi, proyekku, kebebasanku. Sekarang, aku hanya punya satu hal tersisa.”Renata yang berdiri di sisi Aruna maju se
“Leonardi!”Suara Aruna tenggelam oleh deru ledakan kedua yang menghantam sisi kanan kapal. Gelombang panas menyambar udara, lalu segalanya berubah menjadi kekacauan. The Trident bergetar seperti makhluk yang sedang sekarat—besi berderit, kaca pecah, dan suara manusia bercampur dengan teriakan panik.Air laut menerobos masuk dari dinding yang retak, mengubah koridor megah itu menjadi labirin maut. Lampu-lampu berkelap-kelip sebelum padam sepenuhnya, meninggalkan hanya cahaya merah darurat yang berdenyut seperti nadi ketakutan.“Leonardi!” Aruna berteriak lagi, berlari menembus asap dan air yang mulai memenuhi kapal hingga setinggi lutut. Tapi tak ada jawaban—hanya suara logam patah dan jeritan dari arah dek bawah.“Kakak!” Renata muncul dari balik pilar yang hampir runtuh, wajahnya penuh jelaga, rambutnya basah kuyup. Ia menarik tangan Aruna dengan paksa. “Kakak harus keluar sekarang! Kapal ini akan tenggelam!”“Tapi Leonardi—dia masih di sana!” Aruna menolak, matanya liar mencari soso












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments