Aruna menatap Leonardi yang duduk di tepi ranjang. Tubuh lelaki itu membungkuk, kedua siku bertumpu pada lutut, kepalanya tertunduk. Dalam cahaya lampu malam yang temaram, siluet Leonardi terlihat seperti patung marmer yang retak—dingin, tapi sekaligus rapuh.Aruna menelan ludah, ragu untuk mendekat. Biasanya, Leonardi selalu menuntut kendali. Bahkan ketika ia tertidur, ada aura kuasa yang memancar begitu kental. Tapi malam ini, Aruna melihat sesuatu yang lain.Sesuatu yang… hancur.“Leonardi…,” suara Aruna pelan, seperti angin yang takut bertiup.Lelaki itu tak menjawab. Hanya suara napasnya yang terdengar, kasar, berat, seolah setiap tarikan dan hembusan mengandung beban bertahun-tahun.Aruna melangkah perlahan, lututnya gemetar. Ia duduk di lantai, tepat di hadapan Leonardi, menengadah untuk menatap wajahnya. Mata Leonardi kosong, menatap lantai tanpa fokus.“Ceritakan padaku,” bisik Aruna.Leonardi diam. Jemarinya yang kokoh bergerak resah, mengepal, lalu membuka lagi. Butuh waktu
Terakhir Diperbarui : 2025-07-18 Baca selengkapnya