Lahat ng Kabanata ng Kekasih Hatiku Sang Tokoh Kedua.: Kabanata 71 - Kabanata 80

"​Di balik setiap kisah cinta yang abadi, terdapat air mata dan tinta yang memudar. Malam itu, Elaria melangkah ke dalam rahasia, memasuki kamar seorang wanita yang nasibnya kini menjadi cermin kejam bagi takdirnya sendiri. Di antara keindahan yang membeku dan kesunyian yang mencekam, ia menemukan kebenaran—sebuah harga yang ditulis dengan darah."***​Elaria mendorong pintu kayu tua Kamar Lady Leona. Suara engsel yang berderit memecah keheningan koridor barat. Kamar itu besar, mewah, dan terawat dengan bersih yang mencekik. Kain sutra berwarna emas dan biru tua menghiasi dinding dan perabot. Semua tertata rapi, terlalu sempurna, seperti set teater yang ditinggalkan.​Elaria merasakan dingin yang menusuk. Suasana di sana terasa seperti museum yang membekukan waktu, seolah-olah Lady Leona baru saja pergi, meninggalkan kerapian yang menolak kekacauan.​"Ini tempatnya," Elaria bergumam pada dirinya sendiri, matanya menelusuri ruangan dengan panik. Ia mulai mencari. Ia m

"​Cinta sejati adalah kenangan yang ditolak oleh dunia. Malam telah pergi, membawa serta pengorbanan yang paling menyakitkan. Kaelion terbangun, diselamatkan oleh ketiadaan, hidup kembali di dunia yang telah menghapus jejak jiwanya. Ia adalah Raja dari sebuah kerajaan, tetapi ia adalah tawanan dari sebuah memori yang tak lagi nyata." *** ​Kaelion membuka matanya. Tidak ada lagi pusing yang membelah kepala. Tidak ada mual atau rasa lemah yang menggerogoti. Kesehatannya pulih sempurna, bahkan terasa lebih bugar daripada sebelumnya. Kehangatan yang menjalar di tubuhnya adalah bukti bahwa kutukan itu telah hilang. ​Namun, ia merasakan keanehan yang lebih mengerikan. Sisi tempat tidur di sampingnya kosong. Seprai di sana rapi, seolah tidak pernah ada yang tidur di sana. Gaun biru muda Elaria, yang semalam teronggok, menghilang. Ruangan itu sunyi, terlalu sunyi. ​Kaelion merasakan ketakutan yang dingin menjalari tulang belakangnya. Ia bangkit, tidak ada rasa sakit, tetapi ia merasaka

"​Seorang raja harus mengenakan topeng, tetapi topeng itu adalah penjaranya yang terindah. Kaelion kembali ke takhta, menjalankan peran yang telah dikoreksi oleh takdir. Senyumnya adalah sebuah janji, sebuah pengorbanan sunyi yang ia tunaikan di depan dunia. Namun, di balik topeng emas itu, hatinya dipenuhi oleh nama seorang wanita yang tidak pernah ada."***​Setelah penemuannya di Menara Ilmu Kerajaan, Kaelion menyadari bahwa ia tidak bisa terburu-buru. Ia harus bertindak sebagai Raja, menjalankan tugasnya yang telah diselamatkan oleh pengorbanan Elaria.​Ia berdiri di aula singgasana, menyambut para bangsawan dan petinggi kerajaan. Ia mendengarkan keluhan mereka, memberikan keputusan yang bijak, dan yang paling mencengangkan bagi semua orang, ia melakukannya dengan senyuman yang tenang dan tulus.​"Yang Mulia terlihat sangat bugar dan bijaksana setelah insiden itu," bisik seorang penasihat kepada yang lain.​Kaelion merasakan senyum itu meregang di wajahnya. S

"​Waktu adalah bayangan yang tergesa, dan bagi jiwa-jiwa yang terperangkap dalam takdir yang akan segera mereka hancurkan, setiap detik terasa seperti jarum jam yang berdetak menuju kehampaan. Dalam enam hari, Kaelion harus menanggalkan takhtanya, menyerahkan hidupnya, demi cinta yang kini menjadi satu-satunya kebenarannya."***​Minggu terakhir sebelum bulan purnama berlalu dalam selubung kerahasiaan. Kaelion mengenakan topeng raja yang sempurna, menjalankan tugas dengan senyum, seperti yang ia janjikan kepada Elaria. Namun, di balik dinding istana, dua orang bekerja dalam kegelapan.​Grand Master Eledor menyiapkan ritual di sekitar Gerbang Vaylun, mengumpulkan kristal energi langka dari ruang perbendaharaan terdalam. Renier, sementara itu, bekerja seperti hantu, mengumpulkan dan menyembunyikan emas, kristal, berlian, dan permata milik rajanya dalam tas kulit yang diperkuat secara sihir.​Kaelion menghabiskan sebagian besar waktunya bersama Pangeran Alaric, sepupuny

"​Dunia yang baru menyambut mereka bukan dengan sihir, melainkan dengan gemerlap yang memekakkan telinga. Raja Kaelion dan Kapten Renier melangkah dari kegelapan fiksi menuju silau kenyataan, segera menyadari bahwa di dunia yang disebut 'nyata' ini, mahkota mereka tidak berarti apa-apa, kecuali sebagai kostum paling mahal di kota."***​Kaelion dan Renier melangkah meninggalkan gang kotor tempat mereka terlempar. Tubuh mereka masih terasa sakit akibat goncangan dimensi, tetapi rasa sakit itu segera dikalahkan oleh keheranan mutlak.​Di hadapan mereka terhampar jalanan lebar. Rumah-rumah berjejer rapi, ada yang sederhana, menengah, bahkan yang mewah. Namun, rumah-rumah besar bagi kaum kaya itu tak seperti istana pada umumnya.​"Yang Mulia," bisik Renier, matanya menyapu sekeliling, "dunia ini... begitu berisik."​Meskipun malam, suasana jalanan di sana tetap ramai. Kendaraan-kendaraan aneh yang bergerak cepat tanpa kuda berlalu-lalang, cahayanya menyilaukan. Orang