บททั้งหมดของ PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU: บทที่ 91 - บทที่ 100

"Rangga, cepat sini! Kok di rumah Ibu rame, ya!" seru Kenna dari depan rumah Bu Khodijah sambil menatap lelaki yang baru turun dari mobil itu.Rangga tersenyum tipis. "Sabar dulu, Ken. Aku baru beberapa hari keluar dari rumah sakit, jangan bikin aku pingsan lagi."Kenna terkekh, tai masih tak sabar. "Ayo dong, nggak mungkin pingsan di sini. Ini tempat baik, aku taktu terjadi apa-apa di sini."Iya, iya,.. kayaknya ada ayng nggak sabar ingin dilamar ini,..""Ih, pede amat kamu."Mereka melangkah ke depan pintu rumah Bu Khodijah. Saat Kenna menekan bel, pintu terbuka perlahan. Senyum Bu Khodijah langsung menyambut."Kenna, Rangga! Akhirnya kalian datang juga," sapa Bu Khodijah hangat, merangkul Kenna sebentar."Assalamualaikum, Bu Khodijah," ucap Rangga pelan, bersamaan dengan Kenna. Rangga menunduk sopan. "Waalaikum salam."Di belakangnya, Bu Firdaus ikut menyambut dengan senyum lembut. "Aduh, Rangga, sehat kan sekarang? Jangan banyak-banyak capek ya."Rangga mengangguk, wajahnya terl

Kenna spontan berhenti melangkah. Tangannya yang menggenggam tas kecil langsung terlepas. "Kiandra?" suaranya pelan, seperti tak percaya.Perempuan itu tersenyum miring, melangkah mendekat dengan gaya yang tetap elegan. "Akhirnya ketemu juga. Dunia sempit banget, ya, Kenna?" Mata Kiandra mencari seseorang."Bener katamu, Sayang. Dunia emang sempit. Apa khabar Wieke?" Wanita yang di samping Kiandra ikut berkata sama. "Sayang ya kita tak jadi besanan. Coba kalau jadi, bakalan seru kita. Tapi tenang, jangan takut, aku takkan menerima Wijaya lagi walau suami kamu itu memohon padaku. Suamiku ketampanannya tak ada seujung kuku pun dibanding dengan Wijaya."Wieke mencoba tak mendengar, tapi matanya tetap terpaku pada perempuan di hadapannya itu. Rambutnya lurus hitam, kulitnya terang, dengan mata sipit dan cara berdiri yang penuh percaya diri. Wieke tahu, dia memang cantik. Mereka duluh bahkan dijuluki teman sekampus sebagai bidadari kembar karena selalu ke mana-mana berdua dan bikin kaum a

"Ken, dengerin aku duluh. Aku,.."Kenna tertawa kecil, tapi matanya sudah buram. "Lucu ya katamu. Cinta tapi berawal dari dendam pada seseorang. Apa kamu pikir aku bakal bahagia tahu itu?"Wieke menatap Kenna dengan wajah hancur. "Nak, jangan langsung percaya. Bisa aja Kiandra cuma mau adu domba. Apa Kamu tidak tahu, Kiandra itu duluh sudah tunangan sama Rangga, tapi ngak jadi karena dia yang nggak bisa memegang kehormatannya. Tapi kamu tahu, sudah tahu begitu dia masih saja memburu Rangga dengan mengatakan kalau anak yang ia lahirkan adalah anak Rangga. Dan itu tidak benar.""Kenna menatap Wieke dengan penuh luka. "Saya tidak pernah mempermasaalahkan masa llau seseorang, Te. Saya sendiri juga punya masa lalu dan tak ingin orang lain mempermasalahkan itu lagi jika mau menerima saya. Tapi dia yang menghancurkan rumah tangga saya dengan caranya menyelipkan orang lain untuk menggoda suami saya, adalah hal yang teramat keji dilakukan seseorang.""Kenna, maaf,.. aku memang melakukan kesala

Pagi itu langit masih kelabu setelah semalam hujan. Udara dingin merambat ke sela-sela jendela apartemen Sasha. Kenna bangun dengan mata sembab, wajahnya pucat tapi berusaha tampak tega."Ken, yakin nggak mau sarapan dulu?" tanya Sasha pelan sambil menyiapkan teh hangat.Kenna menggeleng. "Aku cuma mau tenang, Sha. Mungkin di luar sana ada tempat yang bisa bikin aku ngerti lagi makna semuanya."Sasha mendekat, menggenggam tangan sahabatnya. "Kalau kamu butuh waktu, ambillah. Tapi jangan benci dia selamanya. Kadang orang berbuat salah bukan karena nggak cinta, tapi karena caranya mencintai salah."Kenna menunduk, matanya mulai basah lagi. "Aku tahu... tapi hati ini udah terlalu penuh karena kebohongannya."Sasha hanya mengangguk. Ia tahu tak ada kata yang bisa menenangkan seseorang yang hatinya baru patah."Apa kamu nggak mau belajar bawa anak kamu ke pengajian, Sha? mungkin di saat kamu pas ngomong, aku bisa jagaian sambil candain dia.""Aku nggak berani, Ken. Kalau dia rewel, dia bisa

“Rangga!” teriak Kenna berlari mendekat, napasnya terengah. Tubuh Rangga terpelanting ke pinggir jalan, sementara mobil yang hampir menabraknya berhenti mendadak."Kenna,.." rintih Rangga."Mas, maaf, Anda yang melintas mendadak. Ayo, saya bawa ke rumah sakit.""Tinggalkan saya, Pak. Saya memang salah. Biar urusannya nggak panjang, saya akan nyuruh orang saya saja.""Baiklah, Mas." Orang yang merasa memiliki kesempatan kabur itu segera pergi."Kenna,.." sebut Rangga, lalu matanya menutup."Rangga,... bangun!" Kenna menangis, mengguncang bahu lelaki yang ternyata amat ia cintai itu.“Tolong, Rangga, bangun,..jangan bikin aku takut kayak gini?” Suara Kenna pecah di antara isak. Ia berlutut, jemarinya gemetar menyentuh wajah lelaki itu yang berdebu. "Ayo, mana kunci mobilmu, biar aku antar ke rumah sakit."Rangga membuka mata perlahan. Senyum tipis muncul di bibirnya yang pucat. “Kamu... khawatirkan aku, ya?” katanya pelan.Kenna terdiam sejenak, lalu menatapnya tajam. “Kamu pikir ini lu