เข้าสู่ระบบAku istri sah, tapi merasa seperti bayangan. Suamiku sibuk mengkhianati, sampai pria lain membuatku merasa hidup kembali. Masalahnya... dia rival suamiku. Terlarang, tapi memikat. Salah, tapi aku tak bisa berhenti. Mampukah aku melawan pesonanya, atau justru hancur dalam pelukannya?
ดูเพิ่มเติมKenna masih terjaga meski jam dinding telah lewat tengah malam. Tirai putih di kamar bergoyang pelan tertiup angin dari jendela yang lupa ditutup. Tapi hatinya lebih dingin dari angin malam manapun.
Ia duduk di sisi ranjang, mengenakan mukena yang belum sempat ia lepas. Usai tahajud, ia tak bisa menahan diri untuk tidak kembali merenung.
Barel belum pulang.
Lagi.
Sudah dua minggu ini pria itu pulang lewat jam dua dini hari. Dan setiap kali pulang, tak ada lagi kecupan di kening, tak ada lagi bisik doa, hanya langkah berat dan keheningan yang memekakkan.
Dulu, Barel yang selalu mengusap rambutnya sambil berkata,
"Kenna kamu itu rumahku. Bahkan kalau dunia menolakmu, aku tetap memelukmu."Tapi itu... sebelum semuanya berubah.
Keguguran pertama Kenna, membuatnya jatuh dalam kesedihan, tapi ia tetap merasa dicintai. Waktu itu, Barel memeluknya sepanjang malam. Menghapus air matanya dengan ciuman sabar.
"Aku minta maaf," bisik Kenna saat itu, nyaris tak terdengar.
Barel menghela napas. "Untuk apa?"
"Untuk... semuanya."
"Ini bukan salahmu." Barel pun memeluknya hangat dengan menciumnya berkali-kali.
"Kita pasti bisa mendapatkannya kembali. Yang penting kamu sehat dan tetap bahagia. Dan satu pintaku, maukah kamu mundur dengan tidak menjadi muballigh keliling lagi?"
Kenna terperanjak sebentar. Namun dengan berat dia pun mengangguk. "Tapi kalau di medsosku?"
Kali ini Barel yang mengangguk dan lagi-lagi mendaratkan ciumannya di ubun-ubun Kenna.
Namun keguguran kedua... mengubah segalanya.
Hari itu di rumah sakit, tubuh Kenna masih lemah usai tindakan kuret. Saat ia membuka mata, yang pertama ia dengar bukanlah doa atau pelukan.
Tapi suara ibu mertuanya.
"Sudah kubilang dari awal, perempuan ini tak membawa untung, kamu saja yang masih ngotot menjadikannya istri, bahkan melawan kami, Barel."
Barel menyingkir.
"Badannya lemah, tapi pikirannya banyak. Semua masalah orang dia urusi dan dia pecahkan. Tak becus jadi istri. Dua kali hamil, gagal terus. Wanita tak berguna!"
Kenna ingin bangun dan membela diri, tapi mulutnya kelu. Air matanya menetes perlahan. Tak satu pun membelanya-bahkan suaminya hanya diam sambil menggenggam ponsel di sudut ruangan.
"Mas..." panggil Kenna lirih saat itu.
Tapi Barel hanya menoleh sebentar lalu kembali mengusap wajahnya sendiri, seperti enggan melihat istrinya.
Sejak hari itu, semua berubah.
Kenna tahu... cinta Barel mulai surut. Ia merasakannya dari tatapan yang makin dingin, dari genggaman yang makin jarang, dan dari kata-kata yang pelan tapi tajam seperti duri.
Malam itu, ketika Barel akhirnya pulang, Kenna menatap jam dinding. Hampir jam tiga pagi.
Pintu kamar terbuka. Barel masuk sambil melepas dasinya dengan kasar.
"Maaf... aku lembur lagi," katanya tanpa menatap istrinya.
Kenna mengangguk pelan. "Kamu... sudah makan?"
"Udah di luar."
Hening.
Kenna mengumpulkan keberaniannya.
"Mas..." suaranya serak. "Aku rindu kita yang dulu."
Pria itu berhenti di depan cermin, membenahi rambutnya.
"Kita yang dulu?" ia terkekeh pelan. "Kenna... kamu berubah."
"Berubah?" mata Kenna membesar. "Aku kehilangan dua anak kita, Mas. Kamu pikir aku tak sedih? Apa itu salahku? Bukan aku yang berubah, tapi kamu."
Barel menatapnya dari cermin. Mata itu tak lagi menyimpan cinta.
"Kenna, aku butuh istri yang kuat untuk melahirkan bayi, bukan pasien rumah sakit tiap kali kandungan membesar. Aku capek. Capek lihat kamu terus seperti itu."
Seketika dada Kenna sesak.
"Maaf kalau aku mengecewakanmu," lirihnya. "Aku juga ingin jadi kuat, tapi rahimku... tubuhku..."
"Ssstt," Barel mengangkat tangannya. "Sudah. Jangan mulai drama tengah malam lagi. Aku kerja seharian, bukan buat denger keluhan kamu tiap malam."
Air mata Kenna tumpah. Ia memeluk dirinya sendiri.
"Aku hanya ingin didengar... Dianggap ada..."
Barel menghela napas keras, lalu tidur memunggunginya.
"Tidur aja, Ken. Besok kamu masih bisa main TikTok dakwahmu itu, kan? Sana tumpahin isi hati ke followers kamu. Mungkin mereka masih mau dengar, karena aku... jujur aja, aku udah nggak kuat dengar apapun darimu."
Kenna menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari jarum infus.
Sementara di dalam dada, sebuah luka lama kembali menganga.
Ia ingat saat mertuanya memaksanya pakai jamu penyubur kandungan dan mengancam akan mencarikan istri kedua untuk Barel jika Kenna tak juga hamil dalam enam bulan. Ia diam. Menerima. Ia pikir, mungkin ini bagian dari ujian.
Tapi ternyata... yang hancur bukan hanya tubuhnya.
Jiwanya ikut remuk.
Siangnya, Mbak Wati datang seperti biasa. Satu-satunya suara di rumah itu selain suara jangkrik adalah dia, pembantu yang kalau malam dia pulang.
"Mbak Kenna... habis nangis lagi, ya?" tanyanya lirih, meletakkan teh di meja.
Kenna tersenyum kecil, menatap layar ponselnya.
"Enggak kok... cuma mata bengkak aja."
Ia membuka TikTok-nya. Sebuah konten pendek yang dia rekam kemarin telah ditonton puluhan ribu orang. Isinya tentang sabar dalam kehilangan.
"Kadang... bukan tubuhmu yang sakit, tapi hatimu yang kosong. Dan itu... tak semua orang bisa pahami." Begitu narasi videonya.
"Tapi percayalah, Allah akan selalu bersama kita. Dia tak pernah meninggalkan kita seperti orang yang akan pergi dari kita jika kita tak sesuai harapannya."
Komentar demi komentar masuk. Ada yang tanya apakah ini cuma kata-kata penenang atau memang hidup Kenna?
Tapi satu komentar membuatnya terdiam lama:
Akun RG.
"Aku telah lama memperhatikanmu. Aku merasa, di balik senyummu, ada luka yang tak semua orang lihat. Benarkah itu?"
Kenna memegang dadanya. Aneh... komentar itu sederhana. Tapi seperti pelukan di saat ia hampir runtuh.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama... ia merasa terlihat.
"Siapakah dia?" tanya Kenna dalam hati.
"Praba, pengantinnya datang!”Suara Najla memecah kerumunan. Beberapa tamu yang semula berdiri langsung menoleh ke arah pintu aula.Seorang perempuan melangkah pelan masuk. Gaun putih sederhana menempel di tubuh mungilnya. Di sebelahnya dia orang ibu dan satu bapak setengah baya. "Kenna.. " Salah satu ibu itu menyapa. Dia ibunya Praba. "Assalamu'alaikum, Tante! " Kenna menyalami perempuan itu. "Selamat ya! " "Terimakasih, Tante. "Gadis berbaju pengantin mengulas senyum. Wajahnya bersih, lembut, dengan senyum malu-malu. Kenna menahan napas. “Winda?” suaranya nyaris bergetar.Sasha menatap sekilas lalu tersenyum kecil. “Winda Windary? Sekelas kita dulu kan?”Kenna mengangguk pelan. “Dia dulu selalu bareng aku dan Sasha.”"Apa khabar kalian? "Tanpa banyak kata, mereka berpelukan. Penghulu menatap arlojinya lalu tersenyum lega. “Alhamdulillah, sudah lengkap sekarang. Mari kita lanjutkan.”Praba melangkah menyambut Winda. Ada sinar bahagia yang belum pernah terlihat sebelumnya di m
"Rangga? " Assalamu'alaikum, Kenna. Apa khabar? Mata Rangga memburam. Inginnya ia memeluk Kenna saat itu juga. Kerinduan tak lagi dapat ia bendung. Kenna hanya bisa mematung. Mata itu bahkan hampir menetes tak terkendali. "Pak, ini kapan dimulainya? " Suara Penghulu terdengar dari dalam. "Van, cepat bawa pengantin perempuannya," ucap Najla pula. "Sebentar, pengantinnya belum datang. ""Apa maksudnya, Evan?" tanya Kenna terbata, matanya beralih dari Evan ke penghulu yang sudah duduk tenang di depan.Evan tersenyum tipis, agak menahan gugup. "Kita tunggu sebentar lagi, Pak biar yang datang lengkap. Setelah itu baru mulai."Najla berdiri di sisi Evan, menggenggam tangan Kenna lembut tapi terasa menekan. "Mas Praba nunggu pengantinnya datang dulu ya, Van" ucap Najla, matanya menusuk penuh arti.Praba mengangguk pelan, lalu menatap Kenna. "Nggak apa-apa, aku tunggu," suaranya tenang, tapi Kenna bisa menangkap nada aneh di sana, seolah dia sendiri tidak yakin apa yang sedang terjadi.K
"Apa benar itu Praba?" bathin Kenna lagi.Evan menegakkan tubuh. Senyumnya menegang saat Kenna menatapnya.Kenna terpaku. Evan berusaha menjaga ekspresi, namun tatapannya sekilas tertuju pada Najla di sampingnya. Najla menatap balik dengan senyum tipis, tapi matanya berbinar. "Jadi itu yang kamu ceritakan bisa membeahagiakan Mbak Kenna?" tanya Najla tanpa suara, hanya melalui gerak bibir.Evan berpura-pura tidak paham. Ia mencondongkan tubuh ke depan, berusaha mengalihkan perhatian pada acara.Kenna menunduk. Jantungnya berdegup aneh. Ia mengingat percakapan singkat dengan Evan seminggu lalu, tentang pria yang katanya tekun beribadah, pekerja keras, dan mapan. Saat itu, Evan bilang, "Orang itu pantas buat kamu, Mbak Kenna. Aku cuma ingin Mbak bahagia."Jadi maksudnya... Praba?Senyum Praba kini tertuju padanya. Tatapan itu hangat, seperti dulu saat mereka masih sama-sama di SMA. Tapi entah kenapa, bukan kehangatan yang Kenna rasakan, melainkan sesak."Kenna?" Praba menghampiri. Sat
Serius, Van? Seminggu aja udah siap semua?” tanya Najla. Suaranya terdengar tak percaya ketika ia berdiri di depan lift.Evan mengangguk pelan. “Iya. Semua urusan administrasi udah beres. Mbak Kenna cuma perlu hadir.”Najla menatapnya curiga. “Cepat banget. Kamu yakin orang itu bukan sembarangan?”“Justru karena bukan sembarangan, makanya bisa secepat ini,” jawab Evan dengan senyum samar.Najla menghela napas. “Aku cuma takut kamu salah langkah. Katamu Pak Rangga suka Mbak kenna."“Tenang aja,” ucap Evan singkat, nada suaranya tenang, tapi matanya menatap jauh, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dia memang tak ignin Najla tahu sesuatu, mengingat sifat Najla yang blak blakan.Pagi itu langit mendung. Kabut tipis turun dari bukit, menutupi jalanan yang sepi. Sebuah mobil hitam berhenti di depan apartemen. Kenna melangkah keluar dengan langkah ragu, wajahnya teduh tapi mata sayunya tak bisa menutupi kecemasan.Evan menunggu di sisi mobil, mengenakan kemeja biru dan celana hitam rap
"Apa?""Kamu nggak akan pernah jatuh cinta sama dia."Sejenak Evan tergelak. "Aneh banget kamu.""Van, aku serius, janji nggak?"Nada suara Najla kali ini berat, seperti ada yang ia tahan.Evan menatap wajah gadis itu di bawah lampu jalan yang temaram. Rambut Najla sedikit lembap, menempel di pipinya yang pucat. "Aku janji," katanya akhirnya, pelan tapi mantap.Mereka berjalan pulang dalam diam. Langkah keduanya pelan, hanya suara gerimis yang menimpa jaket Evan dan sandal Najla. Tak ada tawa atau obrolan ringan seperti biasanya. Malam seolah menelan kata-kata mereka.Najla sempat memegang lengan Evan sebentar, hanya beberapa detik, sebelum melepaskannya saat mereka tiba di depan apartemen."Nggak masuk dulu, Naj?" tanya Evan, berusaha terdengar biasa.Najla menggeleng, menatap pintu kaca lobi. "Nanti aja. Aku mau langsung pulang. Biar kamu istirahat."Evan menatapnya, mencoba membaca sesuatu dari mata Najla, tapi yang tampak hanya kelelahan dan sedikit kecewa."Hati-hati, ya," ucapny
"Mbak Kenna, kamu kelihatan pucat," ucap Evan pelan sambil meletakkan cangkir teh ke meja.Kenna hanya mengangguk kecil. "Aku nggak apa-apa. Cuma capek mikir hidup aku aku di sini."Suara sendok beradu dengan gelas mengisi ruang tamu kecil itu. Udara pagi masuk lewat jendela yang setengah terbuka, membawa aroma tanah lembab sisa hujan semalam.Evan menatapnya. "Jangan mikir begitu Mbak. Aku kan bilang, tempat ini aman buat kamu."Kenna tersenyum tipis, tapi matanya enggan menatap Evan. "Aman sih, Van, tapi aku nggak bisa lama-lama di sini.""Kenapa?" Evan memiringkan kepala, suaranya pelan tapi jelas ada nada khawatir."Najla kemarin datang," jawab Kenna, lirih. "Dia tanya-tanya. Katanya kamu aneh akhir-akhir ini. Seolah dia curiga aku, Van."Evan mendesah, lalu mengusap tengkuknya. "Aku udah jelaskan ke dia soal Mbak. Jadi Mbak nggak usah khawatir.""Bagaimanapun juga," potong Kenna cepat. "aku nggak mau jadi alasan kalian ribut. Aku memang harus pergi."Hening menggantung di antara
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น