All Chapters of AIR MATA RINDU: Chapter 51 - Chapter 60

10 hari sudah semenjak kepergian Mbak Zita, dan kini aku sudah mulai bisa menerima. Aktivitas pun kulakukan seperti biasa, seolah semua baik-baik saja. Namun, percayalah jika di hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal.Entah aku harus mengutarakan seperti apa. Namun, ketakutan begitu besar melanda."Sayang!""Awsss!" Aku meringis setengah memekik kala pisau yang kupakai untuk mengiris sayuran malah mengenai ujung telunjuk akibat melamun, lalu tiba-tiba mendengar suara Mas Janu. "Astagfirullah! Kenapa nggak hati-hati?" Mas Janu meraih telunjukku yang mengeluarkan darah. Lalu, dia arahkan pada keran air di wastafel yang sebelumnya sudah dinyalakan."Aws ...." Aku kembali meringis kala air mengalir yang membuat telunjuk ini makin terasa perih. "Maaf, ya. Mas harus cuci dulu biar nggak infeksi," ucap Mas Janu dengan raut khawatir. Aku tak menyahut hingga dia selesai mencuci telunjukku."Sini, Mas obati dulu!"Pria tampan ini membawaku untuk duduk di kursi, tepat di depan meja makan. Se

Ini tidak bisa dibiarkan! Makin hari, Mas Janu seperti sengaja mendekatiku. Bahkan, tak jarang dia meminta hal konyol yang pada ujungnya menjebakku agar terus di sisinya. Seperti saat ini contohnya.Pria tampan yang sudah dua tahun menjadi suamiku itu tiba-tiba mengirim pesan agar aku membawakan makan siang ke rumah sakit. Hei, ini sangat konyol sekali! Sejak dulu pun Mas Janu selalu makan siang di kantin jika tidak membawa bekal dari rumah. Kenapa malah begini tiba-tiba?[Jangan pakai go send, ya, Sayang. Kamu sendiri yang antar pakai taksi.]Itulah pesan susulan yang baru saja masuk. Huh, mau tak mau aku pun menurut agar tidak mendapat label istri durhaka.Dengan rasa malas yang sudah sering muncul di usia kandungan menuju 3 bulan, aku melangkah ke arah dapur. Terpaksa menghentikan tontonan televisi yang tengah seru, gara-gara perintah Mas Janu.Tiba di dapur, rasa bingung ikut datang menyambutku. Entah apa yang akan kubuat untuk Mas Janu. Berbagai sayuran, daging, juga ikan yang ad

Hatiku sedikit lega setelah Mas Janu beberapa kali meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, sepertinya pikiranku memang berlebihan. Syukurlah Mas Janu mengingatkan.Kreet!Kualihkan pandangan pada sumber suara. Namun, seketika tubuhku membeku melihat seorang wanita yang kini berdiri di balik pintu ruangan."I-Ibu ...." Aku bergumam dengan lidah kelu. Kenapa Ibu bisa ke sini? Apa beliau tidak sengaja ingin mengunjungi Mas Janu? Atau ... memang suamiku yang memberi kabar pada Ibu?Ibu berjalan mendekat dengan raut tak terbaca. Ruangan yang lenggang ini terasa sempit hingga membuatku tercekat kala Ibu semakin dekat."Ada apa Janu minta Ibu ke sini?"Aku terdiam sejenak sembari menatap bingung pada Ibu. "M-Mas Janu?""Iya. Dia suruh Ibu tunggu di sini. Ada apa, sih?" tanyanya sembari menjatuhkan bokong di atas sofa yang tak jauh dari pintu. Huh, jangan harap Ibu mau duduk berdekatan denganku."Rindu nggak tahu, Bu." Kujawab pertanyaan Ibu dengan jujur. Sebelum kembali bertugas, M

"Mas ...."Aku menggoyangkan lengan Mas Janu beberapa kali. Namun, dia masih saja terlelap, seperti tidak terusik."Mas ...."Aku berusaha membangunkan Mas Janu untuk yang kedua kali. Beruntung mata suamiku sedikit terbuka kali ini."Apa, Sayang?" tanyanya dengan suara serak. Mata kantuknya menatapku sebentar, sebab kembali tertutup setelah itu. Sontak saja aku segera menahan dengan memegang kedua pipinya."Jangan tidur lagi, Mas! Ayo, bangun dulu!"Mas Janu menggeliat sebentar. Kemudian, matanya terbuka perlahan. "Memangnya ini jam berapa? Sudah mau subuh?""Jam 1.""Hah?"Mas Janu tampak terkejut dengan ucapanku. Memang apa yang salah? Jam yang menempel di dinding kamar memang menunjukkan pukul 1 malam sekarang."Mau apa minta Mas bangun malam-malam begini?" Dia menatapku dengan mata yang memicing.Kali ini aku tak langsung menjawab. Ada rasa ragu sebab sebenarnya aku tengah menginginkan sesuatu yang mungkin sulit diterima oleh Mas Janu. "Sayang, kok malah diam? Kenapa?"Kutatap Ma

Mas Janu berjalan tergopoh memasuki rumah Ibu. Raut cemas tergambar jelas sejak dia mendapat pesan dari ibunya. Aku pun sama cemas, tapi tak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti langkah Mas Janu pelan di belakang."Ada apa ini, Bi?" Aku bertanya pada salah satu ART yang baru saja menuruni tangga dari lantai dua."Ini, Bu ... Ibu tadi tiba-tiba sesak napas."Jawaban itu semakin menambah kecemasanku. "Tadi sudah mau kami bawa ke rumah sakit, tapi Ibu nggak mau. Katanya mau dijemput sama Den Janu.""Astagfirullah ...." Aku hanya bisa bergumam sembari menutup mulut menggunakan kedua tangan. Memang 2 bulan terakhir ini Mas Janu sangat sibuk dengan tugasnya hingga belum sempat mengunjungi Ibu lagi. Sedangkan aku memang tak berani menemui Ibu sendiri. Aku masih trauma, takut beliau mencaciku lagi."Ya sudah, Bi. Aku mau lihat Ibu dulu," kataku pada ART yang masih berdiri di depanku.Kubalikkan tubuh ini untuk menaiki tangga. Namun, belum juga satu langkah, Mas Janu sudah muncul sambil m