All Chapters of Jangan Pegang, Coach: Chapter 111 - Chapter 120

Dua minggu kemudian – Rabu sore, di kantor Mey lagi beresin handover notes buat Sarah, yang bakal cover selama dia dan Rafael di Bali. "So, urgent matters go straight to Emma," Mey jelasin sambil nunjuk ke dokumen di depan laptop. "Just handle client check-ins as usual, following the protocols we've established. Jakarta updates? Go straight to Rina, and copy Emma too." Sarah angguk. “Got it. Anything else?” “Yeah. Don't call us unless it's a super emergency, okay? We really need proper break.” Sarah senyum ngerti. “You both deserve it. First real vacation in… how long?” “Honestly? I've already forgotten," kata Mey sambil ketawa kecil. “Maybe over a year.” “Overdue means a lot. Go, relax, enjoy Bali. We'll manage." Sementara itu, Rafael lagi briefing Daniel buat urusan RafFit Singapore dan operasional harian. "All emergency numbers are here," kata Rafael sambil ngasih satu lembar print. "But seriously, unless the gym catches fire or the investors suddenly disappear, do

Sabtu pagi – Villa, CangguMey bangun lebih awal dari Rafael. Dia ke dapur, bikin kopi dua cangkir, bawa ke teras. Udara pagi masih sejuk, langit mulai terang tapi matahari belum keluar penuh.Dia duduk di kursi kayu, kaki dilipat, cangkir hangat di tangan. Pikiran melayang ke percakapan semalam.- Enam bulan sampai setahun -Bukan usulan langsung, tapi juga bukan cuma omongan kosong. Rafael tipe orang yang nggak bicara kalau nggak serius.Mey nggak takut nikah. Tapi tetap ada sesuatu yang bikin dia pause, bukan ragu sama Rafael, lebih ke... "apakah aku udah cukup siap jadi versi diri yang lebih stabil?"Dia masih suka overthinking. Masih suka ngambil tanggung jawab terlalu banyak. Masih kadang lupa makan kalau lagi deadline.Tapi mungkin... nggak harus sempurna dulu baru nikah. Mungkin justru nikah itu bagian dari proses jadi lebih baik.Rafael keluar, rambut acak-acakan, mata masih setengah merem."Ko

Senin pagi – One-North, SingapuraSeminggu setelah mereka pulang dari Bali, suasana kantor One-North terasa lebih dinamis dari biasanya.Di ruang rapat, papan strategi penuh coretan baru, tanda fase ekspansi Jakarta resmi dimulai.Rafael datang lebih pagi, bawa dua gelas kopi. Satu buat dirinya, satu lagi buat Mey.“Fuel for the battlefield,” katanya sambil nyodorin cangkir.Mey senyum, menerimanya. “Battlefield yang kali ini kita pilih sendiri.”Rafael duduk, buka laptop. Slide berisi Jakarta Expansion Plan terpampang di layar.Logo BodyZone kecil di pojok kiri bawah, simbol bahwa perjalanan mereka, baik profesional maupun pribadi, berputar kembali ke tempat semuanya dimulai.“Lucu ya," kata Mey sambil lihat layar. “Kita mulai dari Jakarta, dan sekarang... balik lagi dengan tujuan yang sama sekali beda.”Rafael menatapnya singkat. “Kadang hidup muter, tapi kalau kamu sadar jalurnya, kamu nggak balik ke tempat ya

Jumat pagi – BodyZone, SCBDRafael sampai lebih pagi dari jadwal. Jam 7 pagi, gym masih sepi, cuma beberapa early birds yang lagi warm up. Aroma karet matras dan iron plate masih sama seperti dulu.Rafael berdiri di pintu masuk, ngerasain sesuatu yang sulit dijelasin. Ini bukan cuma tempat kerja dulu. Ini tempat di mana dia belajar discipline, di mana dia ketemu Mey pertama kali, di mana dia mulai memahami arti "grow through pain."Suara langkah seseorang terdengar dari arah belakang.“Rafael Mahendra?”Suara itu lembut tapi mantap.Rafael menoleh.Di hadapannya berdiri seorang perempuan berambut hitam sebahu, memakai kemeja putih dan celana kain abu-abu.Tatapan matanya penuh perhitungan, tapi ada sedikit ragu di ujungnya.“Sinta?”Rafael sempat terdiam sepersekian detik.Perempuan itu senyum kecil. “Aku kira kamu nggak bakal inget.”“Gimana bisa lupa?” jawab Rafael datar, tapi suaranya nggak se

Minggu pagi – Apartemen KemangSuara hujan tipis di luar jadi alarm paling damai pagi itu.Mey kebangun duluan. Rafael masih tidur di sebelah, napasnya tenang, wajahnya lembut, nggak ada lagi garis tegang yang beberapa hari ini sering muncul.Mey bangun pelan, jalan ke dapur, bikin sarapan simpel: scrambled eggs, roti panggang, dan kopi hitam.Dia cuma pengen hari ini tenang. Slow. Tanpa notifikasi, tanpa rapat, tanpa rencana besar.Setengah jam kemudian Rafael bangun, rambutnya berantakan, jalan ke dapur sambil nyengir.“Wah, ada sarapan. Aku ulang tahun, ya?”“Nggak,” jawab Mey, balik badan dan nyandarin diri ke pelukannya. “Cuma pengen aja. Kita jarang punya pagi kayak gini.”“True. Biasanya jam segini aku udah buka laptop.”“Makanya, hari ini full rest mode.”Rafael ketawa pelan. “Deal.”Mereka makan sambil dengerin suara hujan.Diamnya bukan dingin, tapi damai.Yang kayak nyembuhin dari