Semua Bab DENDAM LUKA LAMA: Bab 191 - Bab 200

"Er, ini Yovan yang Mbak ceritakan waktu itu. Pemilik ruko yang kita sewa." Alina bicara pada adiknya.Erlangga segera mengulurkan tangan, begitu juga dengan Vania. Sementara di dalam mobil, Pak Setya dan Bu Endah tengah memperhatikan.Mereka berbasa-basi sejenak, setelah itu Erlangga pamitan. Yovan dipersilakan masuk oleh Bu Ambar dan Alina. "Silakan kalian ngobrol, Ibu mau ke dalam dulu," ucap Bu Ambar sambil memandang ramah pada Yovan."Terima kasih, Tan," jawab Yovan seraya mengangguk sopan.Alina mengambilkan air mineral dan disuguhkan pada Yovan. "Itu tadi adikku sama istrinya. Yang ngurusi sewa ruko tempo hari. Istrinya dokter. Dua bulan lagi selesai internship.""Oh, ya?""Hu um. Namanya Vania dan internship di klinik Aisyah. Sedang hamil lima bulan sekarang."Yovan manggut-manggut. "Bagaimana persiapan untuk pembukaan butik nanti?""Sudah 90%. Alhamdulillah. Tinggal nunggu hari H-nya saja.""Aku sudah share ke teman-teman kerjaku. Mereka pasti hadir di acara pembukaan nanti.

DENDAM- Aku Tak Sempurna "Maaf, aku ketiduran, Mas. Capek banget tadi," ujar Vania saat terbangun dan mendapati sang suami masih tetap terjaga di sebelahnya.Erlangga tersenyum seraya menyibakkan rambut yang jatuh di pelipis istrinya. "Nyenyak sekali tidurmu.""Lama ya aku ketiduran tadi?" tanya Vania seraya memandang jam dinding. "Satu setengah jam.""Oh." Vania tersenyum lebar. Lama juga ternyata. Perasaan hanya sebentar saja. Kemudian ia menoleh pada sang suami. "Aku tadi sudah cerita sampai mana, Mas?""Belum sampai mana-mana," jawab Erlangga seraya menatap lembut pada istrinya. Sampai mana coba, Vania baru bilang capek setelah menghadiri acara pernikahannya Rendy dan Tara, belum sempat memulai membahas Alina, ia sudah terlelap.Teringat apa yang dilakukannya tadi, membuat Vania tertawa. Sampai perut buncitnya terguncang. Duh, malunya. Dia benar-benar ketiduran sebelum mulai cerita. "Kamu ngerjain Mas tadi." Dengan gemas Erlangga menyentil hidung istrinya. Kemudian mengecup bi

Alina menggenggam kruk yang bersandar di kursinya. Benda itu mengingatkannya pada kenyataan pahit yang selalu mengekori."Kamu jadi pulang lusa?" tanya Alina setelah meredam gempar di dadanya."Iya. Sabtu sore kita ketemuan.""Baiklah. Nanti kuceritakan semua tentang masa laluku padamu. Biar kamu bisa mempertimbangkan keputusanmu. Masalahku nggak sesederhana yang kamu kira. Bukan hanya nggak bisa jalan tanpa kruk. Tapi ada yang lebih berat dari itu. Yo, andai kamu mundur, tolong jaga rahasiaku ini baik-baik. Aku percaya sama kamu.""Oke. Dua hari lagi kita ketemuan.""Iya.""Aku mau lanjutin kerja. Sampai bertemu lusa. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Alina meletakkan ponselnya di atas meja. Sebenarnya berat untuk menceritakan tentang kisah kelamnya. Tapi apa kali ini ia memang harus terbuka? Sebagai wanita normal, sekalipun ia sudah memutuskan untuk tidak menikah, tapi kehadiran Yovan mengetuk kembali pintu hatinya yang sudah terlanjur ditutup. Ada juga keinginan untuk bahagia

"Nggak masalah."Dada Alina semakin berdebar kencang. Ini jauh dari perkiraannya. Sebab dia sudah siap untuk kembali terluka lagi. Dia keluar rumah tadi, tanpa membawa harapan apapun selain Yovan akan tetap bisa menjaga rahasianya, jika tidak bisa menerima karena kelamnya masa lalu. Namun ternyata Yovan tetap bertahan. Ini yang membuatnya terharu dan matanya berkaca-kaca."Kita bisa membuka lembaran baru, tanpa menoleh lagi ke masa lalu, Lin." Yovan berusaha meyakinkan karena Alina terlihat masih ragu."Tapi bagaimana kalau keluargamu menolak? Pasti mereka punya harapan besar supaya anak lelakinya bisa meneruskan garis keturunan. Bagaimana kalau ternyata wanita yang dinikahi anaknya nggak bisa hamil."Yovan menatap keluar jendela sebentar, melihat cahaya lampu jalan yang berpendar. Kemudian ia kembali menatap Alina. "Keluargaku pasti punya harapan. Mereka ingin aku menikah dengan perempuan yang bisa memberikan keturunan. Tapi aku sudah cukup tua untuk menuruti keinginan mereka. Sejak

DENDAM- Baby BosErlangga masuk ruang bersalin dengan napas memburu. Wajahnya terlihat panik. Untungnya dia tidak salah masuk ruangan. Vania menoleh sambil tersenyum. Saat itu ia tengah berjalan perlahan sambil memegangi perutnya yang besar. Rambutnya diikat seadanya ke atas, wajahnya sedikit pucat namun tetap tenang. Seragam biru rumah sakit melekat rapi di tubuhnya. Sedangkan Bu Ambar duduk menemani."Er, temani Vania. Mama mau keluar sebentar." Bu Ambar beranjak sambil meraih tasnya.Setelah sang mama keluar, Erlangga segera meraih bahu Vania, lalu menarik istrinya ke dalam pelukan. "Sayang, kamu masih bisa mondar-mandir begini?""Tentu saja bisa, Mas. Ini baru kontraksi awal. Mas, jangan panik." Apa dipikir suaminya, perempuan hendak melahirkan hanya bisa terlentang saja.Vania melingkarkan lengannya di pinggang Erlangga. Bayi dalam perut bergerak. Sepertinya dia mengerti kalau sedang bersentuhan dengan papanya.Erlangga hanya bisa mengangguk, karena demikian cemas dan tegang. T