All Chapters of Ternyata Aku Seorang Putri Kerajaan: Chapter 161 - Chapter 170

Ling Yue sempat tertegun. Untuk beberapa detik, otaknya masih mencoba memastikan apakah ia benar mendengar kata-kata barusan. Lalu, perlahan, sudut bibirnya terangkat. "Kamu mengoleksi fotoku?” Nada suaranya tenang tapi matanya berkilat geli.Wajah Yifan langsung memucat, lalu memerah dalam waktu yang sama. “S-saya tidak bermaksud aneh!” ujarnya cepat. “Hanya—hanya foto publik! Dari berita… konferensi… atau—” Ia menunduk makin dalam, nyaris menenggelamkan wajah di antara lututnya. “Saya sungguh tidak pernah… melaukan yang aneh-aneh…”Ling Yue menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil. Tawa itu lembut, tapi cukup untuk membuat Yifan semakin salah tingkah.“Pffft. Tenanglah!” katanya sambil tersenyum. “Aku belum berpikir kamu seorang stalker… ya, setidaknya belum.”Yifan mengangkat wajahnya pelan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan antara lega dan malu luar biasa. “Itu tidak membantu, Yang Mulia.”“Tapi jujur,” lanjut Ling Yue, nada suaranya kali ini lebih lembut, “aku tidak

Zhenrui tidak menjawab. Ia berjalan pelan mengitari meja digital di tengah ruangan, matanya menatap peta hologram yang menampilkan lintasan pergerakan Yifan dan Ling Yue yang hilang di sektor hutan barat.“Tidak...” gumamnya akhirnya. “Kalau Yifan hanya ingin menyelamatkan dirinya, dia tidak akan membocorkan lokasi pamannya. Ia tahu konsekuensinya. Yuefang tidak akan pernah memaafkan pengkhianatan seperti itu.”Yuze menghela napas pelan. “Lalu kenapa dia melakukannya?”Zhenrui diam beberapa detik, lalu menjawab dengan suara rendah, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Entah karena rasa bersalah... atau sesuatu yang lebih rumit dari itu.”Ia menatap layar kembali, menelusuri wajah Yifan dari arsip foto buronan: pria muda berwajah dingin, sorot mata tajam, ekspresi nyaris tanpa emosi. Tapi di balik foto itu, Zhenrui menangkap sesuatu. Ekspresi keraguan.Ia memutar data satelit terakhir yang direkam sebelum sinyal Yifan lenyap. Sebuah titik merah kecil, dua bayangan bergerak b

Kabut dini hari mulai terangkat perlahan saat langkah Yifan menapaki jalan berbatu yang mengarah ke pos tim barat. Dari kejauhan, menara pemantau tampak berdiri tegak, dikelilingi lampu-lampu sinar putih yang menembus sisa embun. Suara generator dan percakapan prajurit terdengar samar, menandakan wilayah aman sudah dekat.“Sudah hampir sampai,” ujar Yifan pelan. Napasnya berat tapi teratur, pundaknya sedikit menunduk menahan beban di punggung. “Begitu kita melewati pagar itu, pasukan Yancheng akan segera menjemput Anda.”Ling Yue masih berada di punggungnya. Ia diam, hanya mendengarkan suara langkah dan detak jantung pemuda itu. Rasanya aneh… selama perjalanan ia berharap segera sampai, tapi begitu pos mulai terlihat, dadanya justru terasa sesak.Begitu mereka melewati gerbang pengaman, sensor di tiang logam berbunyi halus. Dua prajurit segera keluar dari pos, menodongkan senjata sebelum mengenali wajah Ling Yue.“Putri Bai Ling!” seru salah satu dari mereka panik. “Kami pikir Anda—”

Udara di koridor paviliun terasa lebih hangat, wangi dupa magnolia masih menggantung tipis. Begitu Meilin mendorong kursi roda memasuki kamar utama, Anli sudah bisa merasakan hawa berbeda di dalam sana. Tebal, gelap, dan… terasa sedikit luapan udara memanas.Pintu ditutup pelan. Meilin menunduk berbisik, “Kakak, Tuan Muda Qin menunggu Anda. Maaf, langsung saya tinggal ya....”Anli mengangguk, dan pintu pun tertutup.Sunyi....Tapi ia tahu seseorang ada di sana. Dan benar saja—“Anli.”Suara Qin Yuze muncul dari sudut ruangan. Dalam temaram lampu minyak, ia berdiri bersandar pada meja, mantel militernya sudah dilepas, hanya menyisakan kemeja hitam tipis yang lengannya digulung. Rambutnya masih basah. Ia tampaknya baru mandi setelah kembali dari medan.Tetapi mata laki-laki itu… gelap. Penuh amarah yang disimpan rapi.“Kau tahu,” katanya pelan sambil berjalan mendekat, “aku hampir kehilangan akal ketika tidak menemukanmu di paviliun.” Langkahnya berat dan stabil. “Kau hamil besar. Udara

Aroma teh jahe biasanya memenuhi kamar Anli di jam-jam seperti ini. Tapi hari ini, udara terasa kosong. Tidak ada suara langkah ringan Meilin, ataupun ketukan pintu pelan.Anli mengusap perutnya pelan, wajahnya mengernyit.“Meilin?” panggilnya.Namun, tidak ada jawaban.Yuze, yang sedang mengancingkan mantel tipisnya, menoleh. “Belum datang?”“Belum,” jawab Anli. “Meilin tidak pernah terlambat. Dia selalu ada bahkan satu jam sebelum makan siang.”Yuze mengusap dagunya. “Mungkin dia ke dapur dulu. Atau sedang menyiapkan sesuatu.”“Tapi aku tidak mendengar langkahnya. Biasanya aku bisa… merasakannya.” Anli menoleh ke arah pintu, khawatir. “Jangan-jangan dia—”“Anli, tolong,” potong Yuze cepat. “Bukan semuanya berakhir dramatis. Meilin cukup pintar dan kuat. Ia tidak mungkin diculik di dalam istana tanpa sepengetahuan kita.”“Aku tidak bilang diculik.” Tapi wajahnya berkata sebaliknya.Yuze menghela napas panjang. “Kalau kau benar-benar khawatir, mari kita cari dia.”Anli mengangguk. “Ki