All Chapters of Rahasia di Ranjang Malam Pertama: Chapter 71 - Chapter 80

Ada debar yang perlahan menjadi kencang, kala hal-hal yang terjadi mulai menemukan tafsirnya.Garda sendiri yang menafsirkan, tentang ucapan Daisha yang berisi: 'Ternyata aku nggak bener-bener bisa urus anak kita sendirian, Kak.' Ditambah dengan jilbab yang tak lagi wanita itu kenakan saat bersamanya, juga keberanian saat masih handukan wara-wiri di tempat yang ada Gardanya.Namun, bagaimana bila Garda salah? Tapi rasanya kecil kemungkinan.Setapak demi setapak kaki Garda mendekati Daisha yang sedang menyiapkan pakaian Baby Adya. Kain bedongnya juga dia bentangkan di kasur, seperti yang pernah diajarkan oleh guru parenting new born kala itu."Tidurin di sini, Kak, dedeknya," ucap Daisha. Dia beranjak mengambil skincare bayi.Garda patuh.Bersama-sama mengurus si kecil.Daisha lalu mengolesi krim penghangat khusus baby di perut dan dada Adya, pengganti minyak telon. Tampak lucu dan menggemaskan bayi itu, kaki beserta tangannya tidak mau diam. Kelojotan aktif.Hanya saja yang sejak tadi

Mata ke mata berjumpa lamat."Nifas?" Garda diam sejenak. Raut Daisha detik demi detiknya menunjukkan ekspresi ... apa, ya? Mata Garda memicing. Ada senyum-senyum mencurigakan di bibir Daisha. Sontak Garda cubit bibir itu.Ya, bagaimana tidak?"Kamu kalau bilangnya haid, Kakak pasti percaya. Tapi nifas?" Garda geleng-geleng. Dia cubit lagi bibir istrinya. Nakal, sih. "Mau bohong lagi? Nggak kapok gak jujur?" Oh, tidak, tidak.Daisha menangkup dua sisi wajah Garda. "Maaf, mau bilang belum siap ... tapi yang keluar itu. Mulut sama otak aku nggak sejalan, kadang mulut duluan yang gerak."Tahu-tahu bilang nifas.Ya, makanya itu raut Daisha langsung berubah dengan ekspresi kentara sekali bohongnya. Lebih kepada ... ucapannya tak berdasar dan Daisha sadar.Pertama, Garda melihat sendiri waktu itu—kemarin subuh atau kapan gitu—Daisha melipat mukena. "Dan lagi, nifas itu cuma empat puluh hari," tutur Garda. Ini yang kedua.Iya, memang. Daisha dicubit-cubit pipinya sekarang. Menerima hukuma

Untuk pertama kali setelah sekian lama dengan tanpa menentang pada perasaan yang ada, Daisha melangkah di sisi Garda sambil menggenggam tangan putra Mama Gea. Berdua. Baby Adya tidak diajak.Daisha habis konsul dari dokter jiwa, I mean psikolog. Daisha ingin mengolah jiwanya agar lebih plong lagi. Semua kecamuk dan benang kusut di kepala mulai diluruskan. Dan pulangnya mampir dulu ke tempat makan, hitung-hitung kencan mumpung kata mama, Baby Adya anteng asal ada dot susu.Tiba di dalam resto, tautan tangan itu dilepas mau tak mau. Sekarang rasanya Daisha ingin gelendotan terus di Garda.Lelaki itu mempersilakan Daisha duduk dengan menarikkan bangku untuknya, macam di drama-drama romansa. Adegan klasik yang saat Daisha sendiri merasakannya, dia suka.Diulas senyuman.Pramusaji datang membawa buku menu dan catatan di tangan. Garda duduk di hadapan Daisha. Memilih-milih mau makan dan minum apa.Andai sejak dulu ....Terlintas bayangan, andai Daisha tidak berpacaran dengan Ilias, tetapi f

Rasanya seperti yang pertama. Debarannya sama. Saat ada tatapan Garda yang tidak biasa menjamah mulai dari wajahnya, tampak berkabut, seperti ada hasrat yang perlahan berkobar. Daisha merasakan semua itu sekadar dari sorot mata dan embusan napas papi Adya. Bayi kecil mereka sudah lelap, tetapi sejujurnya Daisha masih khawatir. Bagaimana jika Adya bangun saat dirinya dan Garda sedang di puncak keintiman? Kini ... kerudung Daisha sudah dilepas, jarak wajah ke wajah juga tak sampai satu jengkal, dapat Daisha rasakan buruan napas panas pria di atasnya. Oh, tentu. Adya tidur di dalam boks bayi. Agak tercekat napas Daisha kala bibir Garda mengecup-ngecup pipi hingga ke sekitaran daun telinga. Mulai intens. Lengan Daisha juga diusap-usap. Kecupan itu turun ke rahang, Daisha agak mendongak. Meremas sprei. Jantung makin heboh saja berdetak. Betul-betul seperti sedang malam pertamaan lagi. Di mana sekarang ... bibir dan bibir yang berjumpa. Daisha memejamkan mata, pun dengan Garda. Ada

[Kak.][Bagusan yang mana warna birunya buat langit?][Sore, Kak. Kalau buat lukis abstrak ....]Dan masih banyak lagi kiriman pesan lain dari nomor Leona, hanya saja kontak itu sudah tidak disimpan di ponsel Garda—sedang Daisha lihat-lihat, inspeksi suka-suka. Tahu bahwa itu nomor Leona karena namanya tercantum di profil.[Sedih banget Kak Garda udah nggak open jasa lukis buatku lagi, padahal langganan sejak Kak Garda baru netes. :( ]Kalau itu dari Ayla.Nomornya sudah dihapus juga di ponsel Garda. Tahu ini kontak Ayla karena dari riwayat chat sebelumnya.Garda: [Terima kasih, ya, Ayla. Selama ini udah jadi pelanggan tetap dan ....]Ungkapan macam itu kira-kira yang Garda kirim terakhir kali. Ke sini-sininya pesan Ayla tidak pernah Garda balas lagi.Kalau begini sama saja dengan memutus tali silaturahmi tidak, sih? Tapi kalau mereka masih kontakan, Daisha juga kurang senang. Salahkah? Atau sudah benar seperti ini?Suami tidak berkontak dengan lawan jenis mana pun yang berpotensi mem