Sore itu Reykjavik berbau garam dan roti panggang. Angin dari pelabuhan menggigit telinga, tapi pasar akhir-pekan tetap ramai. Di deret paling ujung, Freya merapikan stand kecilnya: kotak-kotak poskort berilustrasi mercusuar, sketsa paus biru, dan seri “Aurora yang Tersesat”—gradasi hijau yang seolah patah di tengah.“Kalau gue jadi London, beneran nggak ada yang kangen?” gumamnya, menatap pesan pemesanan yang belum ia kirim.Suara tawa lelaki memecah pikirannya.Erik datang dengan coat hitam, scarf dililit asal, senyum yang terdengar seperti ajakan main. Freya mengangkat alis, datar tapi ramah. “Hari ini ‘open space’. Mau beli atau cuma bikin keributan?”Erik tertawa, mengambil satu set kartu pos. “Yang ini kayak kita.”“Kayak lo,” koreksi Freya. “Gue sih enggak.”Bel kafe di belakang mereka berdenting. Ayara masuk dengan syal krem dan tote bag kain. Raymond menyusul, telinganya memerah oleh dingin. Wajah mereka cerah tenang, seperti orang yang rajin mempraktikkan keputusan baru.“St
Terakhir Diperbarui : 2025-09-30 Baca selengkapnya