Se connecterLampu redup merah-biru berkedip liar di private room karaoke. Sofa kulit hitam udah berantakan, rok mini latex Ayara udah terlipat di pinggang, crop top putih transparan nyaris robek karena tarikan Raymond tadi. Wig hitam Ayara masih terpasang, tapi rambut aslinya udah basah keringat. Choker “DADDY’S GIRL” masih melingkar di lehernya, tapi sekarang ada tambahan: handcuff renda hitam mengikat tangan Ayara di belakang punggung, blindfold satin merah menutup matanya, dan garter belt cadangan jadi tali pengikat kaki Ayara ke kaki sofa, bikin dia cuma bisa selonjor di sofa dengan posisi terbuka lebar.Raymond berdiri di depan Ayara, kemeja batik udah lepas, cuma celana pendek, badannya berkeringat, mata gelap penuh kendali dan nafsu.“Lo nakal banget tadi, LC,” suaranya rendah, berat, penuh otoritas. “Om udah bilang diem, lo malah jerit. Harus dihukum.”Ayara menggigil, badannya merinding karena nggak bisa lihat apa-apa, cuma bisa ngerasain. “Om mau hukum LC gimana?” suaranya manja, tapi a
Di luar kafe, angin sudah lebih ganas, tapi aurora malah semakin ganas lagi.Hijau terang membelah langit, bergoyang seperti kain sutra yang ditarik pelan oleh tangan tak kasat mata.Ayara menatap ke atas, matanya berbinar. “Belum mau pulang,” katanya lirih pada Raymond. “Masih ada satu spot bagus di pinggir lava field. Dari sana aurora kelihatan full frame.”Raymond langsung mengangguk. “Aku ambil selimut di bagasi.”Freya menarik jaketnya lebih rapat. “Gue juga belum puas. Mau ke sisi lain Grótta, yang ada batu-batu hitam besar. Dari situ biasanya aurora kayak jatuh ke laut.”Erik melirik pergelangan kakinya yang masih bengkak, lalu melirik Freya.“Lo yakin jalan kaki? Gelap, licin.”Freya mengangkat bahu, senyumnya kecil tapi tegas. “Gue bawa headlamp. Lo boleh ikut, boleh nunggu di mobil. Terserah.”Ayara dan Raymond sudah berjalan duluan, saling bergandengan, lampu senter kecil mereka menari di kejauhan.Erik menatap punggung mereka, lalu kembali ke Freya.“Oke,” katanya pelan. “
Sore itu Reykjavik berbau garam dan roti panggang. Angin dari pelabuhan menggigit telinga, tapi pasar akhir-pekan tetap ramai. Di deret paling ujung, Freya merapikan stand kecilnya: kotak-kotak poskort berilustrasi mercusuar, sketsa paus biru, dan seri “Aurora yang Tersesat”—gradasi hijau yang seolah patah di tengah.“Kalau gue jadi London, beneran nggak ada yang kangen?” gumamnya, menatap pesan pemesanan yang belum ia kirim.Suara tawa lelaki memecah pikirannya.Erik datang dengan coat hitam, scarf dililit asal, senyum yang terdengar seperti ajakan main. Freya mengangkat alis, datar tapi ramah. “Hari ini ‘open space’. Mau beli atau cuma bikin keributan?”Erik tertawa, mengambil satu set kartu pos. “Yang ini kayak kita.”“Kayak lo,” koreksi Freya. “Gue sih enggak.”Bel kafe di belakang mereka berdenting. Ayara masuk dengan syal krem dan tote bag kain. Raymond menyusul, telinganya memerah oleh dingin. Wajah mereka cerah tenang, seperti orang yang rajin mempraktikkan keputusan baru.“St
Bar kecil di tepi pelabuhan itu hampir gelap seluruhnya. Hanya sisa dua lampu gantung kuning pucat yang bergoyang pelan tertiup hembus angin laut yang merembes lewat celah pintu. Rak botol memantulkan kilau samar; kaca-kaca tinggi berkabut tipis, menyisakan garis-garis lembap yang mengalir perlahan. Di luar, Reykjavik tertidur: denting tiang bendera, desir ombak halus menyapu dermaga, dan sesekali bunyi langkah turis yang tersesat malam-malam.Erik tertidur tengkurap di meja bar, pipi menempel pada lengan, rambut pirangnya acak-acakan. Nafasnya berat, menyisakan wangi bercampur antara whiskey, garam laut, dan parfum maskulin yang mahal. Di sampingnya, gelas kosong berderet seperti saksi nakal: terlalu banyak tawa, terlalu sedikit kendali. Lelaki itu tetap tampan bahkan dalam kekalahan kecil begini; sialnya, hal itulah yang membuat banyak hati—termasuk hati Freya—selalu memaafkannya.Freya berdiri beberapa langkah darinya. Mengenakan mantel wol abu-abunya yang bergelayut di bahu; dari
Malam sudah turun, langit di atas pulau berwarna biru tua. Angin laut masih sepoi, tapi terasa lebih dingin dari biasanya, seolah tahu ada badai yang lagi nyiapin diri di hati Ayara.Raymond masih duduk di ayunan kayu di teras villa, ponselnya di tangan, layar masih menunjukkan Maya calling untuk ketiga kalinya. Jantungnya berdegup kayak drum di konser dangdut, campur antara takut dan marah. Ia nengok ke arah kamar mandi, pintu masih tertutup rapat. Ayara belum keluar sejak tadi, setelah video call itu. Raymond ngerasa seperti lagi jatuh ke lubang hitam—semua bahagia honeymoon mereka, semua janji “kita cukup berdua”, sekarang kayak omong kosong.Akhirnya dia tekan tombol hijau. Video call langsung connect.Wajah Maya muncul di layar, cantik seperti biasa, tapi kali ini matanya merah, rambutnya sedikit acak-acakan, dan dia lagi duduk di sofa apartemennya yang super mewah. Latar belakangnya lampu kota Jakarta yang berkelap-kelip kayak lampu disko murahan.“Mond…” suara Maya langsung berg
Malam northern lights hunting berjalan lebih dari yang Raymond dan Ayara bayangkan. Mereka memilih spot yang memang sepi—hanya padang lava hitam bersalju dengan api unggun kecil di tengah, langit terbuka lebar tanpa polusi cahaya. Aurora yang indah sudah mulai menari saat mereka tiba: hijau zamrud bergoyang pelan, ungu tipis menyala di ujungnya, seperti alam lagi menggoda dengan cara paling sensual. Dan lagi-lagi, Elena dan Marcus ada di sana juga. Kali ini mereka duduk lebih deket api unggun, Elena sandar di bahu Marcus, tangan Marcus melingkar santai di pinggang istrinya—mesra banget meski udah tua. Mereka angkat gelas hot chocolate pas liat Ayara dan Raymond datang. “Wah, kalian lagi!” sapa Ayara langsung, nyengir lebar sambil duduk di bangku sebelah. “Ini kebetulan atau lo berdua emang hunter aurora?” Elena ketawa ngakak. “Hunter aurora sih bener. Kami udah 28 tahun nikah, tapi Iceland ini kayak pacar gelap kami—selalu bikin kangen dan susah pulang lagi.” Marcus nyengir lebar,







