[Selamat tinggal, Mas Bima. Dari seseorang yang pernah menjadi istrimu.]Bima terduduk di kursi, menatap surat di tangannya dengan ekspresi beku. Rahang yang ditumbuhi bulu halus itu mengeras, dadanya naik—turun perlahan, mata elang prajuritnya tetap terpaku pada tulisan tangan yang begitu dia kenal.Jemari Bima mengepal erat hingga kertas yang diberi Jihan nyaris remuk. Hatinya terasa dicabik-cabik, tapi tubuhnya membatu, seolah menolak menerima kenyataan.Jihan, yang berdiri di seberang Bima, semakin cemas. Sudah berulang kali gadis muda itu memanggil nama sang kakak, tetapi lelaki itu tetap diam. Tidak ada reaksi, tidak ada kedipan. Hanya sunyi yang semakin menyesakkan."Abang, bilang sesuatu, dong!" pekik Jihan bergetar, suaranya tercekat. "Jangan diem gini. Abang bikin aku takut. Katakan sesuatu, aku khawatir."Bima tetap tidak bergerak. Hanya napasnya yang semakin berat, semakin dalam."Abangggg!" Kali ini Jihan meninggikan suara. Sudah tidak tahan lagi melihat kakak laki–lakiny
Terakhir Diperbarui : 2025-08-31 Baca selengkapnya