Semua Bab Dendam Pernikahan Pewaris Tampan : Bab 21 - Bab 30

Kamar hotel utama, Devanka tertidur lelap dengan posisi tengkurap, tanpa sehelai benangpun di tubuh atletisnya. Di sebelahnya, Calysta berbaring dalam balutan satin tipis berwarna merah marun. Wajahnya santai, jemari lentiknya menggulung helaian rambut Devanka pelan.Malam itu mereka habiskan dengan gelak tawa dan cumbuan panas. Gelas-gelas anggur tergeletak kosong di nakas, sisa makanan room service masih menumpuk di piring porselen. Pagi menyambut mereka tanpa gangguan dan sedikit pun rasa bersalah telah menelantarkan Nayara.“Sayang … udah pagi,” gumam Calysta manja, mencium bahu Devanka.Pria itu menggeliat sebentar. “Masih ngantuk, Sayang,” ucapnya terdengar serak.“Aku pesenin sarapan tadi, biar kamu nggak harus keluar kamar. Aku tahu kamu capek.” Calysta tersenyum puas, menggoda sambil mengelus dada Devanka yang bidang dan penuh guratan tipis.Devanka hanya mengangguk setengah sadar, matanya baru terbuka ketika terdengar ketukan pelan di pintu. Calysta buru-buru bangkit, mer

"APA KAU GILA, CALYSTA?!"Suara Devanka membelah kamar utama hotel mewah itu dengan nada tinggi. Sorot matanya membakar, dadanya naik turun hebat menahan amarah.Pintu kamar yang ia buka dengan kartu akses itu memperlihatkan pemandangan yang langsung memukul ulu hatinya.Calysta, kekasihnya, berada di atas ranjang dalam kondisi polos tanpa sehelai pakaian pun, tubuhnya hanya terbalut seprai tipis. Dan pria asing di sebelahnya, duduk santai tanpa mengenakan atasan, dengan segelas wine di tangan dan seringai sinis di bibir."Beraninya kau memasukkan laki-laki ke kamar kita!" bentak Devanka, tatapannya menghunus tajam seperti pisau. Calysta memeluk seprai ke dadanya, lalu berdiri dengan gerakan panik. Rambut panjangnya kusut, wajahnya memerah entah karena malu atau terkejut.Ia tak menyangka Devanka akan kembali secepat ini, padahal ia tadi sudah kunci pintu, tapi ia lupa Devanka punya kunci cadangan."Devanka, dengar dulu—""Aku sudah cukup melihat!" potongnya cepat, mengangkat tangan

Beberapa saat sebelumnya.Pintu ruang rawat terbuka perlahan.“Nay?!”Vanya berdiri di ambang pintu, napasnya terengah. Raut wajahnya panik, jaketnya sedikit basah oleh gerimis tipis di luar. Begitu matanya menangkap sosok Nayara yang duduk lemah di ranjang, ia langsung tergopoh masuk dan menghampiri.“Oh Tuhan, Nay ...,” gumamnya serak. Vanya langsung memeluk tubuh sahabatnya erat. Nayara terdiam sejenak, sebelum akhirnya tubuhnya runtuh dalam pelukan itu, bahunya bergetar hebat. Ia menangis tanpa suara, sesak di dada meledak dalam isakan kecil.Vanya mengelus rambut Nayara dengan pelan, memeluk lebih erat. “Kamu kenapa, Nay? Siapa yang nyakitin kamu begini, astaga ... tubuh kamu dingin banget.” Nayara tak menjawab, hanya menggenggam kuat lengan Vanya seakan itu satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya dari genangan luka.“Aku ... a-aku mau keluar dari sini, Van,” bisik Nayara. “Bawa aku pergi ... sekarang.”Mata Vanya membulat. “Tapi Nay, kamu masih diinfus—”“Tolong jangan ta

“Lepasin, Mas,” ucap Nauara lirih, tatapannya penuh luka. “Balik aja ke Calysta. Aku nggak mau lihat Mas lagi.”Salju turun makin deras, menciptakan jarak beku di antara mereka. Nayara menarik tangannya pelan, tapi genggaman Devanka malah semakin kuat.Alis Devanka menurun. “Aku udah putus sama dia.”Nayara tertawa sumbang, terdengar hambar. “Mas nggak usah bohong. Aku nggak akan percaya lagi sama kalian, jadi nggak usah buang-buang waktuku.”“Aku nggak bohong, Nay,” tukas pria itu dengan tegas. “Aku ngelihat sendiri dia tidur sama laki-laki lain di kamar hotel. Pagi itu juga aku usir dia. Nggak ada lagi hubungan antara aku sama Calysta, kita beneran putus.”Nayara menatapnya lama, lalu senyum sinis muncul. “Oh … pantesan Mas nyari aku. Ternyata cewek Mas udah pergi sama cowok lain, jadi aku ini second choice, ya? Sayang, harga diriku nggak serendah itu. Aku nggak mau balik setelah semua hinaan yang Mas kasih.”“Nay .…” Devanka sedikit merunduk, suaranya serak. “Aku nyesel. Bener-bene

Devanka terdiam beberapa detik setelah mendengar kata-kata dokter itu. Tatapannya kosong, tapi di balik pupil matanya yang hitam pekat, ada gelombang amarah yang mulai membara.Tanpa aba-aba, ia maju satu langkah dan langsung mencengkeram kerah jas putih dokter itu. Tarikan tangannya kuat, membuat kerah itu terlipat dan hampir mencekik pemiliknya.“Saya nggak peduli ini rumah sakit terbaik di Swiss atau apa ....” Suaranya rendah dalam bahasa inggris, terdengar dingin dan tajam seperti pisau yang sudah diasah. “Kalau Anda nggak bisa selamatkan Nayara, saya akan obrak-abrik tempat ini. Dan Anda—” Devanka menunduk sedikit, menatap mata dokter itu lurus, “Anda yang akan pertama kali kena!”Beberapa perawat yang kebetulan lewat langsung menghentikan langkah, menatap adegan itu dengan wajah tegang.Namun, dokter itu tak mengubah ekspresinya. Ia tetap santai, bahkan mencoba tersenyum tipis meski napasnya tertahan oleh cengkeraman Devanka.“Tuan Devanka ...,” ucap dokter itu tetap tenang, seo