Lahat ng Kabanata ng Semua Perempuan Itu Mengejarku: Kabanata 121 - Kabanata 130

Mendapat panggilan telepon dari Shinta seperti menjadi ‘warning’ tersendiri bagi Doni. Kerenggangan persahabatan Doni dan Anton jadi pengingatnya. Seketika… dia juga sadar. “Aku ada Mira, yang sudah mau serius. Apakah benar aku mau tetap seperti ini dengan jalan sama banyak wanita? “ Batin Doni. Tidak mau mengambil resiko, Doni memilih jawaban aman. “Maaf Shin, lagi sibuk karier. Jarang ke kampus, juga. “ “Oh.. Ya sudah. “ Klik Shinta langsung mematikan telepon. Doni menghela napas panjang, berusaha tidak ambil pusing atas sikap Shinta. “Biarlah. Lebih baik begini bukan? “ Monolognya lalu segera memasukan ponsel itu ke saku dan mengeluarkan kunci pintu apartemennya. Udara malam menampar lembut wajah Doni ketika ia mulai membuka pintu unit. Lampu lorong apartemen redup, hanya temaram kuning yang menyoroti langkah kakinya. Ia baru saja pulang setelah hari yang panjang — diisi amarah, penyesalan, dan kebisuan yang menggantung sejak peristiwa sore tadi dengan Nadia. Makan

Awal pekan kembali. Membuat suasana tenang menjadi seperti benderang. Pijakan sepatu, pijakan gas dan juga aneka parfum segera menyeruak. Saling mendahului dalam meletakan id card guna membuka pintu masuk. “Pagi pak Doni, ini beberapa berkas yang harus bapak periksa dan tanda tangani sebelum naik ke meja bu Sylvi, “ Ucap Grace salah satu staff divisi marketing pada Doni seraya menyerahkan tumpukan berkas di depan Doni. “Iya mbak. Saya pelajari dulu ya. “ Jawab Doni ramah. “Belajar? Pak Doni ini hanya perlu diperiksa. Tidak perlu dipelajari. Semua sudah dicek mulai dari anak-anak magang, kontrak sampai Quality Control. “ Doni tersenyum ramah pada staff tersebut, “saya masih belum terbiasa mbak. “ Grace tersenyum sinis, “Posisi bapak tidak memerlukan kebiasaan. Hanya tanda tangan disini agar, divisi lain segera bisa berjalan. “ Doni menghela napas panjang, baru awal pekan sudah menghadapi staff seperti Grace. “Mbak mengatur saya? “ Grace mengangkat bahu, alis terangkat, “man

“Bagus Mas Doni, datanya sudah tertata rapi, sudah bisa dibaca dan berbicara. Jurnal dan literatur yang digunakan juga mendukung, semua penelitian terbaru. Progress yang bagus, sekarang kamu tinggal buat luaran jurnal saja. Baru bisa daftar seminar proposal dan ujian akhir skripsi.” Terang Bu Dyah, Dosen pembimbing Doni. Menginjak bulan ketiga sejak penelitian, Dosen pembimbing 1 Doni belum juga kembali dari tugas di luar negeri. Terpaksa, Doni hanya bisa bimbingan satu dosen saja. “Iya bu, Saya sudah mulai submit abstrak beberapa jurnal, semoga segera ada balasan.” Ucap Doni seraya menunjukan e-mail terkirim. “Jurnal SINTA berapa itu?” “SINTA 3 dan 4 bu. Belum ada balasan.” “Sabar, biasanya satu sampai dua minggu ada balasan. Kamu coba submit ke SINTA 1, kalau berhasil terbit, biasanya bisa bebas laporan akhir kamu. Langsung sidang saja. Yah…entahlah mas. Aturan dari atas semakin jeli, diminta lulus cepat tetapi ada saja syarat administrasi yang dipersyaratkan.” Jelas dosen ters

Doni sempat terdiam, jemarinya refleks meremas tepi cangkir. Udara di kafe yang semula hangat berubah menjadi berat. Shinta masih berdiri di samping meja, matanya bergerak cepat antara wajah Doni dan Mira. “Aku cuma gak nyangka aja,” ujar Shinta dengan tawa kecil yang lebih mirip sindiran halus. “Katanya sibuk banget. Aku nungguin kamu di kampus loh, kak Don. Eh malah ketemu kamu di sini sama staff kampus lagi.” Doni menegakkan duduknya, mencoba menata napas. “Shin, ini memang urusan data penelitian. Kak Mira bantu aku olah data supaya hasilnya bisa disetor ke dosen pembimbing.” “Oh iya?” Shinta melipat tangannya di dada, menatap Doni dengan senyum yang sulit diartikan. “Kalau cuma urusan kampus, kenapa harus di kafe kayak gini? Kamu kira aku gak bisa bantu? Aku juga ngerti statistik dasar, tahu.” Mira menutup laptopnya perlahan, menjaga ekspresi tetap tenang. Ia tidak ingin memperkeruh suasana. “Maaf, Mbak Shinta. Doni kebetulan minta bantuan sama saya.” Nada suaranya sopan,

Doni mencoba mengabaikan foto Alisha yang menggoda itu. Mira yang tulus membantu dan sudah satu tingkat lebih serius, kini ia harus perjuangkan. Ia segera ke kasir membayar semua pesanan lalu mengambil kendaraan di parkiran kampus. Ada satu tujuan lagi setelah dari kampus. Tujuan yang searah pulang. Sore itu, langit kota berwarna jingga pucat ketika Doni menepikan motornya di depan Nanad Bakery. Bau roti manis yang baru keluar dari oven menyambutnya begitu pintu kaca dibuka. Bel berbunyi nyaring, dan beberapa pegawai menoleh sambil tersenyum. “Wah, Mas Doni datang lagi nih! Mau beli kue atau mau cari bosnya?” celetuk Rika, salah satu kasir muda yang selalu ramah. Doni tertawa kecil. “Lagi pengen roti pisang cokelat buatan kalian. Katanya yang baru keluar dari oven lebih lembut, ya?” “Wah harus bayar dua kali lipat kalau mau hangat. “ Rika kembali menyahut. “Gitu ya? Bisa tekor nih dompet kalau sering mampir. Mana cobain. “ “Betul, tapi kalau mau yang paling enak, tunggu tang