All Chapters of Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!: Chapter 131 - Chapter 140

Roda kereta berderit pelan di jalanan berbatu. Guncangan halus membuat tubuh Dalia sedikit terayun, namun pikirannya jauh lebih bergetar daripada tubuhnya. Di pangkuannya, kotak kayu phoenix pemberian cucu sang pengerajin masih tertutup rapat. Hatinya berdebar setiap kali menatap ukiran phoenix di permukaan kayu itu. Ada sesuatu yang terasa hidup dari ukiran itu, seolah burung abadi tersebut mengamati setiap gerak-geriknya.Dengan tangan gemetar, Dalia membuka kunci besi kecil di bagian depan. Kotak itu terbuka, menyingkap isi di dalamnya.Dua lukisan.Alis Dalia berkerut dalam. Ia mengangkat lembar pertama, lukisan Yin dan Yang. Di dalam gambar itu, sosok naga hitam dan putih melingkar, saling bertarung, garis seimbang membelah keduanya.Deg.Darah Dalia seakan berhenti mengalir. Ingatannya langsung melayang pada mimpi-mimpi yang mengusiknya. Naga Yin dan Yang, langit merah, per

Dalia mengedipkan matanya cepat, berusaha meraih kembali kendali kesadarannya setelah sempat terhanyut dalam tatapan sang Adipati. Begitu sadar sepenuhnya, ia segera membungkukkan tubuh dengan dalam, sikap formal yang sudah melekat padanya sejak kecil.“Maaf atas kelancangan saya. Salam, Adipa—”Namun suaranya terhenti ketika Adipati Gara mengangkat tangan, memotong ucapannya dengan tegas namun tetap datar.“Kedepannya, tidak perlu bersikap formal padaku.”Kata-kata itu meluncur begitu saja, ringan, tapi cukup untuk membuat Dalia tertegun. Matanya membesar tipis, sebelum kemudian jatuh pada tangan sang Adipati yang terulur ke arahnya. Ada kehangatan asing yang menyeruak di dadanya, meski wajahnya tetap ia jaga tanpa ekspresi berlebihan. Perlahan ia menyambut uluran tangan itu, merasakan jemari kokoh yang menggenggamnya dengan pasti.“Yang Mulia pasti lelah,” ucap Dalia akhirnya, mencoba menutupi ket

Fajar baru saja menyingsing. Cahaya matahari yang lembut menyelinap masuk melewati kisi-kisi jendela kayu, menerangi ruang kerja Dalia dengan semburat keemasan yang hangat namun terasa semu. Setelah malam panjang yang menegangkan di ruang arsip, pagi itu ia tidak ingin membuang satu helai pun waktu.Di hadapannya kini terbentang sebuah meja besar dari kayu jati tua, permukaannya dipenuhi gulungan-gulungan catatan yang masih tertutup. Kotak besar tempat gulungan-gulungan itu tersimpan diletakkan di samping meja, dibawa secara diam-diam oleh Hana sesuai instruksinya. Dan seperti yang dijanjikan Adipati Gara, Bima yang mengantarkan kotak itu langsung ke kediaman Dalia.Hana sendiri tidak berani banyak bertanya. Dari raut wajah Dalia yang sedari tadi tampak begitu serius, jelas bahwa sang nona sedang menanggung sesuatu yang besar. Ia hanya berdiri di sisi meja, melayani dengan diam, sesekali membantu merapikan

Adipati Gara Abimayu melangkah masuk dengan langkah tegap, derap sepatunya bergema memenuhi aula besar itu. Udara yang semula tenang mendadak berubah tegang. Ketika sampai di tengah ruangan, pria itu membungkuk singkat, memberi salam hormat pada sosok yang duduk di kursi kehormatan.“Ibu,” suaranya rendah namun penuh wibawa.Ibu Suri Endah menatapnya dengan sorot mata gelisah. Wanita itu seakan ingin segera bicara, tetapi Gara lebih dulu mendahului.“Aku tidak akan mengizinkan pihak mana pun membatalkan pertunangan ini.”Dalia tertegun. Matanya melebar, napasnya tercekat. Ia mendongak, menatap pria yang kini berdiri tepat di sampingnya. Kehangatan sekaligus dinginnya aura Adipati membuat darahnya berdesir.“Tidak bisa, Gara!” suara Ibu Suri meninggi, wajahnya berubah marah. “Kamu tidak bisa melawan takdir, atau dunia ini akan bertambah hancur!”Tatapan Gara menusuk balik ke a

Dalia melangkah masuk kedalam kediaman Ishraq dengan hati yang bergemuruh. Langkah-langkahnya terasa berat, seakan tiap jejak kaki menancapkan kerikil-kerikil tajam di dasar jiwanya. Udara sore di halaman itu berhembus lembut, namun bagi Dalia justru menyesakkan. Wajahnya yang pucat menyimpan riak emosi yang sulit dikendalikan, antara tekad, rasa bersalah, dan amarah yang semakin hari semakin membuncah.Saat kembali menuju ruang kerjanya, ia menahan napas panjang. Berharap kesunyian di dalam ruang itu bisa menenangkan badai di dalam hatinya. Namun begitu sampai di ambang pintu, langkahnya mendadak terhenti. Kedua matanya melebar penuh keterkejutan.Di dalam, berdiri Giandra, sang kakak yang selama ini ia hormati. Tubuh tegapnya membelakangi pintu, namun jelas terlihat kedua tangannya tengah menggenggam gulungan-gulungan catatan ibu mereka. Dalia mengenali catatan itu—gulungan peninggalan ibu mereka, yang ia kunci rapat dalam kotak besar di sudut ruangan.Napas Dalia tercekat. B