All Chapters of Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!: Chapter 151 - Chapter 160

Ruang kerja Putra Mahkota Kekaisaran Barat malam itu sunyi nyaris menyerupai ruang pemakaman. Hanya suara pena yang bergerak di atas kertas dan bunyi lembut dari penggilingan tinta yang dikerjakan oleh Bram, tangan kanan Rangga Tirta. Dinding ruangan megah itu dilapisi ukiran daun teratai yang terbuat dari emas murni, dan langit-langitnya menjulang tinggi, dihiasi lukisan tentang dewa penjaga barat—penuh kesan agung dan suci. Namun, di tengah keagungan itu, atmosfer terasa menegang.Rangga Tirta duduk di balik meja panjang dari batu giok putih, jubahnya terlipat rapi di bahu, rambut peraknya dibiarkan terurai hingga menutupi sebagian pundak. Jemarinya yang panjang dan bersih memegang pena bulu angsa berwarna hitam, menorehkan tanda tangan di bawah selembar dokumen bertuliskan stempel kerajaan.Wajahnya tenang—tenang dengan cara yang membuat orang lain takut berbicara. Bola mata ungunya berkilau lembut namun dalam, s

Malam telah turun sepenuhnya di ibu kota Kekaisaran Barat. Hujan rintik-rintik yang turun sejak sore telah berubah menjadi kabut tipis yang menggantung di udara, membuat lentera-lentera di jalan tampak seperti kunang-kunang raksasa yang mengambang dalam mimpi. Di salah satu sudut jalanan berbatu, di antara deretan rumah kayu berarsitektur Barat, berdirilah sebuah kedai tua yang sudah tampak usang namun masih ramai dikunjungi penduduk setempat.Di dalam kedai itu, suasana ramai. Suara gelak tawa, dentingan gelas, dan musik seruling samar bercampur menjadi satu. Namun, di salah satu sudut paling gelap, duduk seorang pria berambut hitam pekat yang kontras dengan mayoritas pelanggan albino berambut perak. Wajahnya tegas, namun ada sorot muram di balik mata gelapnya yang berkilat dalam redup cahaya lentera.Gibran Ishraq.Tangannya mencengkeram kuat gelas porselen berisi minuman hangat yang kini sudah mulai dingin.

Dalia menatap sosok Rangga dengan waspada. Mata beningnya yang biasanya penuh rasa ingin tahu kini dingin dan penuh siaga, seperti seekor rusa yang terperangkap namun masih mencoba menemukan jalan keluar. Suasana di dalam bilik itu begitu tenang, hanya terdengar suara lembut angin yang menyusup melalui jendela, membuat tirai tipis bergerak perlahan. Namun di dalam dada Dalia, gelombang was-was tak berhenti bergolak.Rangga menatap balik dengan kening berkerut. “Ada apa?” tanyanya lembut, tapi suaranya sarat dengan keingintahuan yang tertahan.Dalia hendak membuka mulut untuk menjawab, namun tiba-tiba rasa nyeri tajam menjalar di punggungnya. Luka cambuk yang belum sepenuhnya sembuh terasa seperti tersiram bara. “Ah—” desisnya pelan, menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang. Tubuhnya sedikit menunduk, tangannya otomatis memegangi bagian belakang punggung yang perih itu.Rangga segera berdiri, matanya memb

Langkah kaki para pengawal di luar ruang kerja Putra Mahkota terdengar teratur, namun suasananya sarat dengan ketegangan yang tak kasat mata. Di balik pintu besar berukir naga emas itu, suasana hening—hanya suara kertas yang sesekali bergesekan ketika angin lewat dari jendela tinggi di sisi ruangan. Rangga Tirta duduk di kursinya dengan tubuh tegap, pandangan matanya terarah pada dua lukisan yang kini terbentang di atas meja batu hijau tua.Salah satu lukisan menampilkan bentuk Yin dan Yang dengan tinta hitam dan putih yang saling berputar lembut, sementara lukisan lainnya memperlihatkan seorang wanita berwajah tenang—seolah bukan berasal dari dunia yang sama. Ada kelembutan pada tatapannya, cahaya yang samar pada garis senyumnya, dan sesuatu yang memancarkan wibawa aneh yang bahkan sulit dijelaskan oleh kata-kata.Rangga tidak berkata apa pun. Bram berdiri di sisi kanan dengan kedua tangannya di belakang punggung, sementara Perdana Me

Langkah-langkah ringan Dalia beriring dengan langkah Rangga, menapaki jalur panjang yang membentang di antara taman luas Istana Barat. Di kedua sisi jalan, hamparan bunga teratai putih berbaris rapi di kolam-kolam kecil, kelopaknya menari lembut diterpa angin sore yang hangat. Entah mengapa, setiap kali matanya menatap teratai, dada Dalia terasa menegang. Seolah bunga-bunga itu sedang menatap balik, menyembunyikan rahasia yang tak terucap.Ia tidak tahu sudah berapa lama mereka berjalan, tapi yang jelas, di setiap sudut pandang, di setiap dinding, ukiran teratai putih seolah menjadi simbol yang tak pernah absen. Dari langit-langit, tiang penyangga, hingga pahatan pada pintu-pintu besar. Semuanya mengingatkannya pada sesuatu yang samar di benaknya—pada lukisan yang hilang itu, pada wajah perempuan yang selalu muncul di mimpinya."Teratai," gumamnya lirih tanpa sadar.Rangga menoleh sekilas, matanya yang berw