All Chapters of Putri Terbuang itu Istri Sah CEO: Chapter 101 - Chapter 110

​Sosok Radit menghampiri Nayla yang masih tertidur lelap di sofa. Dia duduk di sampingnya, mengusap lembut pipi wanita itu. “Sayang, bangun..” panggilnya lirih. ​Spontan Aluna dan Raka saling berpandangan, mereka terheran melihat pemandangan yang tampak asing itu. ​“Mereka pacaran..?” tanya Aluna pada Raka, nadanya penuh rasa penasaran. ​Raka mengangkat bahu. “Gak tau, kemarin gua lihat mereka masih biasa aja.. Tapi lebih dekat dari sebelumnya sih..! Sejak kapan si Radit jadi sebucin itu?” jawab Raka, pandangannya tertuju ke arah Radit yang kini tampak jauh lebih lembut dari biasanya. ​Raka berdehem. “Dit, lo sama Nayla pacaran..? Sejak kapan..?” tanyanya to the point, memecah keheningan romantis di sudut ruangan. ​Radit menggaruk kepalanya yang tidak gatal, wajahnya merona tipis. “Eh.. Hehehe..!” Dia melirik Nayla yang masih mengucek mata. “Kemarin, setelah cari Nayla.. Gua ngerasa takut banget dia kenapa-kenapa… Gua langsung sadar kalau gua nggak bisa kehilangan dia.” Lanju

​Kepulangan Aluna ke penthouse mewah mereka disambut dengan suasana hangat. Rumah itu kini dihiasi bunga Peony di mana-mana dan dilengkapi dengan segala fasilitas penunjang pemulihan, termasuk gym pribadi yang diubah sementara menjadi ruang fisioterapi.​Aluna merasa lega. Berada di rumah, di kamar yang ia yakini adalah kamarnya, ditemani Raka, perlahan memberinya kedamaian.​Pagi harinya, Raka memperkenalkan terapis yang ia sewa.​“Aluna, kenalkan. Ini Devan. Dia terapis terbaik di Asia Tenggara, spesialis saraf dan motorik,” ujar Raka, nadanya terdengar profesional, namun Aluna menangkap sedikit kekakuan di sana.​Seorang pria muda, tinggi, dengan senyum ramah dan rambut cokelat yang tertata rapi, membungkuk sopan. “Senang bertemu Anda, Nyonya Wijaya. Saya Devan. Kami akan bekerja keras untuk memulihkan Anda.”​“Terima kasih, Devan. Aku senang bertemu denganmu,” balas Aluna, tersenyum tulus.​Raka berdeham. “Devan, lo bisa mula

Aluna mencoba mengingat sebuah nama yang tampak di layar ponselnya. Tidak ada kilasan memori. Namun, ia merasa dorongan aneh untuk mengangkatnya.​Aluna meraih ponsel itu dengan tangan yang gemetar.​[Halo?]​Suara di seberang terdengar lembut, sangat manis, dan penuh keprihatinan yang dibuat-buat.​[Aluna? Syukurlah akhirnya kamu angkat! Ini aku, Kayla. Kakakmu. Kamu ingat aku?]​Aluna terdiam. ‘Kakak? Raka tidak pernah menyebutkan ia punya saudara.’​[Kayla? Aku nggak ingat kamu. Raka… Raka nggak pernah bilang aku punya kakak,] jawab Aluna, nadanya ragu.​Kayla mendesah dramatis.[Tentu saja Raka tidak akan bilang! Dia pintar menyembunyikan kebenaran, Aluna. Aku turut sedih mendengar keadaanmu. Kecelakaan itu pasti sangat mengerikan.]​[Kenapa kamu bilang kamu kakakku? Kenapa aku nggak ingat?] tuntut Aluna, mulai merasa tidak enak.​[Dengar, Sayang. Aku tahu kamu amnesia. Itu wajar. Tapi aku

​Ketukan di pintu menghentikan momen mereka. ​Tapi tidak lama suara Radit terdengar dari luar. “Gua, Ka. Sama Nayla. Ada tamu datang, nih. Mereka bilang orang tua Aluna.”​Raka dan Aluna saling pandang. Raka menghela napas. “Tamu tak terduga yang bagus.”​Raka berjalan ke pintu dan membukanya. Di depannya berdiri Radit dan Nayla, dan di belakang mereka, tampak sepasang paruh baya dengan wajah khawatir, Pak Ardian dan Bu Tania, orang tua Aluna.​Bu Tania segera melangkah maju, air matanya langsung menetes melihat Aluna duduk di kursi roda, wajahnya pucat dan kepalanya masih diperban.​“Astaga, Aluna, Sayang! Apa yang terjadi padamu, Nak?!” Bu Tania segera menghampiri Aluna.​Aluna menatap mereka. Wajahnya terasa familiar, ada rasa hangat yang aneh, tapi ia tetap tidak ingat.​“Raka, siapa mereka?” tanya Aluna lirih, menatap Raka.​Raka berjalan ke sisi Aluna, memegang bahunya. “Sayang, ini Mama dan Papa lo. Mereka baru sa

Raka dengan cekatan mendorong kursi roda Aluna. Di belakang mereka, Bu Tania dan Pak Ardian mengiringi, senyum bahagia terukir di wajah keduanya melihat Raka yang begitu lembut dan posesif pada putri mereka.​Mereka tiba di taman kompleks penthouse yang ternyata sedang ramai. Ada bazar kecil-kecilan di sana, dipenuhi stand makanan, mainan, dan beberapa permainan sederhana.​Awalnya, Aluna merasa tidak nyaman. Ia menunduk malu, berusaha menutupi perban di kepalanya dengan rambut. Ia merasa semua mata tertuju pada kursi rodanya.​“Raka, kayaknya ramai banget ya. Kita pulang aja deh? Gua nggak enak diliatin banyak orang,” bisik Aluna, menarik lengan Raka.​Raka menghentikan kursi roda. Ia membungkuk, menangkup wajah Aluna dengan kedua tangannya, memaksa istrinya menatap matanya.​“Dengar, Sayang. Lo itu cantik. Lo itu kuat. Lo adalah Aluna Wijaya. Kenapa lo harus malu?” Raka menatapnya dalam. “Kita ke sini untuk merayakan lo yang udah kembal