Diusir oleh keluarga yang tak lagi mempercayainya, Aluna, perempuan bar-bar dan keras kepala, berlari di tengah hujan, hingga tertabrak mobil milik Raka Aryaputra, pria dingin, tajam, dan anti perempuan tapi kocak. Aluna tidak tahu, bahwa pria itu akan jadi babak baru dalam hidupnya. Raka hanya ingin lolos dari perjodohan dengan Keyla, perempuan licik dan manipulatif yang mengaku sebagai anak kandung keluarga Aluna. Tanpa tahu masa lalu mereka, Raka menawarkan solusi brutal, menikah kontrak dengan Aluna. Gila? Jelas. Tapi hidup Aluna lebih gila dari itu. Tapi ketika Aluna dikenalkan sebagai istrinya di depan keluarga, semua api menyala kembali. Fitnah, dendam, dan rahasia yang terkubur mulai bermunculan. Di tengah fitnah dan pengkhianatan, perlahan Raka mulai melihat kebenaran di balik semua luka Aluna. Dan untuk pertama kalinya, pria yang membekukan hatinya dari cinta itu, rela terbakar demi seorang perempuan. Karena saat cinta bertemu dengan kebenaran, siapa pun tak bisa menyangkal siapa sang putri yang sebenarnya.
Voir plus“Tega sekali kamu menipu kami! Bisa-bisanya mengaku sebagai anak kami?! Mengarang cerita dan membuat kami percaya?!”
Tamparan itu telak menampar hidup Aluna. Sudah beberapa hari kedua orang tuanya, Pak Ardian dan Bu Tania, pergi ke luar kota. Dan hari ini... mereka kembali. Namun, bukan pelukan hangat atau senyuman rindu yang menyambutnya. Justru suara dingin dan tajam itu yang lebih dulu membelah udara. Dadanya berdegup kencang, wajahnya menegang. Ia melihat Mamanya berdiri di ruang tamu, matanya merah, namun sorotnya tidak lagi lembut seperti dulu. “A... Apa maksud Mama?” suara Aluna bergetar, nyaris tidak keluar dari tenggorokannya. Wanita yang selama ini ia panggil ‘Mama’ itu menatapnya seolah Aluna adalah parasit, penipu yang menjijikkan. Tak lama, Pak Ardian muncul dari arah belakang. Wajahnya tegas dan penuh kekecewaan. Suara itu... suara yang dulu selalu menjadi tempatnya berlindung, kini menghantamnya hati Aluna yang seketika itu hancur. “Aku gak ngerti... Aku gak ngerti maksud Papa dan Mama...” Aluna menggeleng perlahan, matanya berkaca-kaca, lidahnya kelu. Lalu, dari sudut ruangan, muncullah seorang gadis. Perempuan asing yang berdiri dengan anggun dan wajah sendu, seumuran dengan Aluna, tapi sorot matanya penuh kepuasan tersembunyi. Ia tersenyum lembut, lalu melangkah mendekat dan memeluk Bu Tania dengan manja. “Ma... Pa... Jangan salahkan Aluna... Mungkin dia hanya ingin merasakan hidup seperti aku... Mungkin dia terlalu lama hidup dalam kekurangan dan ingin... menggantikanku.” Nada bicaranya pelan dan penuh kepalsuan, seperti madu beracun. Aluna menatap gadis itu, rahangnya mengeras. “Siapa kamu?” tanya Aluna dengan bingung. Pak Ardian menatap tajam ke arah Aluna. “Dia Kayla. Putri kandung kami yang sebenarnya. Yang seharusnya kami jemput sepuluh tahun lalu. Bukan kamu, Aluna.” Deg. Jantung Aluna seolah berhenti berdetak. Dia menatap Pak Ardian dan Bu Tania dengan terheran. Kenapa tiba-tiba orang tuanya mendadak menuduhnya seperti itu. “Papa dan Mama kenapa bicara seperti itu.. Bukankah dulu kalian sudah memastikan data ku sebelum membawa ku pergi.. Kenapa sekarang tiba-tiba ada dia dan kalian langsung percaya begitu saja..?!” Aluna berusaha mencari tahu jawaban yang membuatnya bingung. “Itu karena kamu sudah meminta pihak panti menipu kami, atau kamu dan salah satu pengurus panti yang sudah merencanakan ini agar kamu hidup lebih baik daripada anak kami yang hilang waktu itu..” kata Pak Ardian dengan begitu yakin “T-Tapi… Aku nggak pernah minta dibawa ke rumah ini… Kalian yang mengadopsi aku… Kepala panti yang memberikan aku pada kalian.” Napasnya memburu, tubuhnya limbung. Pak Ardian dan Bu Tania terdiam, mereka saling berpandangan seakan mencerna setiap kata Aluna. Tapi disisi lain, ada bukti yang membuatnya begitu yakin kalau Kayla lah anak kandung mereka. Dan itu surat resmi dari panti kalau dulu telah terjadi kesalahan saat memberikan seorang anak perempuan pada mereka. “Aku memang nggak ingat siapa aku... yang aku ingat hanya... setelah kecelakaan kapal itu, aku diantar seorang keluarga ke panti asuhan itu. Aku pikir... kalian menerima aku karena cinta.” Aluna menahan isak yang mendesak naik dari dadanya, lalu menunduk. “Pergi kamu!” teriak sang ayah yang merangkul perempuan yang sebaya dengannya. ** Hujan turun begitu deras. Aluna tidak membawa payung, tidak juga memakai jaket. Tapi Aluna tetap berjalan, seperti orang tak bernyawa. Langkah kakinya perlahan melemah. Kakinya dingin, tubuhnya gemetar. Udara menusuk kulit, tapi hatinya lebih dingin dari segalanya. ‘Aku gak tahu harus ke mana. Aku gak mau berdebat dengan mereka… Aku terlalu menyayangi mereka… Tapi kalau memang aku bukan darah dagingnya, aku akan tetap berterima kasih…’ Ia menggumam dalam hati, lalu mempercepat langkah, menyusuri jalan raya dengan tubuh menggigil. Tiin... Tiin... Tiinnn...!!! Sebuah klakson mobil berbunyi keras. Tapi Aluna tidak mendengarnya. Dunia di sekitarnya seolah hanya gema samar. Dia melangkah lurus dan… BRAK Aluna berusaha duduk, memegangi kepalanya yang berdarah. Bibirnya gemetar. "Kamu baik-baik saja..?!" suara bariton membuatnya mendongak. Rambutnya basah kuyup, menempel acak-acakan di dahinya. Setelan jas Armani yang kini tampak lembab, dengan beberapa bagian menempel di tubuhnya, memperjelas lekuk dadanya yang bidang. Butiran air hujan masih menetes dari rahangnya yang kokoh, menuruni lehernya hingga ke kerah yang terbuka sedikit. “Kamu...” Ia menarik napas dalam. “Kamu kenapa gak buat aku mati sekalian?!” Tak lama pandangannya berubah menjadi gelap. Aluna pingsan. Di balik kemudi, Raka terdiam saat melihat kepala Aluna tertunduk dan tubuh perempuan itu perlahan ambruk. "Hei..! Bangun..! Kamu pingsan atau..?" Bukan Raka yang panik tapi Radit, asistennya itu memperhatikan Aluna dengan cemas. Raka terdiam menyuruh Asistennya turun melihat perempuan itu. “Kamu urus..” “Raka, dia pingsan... Ini masa dibiarkan? Kamu gak mau kan ada berita Raka Aryaputra–Pewaris Wijaya Corp insiden tabrak lari?” Radit menoleh ke arah Raka yang berdiri disamping pintu kemudi. “Yaudah. Bawa ke rumah sakit.” Radit menggendong perempuan itu. Sementara Raka hendak melangkah masuk ke pintu kemudi namun ditahan. “Kamu dibelakang aja. Aku yang menyetir.” Kali ini suara Radit seperti perintah untuk Raka. Laki-laki itu memicingkan mata, “Kamu memerintahku..?!” “Ya, untuk kali ini.. Demi keselamatan kita semua..!” kata Radit. Dia menutup pintu, berjalan ke arah Raka. Tanpa basa basi dia masuk dan duduk di kursi kemudi membuat Raka mendengus. “Hhhh.. Kali ini aku dengerin kamu, tapi gak ada lain kali..!” gumam Raka. Dia akhirnya duduk samping Aluna. Mobil melaju kencang di tengah hujan. Raka melirik ke arah perempuan itu, dia tampak basah kuyup, pucat, tapi… ada sesuatu yang familiar. ‘Kenapa aku seperti gak asing dengan wajah ini..?! Tapi selama ini, aku gak pernah dekat dengan perempuan manapun…’ Tiba-tiba… Ciiitttt—!!! Mobil mengerem mendadak. Tubuh Aluna bergeser, tangannya refleks menyentuh… bagian yang sangat privat milik Raka. Kepalanya bersandar manis di bahu pria itu. "Oh shitt..!" Raka membelalak, cepat-cepat menyingkirkan tangan Aluna sambil memutar badan. Mukanya memerah karena syok… atau karena efek sentuhan itu? **Raka menghentikan mobil sport hitamnya tepat di depan sebuah gedung pencakar langit yang berkilau di sore hari.Aluna melongok keluar jendela. “Ini– rumah?”“Turun,” jawab Raka singkat, tanpa menjawab sindiran.Mereka masuk lift pribadi. Suara musik lembut mengisi ruang sempit itu, tapi hawa di antara mereka tegang.Aluna menatap angka lantai yang terus naik. “Ini mau kemana sih atau lo—”Raka meliriknya dingin. “Gue nggak punya waktu buat pikiran kotor lo.”“Ck, semua juga kayak gitu.”“Diam.” Nada Raka memotong cepat.Pintu lift terbuka di lantai teratas. Penthouse itu luas, mewah, dan penuh kaca yang menampilkan panorama kota.“Ini kamar lo.” Raka membuka pintu di sisi kiri.Aluna melangkah masuk. Ruangannya nyaris setara presidential suite hotel bintang lima. Tempat tidur king-size, balkon pribadi, kamar mandi marmer dengan bathtub besar.“Serius?”“Ya.” jawab Raka datar.Aluna menoleh dan tersenyum tipis. “Makasih ya… walau gue masih curiga lo modus.”Raka menghela napas. Aluna
Aluna melangkah keluar dari taksi, menatap megahnya pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Tangannya menggenggam erat kartu hitam pemberian Raka."Hhhh… semalam di rumah sakit rasanya udah pengap banget. Sekarang waktunya melanjutkan hidup," gumamnya sambil mengangkat dagu, berusaha menepis rasa sesak didalam hatinya. Aluna langsung menuju toko ponsel. Setelah memilih iPhone terbaru, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Bukan buat gaya-gayaan… ini investasi kerja,” bisiknya pada diri sendiri. Laptop canggih jadi target berikutnya, untuk melamar kerja dan, katanya untuk mulai hidup normal.Beberapa jam kemudian, tangannya sudah penuh dengan paper bag berisi ponsel, laptop, dan beberapa set pakaian. Bukan barang mewah, tapi cukup untuk membuatnya percaya diri.‘Ini barang pinjaman,’ batinnya mantap, meski bayangan tatapan tajam Raka masih mengganggu pikirannya.**Di kantor, Raka duduk di kursi CEO-nya. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap layar komputer. Radit duduk di sebera
Suasana restoran siang itu cukup tenang. Aroma makanan lezat mulai menyebar, menambah kenyamanan suasana pertemuan penting antara dua keluarga. “Akhirnya kita bisa bertemu lagi, Pak Ardian, Bu Tania..” ujar Pak Dirga dengan senyum hangat, tangannya terulur menyambut kedatangan teman lamanya. Ada nada penuh memori di suaranya, seperti menyingkap persahabatan lama yang kembali tersambung. “Terima kasih, Pak Dirga, Bu Lestari. Kami senang kita bisa bertemu siang ini.. Maaf ya sudah menunggu kami.. Dan terima kasih undangan makan siangnya..” balas Pak Ardian sambil menjabat tangan mereka bergantian, terlihat akrab dan sopan. Bu Tania yang elegan tersenyum sopan, sementara Kayla berdiri di belakang mereka dengan senyum tak sabar yang ditahan-tahan. Raka, yang sejak tadi hanya sibuk menunduk menatap ponselnya, akhirnya mendongak juga. Tanpa banyak ekspresi, ia ikut bersalaman sekadarnya. Tak ada antusiasme di sorot matanya, bahkan bisa dibilang dingin. Tapi senyum manis Kayla langsung
Aluna mengerjapkan mata beberapa kali, pandangannya masih buram dan samar. Ia mengernyit, merasa terusik oleh suara langkah dan gerakan yang tidak dikenalnya. Ketika kesadarannya pulih sepenuhnya, matanya langsung menangkap sosok pria yang berdiri tak jauh dari ranjangnya. “Hei..! Apa yang lo lakukan..?! Lo tadi sentuh gua, ya..?!” serunya, suara serak namun penuh kecurigaan dan amarah, matanya menatap nyalang. Raka tak langsung menjawab. Pandangannya hanya melirik sekilas, lalu kembali ke tangannya yang merapikan selimut di ujung ranjang. Gerakannya tenang, terukur, seolah semua yang ia lakukan memang harus rapi dan presisi. “Selimut lo berantakan,” ucapnya datar, tanpa menoleh. “Sebentar lagi perawat datang. Jam sembilan dokter periksa. Kalau hasilnya baik, lo bisa pulang.” Dia menyilangkan tangannya di dada, menatap tajam kearah Aluna. “Memangnya jam berapa sekarang?!” tanya Aluna sambil menoleh ke kanan kiri, mencari keberadaan jam dinding. Jam tujuh,” jawab Raka tetap t
Lampu redup di kamar VIP itu membuat bayangan jatuh di wajah pucat Aluna. Nafasnya mulai teratur, meski tatapan matanya masih waspada. “Namamu siapa?” Aluna menjawab seraya membuka mata perlahan. “Al–una.” “Oh… Aluna,” Radit memecah keheningan, suaranya lega. “Maaf ya, tadi temenku nggak sengaja nabrak kamu.” Dia melirik sekilas ke Raka, lalu kembali fokus. “Sekarang gimana? Masih sakit di bagian kepala?” Aluna menutup mata sejenak, menarik napas dalam. “Pusing,” jawabnya singkat. “Oke, aku panggil dokter dulu,” ucap Radit sambil menekan tombol panggil perawat di sisi ranjang. Hening kembali menyelimuti ruangan. Raka, yang sejak tadi bersandar di sofa, mengalihkan pandangan ke jendela. Tapi matanya sesekali melirik Aluna, menelusuri wajah itu seperti mencari potongan memori yang hilang. ‘Kenapa mata itu nggak asing…? Siapa sebenarnya perempuan ini?’ pikirnya. Aluna bisa merasakan tatapan itu. Dingin, tajam, tapi juga seakan menuntut jawaban. Tatapan yang membuatnya ter
“Tega sekali kamu menipu kami! Bisa-bisanya mengaku sebagai anak kami?! Mengarang cerita dan membuat kami percaya?!”Tamparan itu telak menampar hidup Aluna. Sudah beberapa hari kedua orang tuanya, Pak Ardian dan Bu Tania, pergi ke luar kota. Dan hari ini... mereka kembali. Namun, bukan pelukan hangat atau senyuman rindu yang menyambutnya. Justru suara dingin dan tajam itu yang lebih dulu membelah udara.Dadanya berdegup kencang, wajahnya menegang. Ia melihat Mamanya berdiri di ruang tamu, matanya merah, namun sorotnya tidak lagi lembut seperti dulu.“A... Apa maksud Mama?” suara Aluna bergetar, nyaris tidak keluar dari tenggorokannya.Wanita yang selama ini ia panggil ‘Mama’ itu menatapnya seolah Aluna adalah parasit, penipu yang menjijikkan. Tak lama, Pak Ardian muncul dari arah belakang. Wajahnya tegas dan penuh kekecewaan.Suara itu... suara yang dulu selalu menjadi tempatnya berlindung, kini menghantamnya hati Aluna yang seketika itu hancur. “Aku gak ngerti... Aku gak ngerti m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires