All Chapters of Pembantu Pemuas Nafsu Sang Majikan: Chapter 191 - Chapter 200

Suara gesekan piring dan air mengalir terdengar lembut dari arah dapur. Malam itu suasana rumah terasa tenang, hanya ada suara jangkrik dari luar dan detik jam di ruang tengah yang berjalan pelan.Ariana baru saja selesai membereskan meja makan setelah memastikan Ethan tertidur pulas di kamarnya.Rambutnya yang dibiarkan terurai sebagian jatuh menutupi wajah, sementara ujung dasternya tersentuh lantai dingin marmer yang mengilap.Ketika ia melangkah ke dapur dengan piring di tangan, kakinya tiba-tiba menginjak genangan air yang tidak sengaja menetes dari panci bekas cucian.“Ah!” serunya pelan. Tubuhnya oleng ke belakang, piring di tangannya hampir terlepas, dan dalam sekejap dunia di sekelilingnya seolah melambat.Namun sebelum punggungnya benar-benar menyentuh lantai, sepasang tangan kuat sudah menahan tubuhnya.“Hey, hati-hati!” suara bariton yang hangat terdengar di telinganya. Ariana menoleh spontan — jantu

Sinar mentari pagi menembus lembut dari celah gorden kamar yang sedikit terbuka.Udara di dalam ruangan masih terasa hangat dengan aroma lembut sabun tubuh dan sisa parfum yang samar.Ariana menggeliat pelan di bawah selimut putih yang lembut, kelopak matanya membuka perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk.Jam di nakas menunjukkan pukul enam tepat. Burung-burung di luar sudah mulai berkicau, menyambut pagi dengan riang, seolah tak peduli bahwa penghuni rumah itu masih larut dalam dunia antara sadar dan lelah.Ariana menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Tubuhnya terasa hangat karena dekapan seseorang di belakangnya.Baru beberapa detik dia sadar bahwa lengan Jason melingkar di pinggangnya, dan napas hangat pria itu membelai pelan tengkuk serta pundaknya.Ia sempat terdiam sejenak, mendengarkan ritme napas Jason yang berat namun teratur. Saat dia hendak sedikit bergerak, Jason mendadak menciumi pundaknya pelan, memb

Udara sore di kota itu terasa hangat, menyambut kedatangan mereka dengan lembut. Matahari mulai menurunkan sinarnya dan menciptakan semburat jingga yang menari di permukaan gedung-gedung tua bergaya klasik Eropa.Mobil hitam yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah hotel bergaya kolonial dengan dinding putih bersih dan jendela besar berbingkai kayu.Sebuah papan nama elegan bertuliskan “La Vivre Étoile” berdiri megah di depan gerbang masuk.Jason turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Ariana. Wanita itu menatap takjub ke arah bangunan hotel, dan matanya berbinar penuh kekaguman.“Wow! Tempat ini cantik sekali,” ucapnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Jason hanya tersenyum melihat wajah polos yang terpukau itu. “Kau suka?” tanyanya dengan suara rendah yang serak, seolah senang melihat ekspresi kagum Ariana.Ariana menatap sekeliling lalu menghirup dalam a

Musik lembut mulai berubah menjadi melodi romantis yang lebih pelan, seolah restoran itu tahu bahwa malam tersebut bukan lagi sekadar makan malam mewah melainkan sesuatu yang jauh lebih berarti.Ariana baru saja meletakkan gelas wine-nya ketika Jason berdiri dari kursinya dan mengulurkan tangan padanya.“Ayo,” ucapnya lembut.Ariana mengerjap bingung. “Ke … ke mana?”Jason tersenyum kecil. “Kau mau berdansa denganku.”Ariana langsung gelagapan dan kedua tangannya spontan terangkat menolak. “Jason, aku tidak bisa berdansa. Aku … aku bahkan tidak tahu cara memegang posisi yang benar.”“Tepat, karena itu kau harus denganku.” Jason tidak menarik ucapannya.Tangannya tetap terulur, sabar, tidak memaksa, tapi juga tidak membiarkan Ariana menolak begitu saja.Wanita itu menatap tangan Jason, lalu wajahnya dan akhirnya menarik napas pasrah sambil menaruh tanganny

Dering ponsel Jason sudah berbunyi sejak beberapa menit terakhir, berulang-ulang, memecah keheningan kamar hotel yang masih dipenuhi aroma semerbak lavender dari lilin aromaterapi semalam.Matahari pagi menyelinap lewat tirai tipis, menimpa wajah Jason yang masih tertidur pulas, membuat garis rahangnya tampak semakin jelas.Akhirnya, dengan gerakan malas, Jason mengerjapkan matanya. Kelopak matanya terasa berat.Dia mengulurkan tangan, meraih ponselnya di atas nakas. Ketika melihat nama Jonas di layar dengan panggilan video yang berkedip tak sabar, Jason menghela napas dan berdecak pelan.“Ada apa?” gumamnya dengan suara serak berat khas baru bangun, tercampur sedikit kesal.Belum sempat Jonas menjawab, suara lain langsung menyeruak. “Daddy!!”Ethan tiba-tiba menyambar ponsel dari tangan Jonas hingga layar penuh oleh wajah anak kecil itu yang tampak sangat antusias.Rambutnya berantakan, pipinya menggembung, dan matanya berbinar seolah sudah menunggu momen itu sejak lama.“Hei, ada ap