Terjerat Hasrat Tuan Muda Kejam의 모든 챕터: 챕터 131 - 챕터 140

Cahaya senja mulai menyapu ruang tamu rumah Caleb yang sederhana. Reve, yang baru saja pulang dari klinik, terkejut menemukan Caleb sedang memasukkan beberapa helai baju ke sebuah koper kecil.“Kau sudah pulang, Dokter?” tanya Reve, meletakkan kunci motornya di meja.Caleb menoleh, memberikan senyum kecil yang hangat. “Ya. Aku pulang sebentar untuk mengambil barang-barangku, Reve. Aku akan dinas ke luar kota selama tiga hari.”Caleb melanjutkan memasukkan beberapa dokumen ke dalam tas kerjanya. “Dan mungkin, setelah urusan selesai, aku akan meneruskan penerbangan ke Singapura untuk sebuah konferensi. Jadi …,” dia berhenti dan menatap Reve, “Aku harap kau baik-baik saja di sini sementara waktu tanpa pengawasanku.”Reve berdiri lebih tegak. Ada harapan baru dalam dirinya yang tidak ada beberapa minggu lalu. “Aku sudah jauh lebih baik, Dokter. Aku rutin minum obat,” dan kemudian, dia menambahkan, “dan aku juga ... mendapat suntika

Sinar matahari siang menerangi ruang tunggu klinik yang sudah sepi ketika Laura memasuki ruang kerja Dylan. Di tangannya, seikat buket krisan putih yang segar dan cerah. Aroma bunga yang lembut sejenak mengusir aroma disinfektan yang membuat kepalanya pening.“Dokter Dylan, ini pesananmu,” ucap Laura, menyerahkan buket itu ke atas meja.“Ah, sempurna! Terima kasih, Laura.” Dylan menerimanya dengan senyum lebar, lalu seolah teringat sesuatu, dia mengambil selembar resep dari lacinya. “Oh ya, mumpung kau di sini, ini resep vitamin untukmu. Sudah waktunya untuk minum vitamin lagi untuk menjaga kesehatanmu.”Laura menerima resep itu, namun alisnya berkerut saat membaca alamat apotek yang tercantum. “Tapi ... vitamin ini hanya ada di apotek besar, ya, Dokter? Jaraknya lima kilometer dari sini.”“Ya, sayangnya begitu,” Dylan mengangguk, berpura-pura menyesal. “Tapi tidak apa-apa, kau bisa menebusnya nanti saat Argo kembali.”Tepat saat itulah, tepat sesuai rencana, Reve muncul dari ruang be

Senja mulai beranjak malam, langit kelabu menggantung rendah. Argo, dengan seragam kerjanya yang masih melekat, berdiri di dalam toko bunga Madam Letisha. Udara terasa pengap, pertanda hujan akan segera tiba. Wajahnya yang biasanya tenang kini diliputi kecemasan yang kian menjadi.“Di mana Laura, Madam?” tanya Argo, suaranya terdengar lebih kasar dari yang dia maksudkan. Matanya menyisir setiap sudut toko yang sunyi, berharap menemukan kekasihnya sedang sibuk di balik rak bunga.Madam Letisha mengangkat bahu, wajahnya juga mulai menunjukkan keraguan. “Oh, tadi siang dia bilang akan mengantar pesanan bunga ke klinik Dylan. Tapi sampai sekarang, belum juga kembali.”Argo melirik jam tangannya. “Sudah selarut ini?” gumamnya, rasa tidak enak hati mulai menggeliat di dadanya.“Aku tidak tahu. Tunggu sebentar, aku telepon Dylan,” ujar Madam Letisha, mengambil ponselnya.Percakapan singkat terjadi. Wajah Madam Letisha be

Pondok kecil itu seketika bergemuruh. Bukan hanya oleh derai hujan, melainkan oleh gelegar petir yang menyambar begitu dekat, seolah-olah langit terbelah di atas atap mereka. Kilat putih menyilaukan menerobos celah-celah papan kayu, disusul oleh suara menggelegar yang mengguncang pondasi pondok.Laura menjerit keras, sebuah teriakan yang dipicu naluri ketakutan dalam dirinya. Dia menekuk tubuhnya, tangannya menutup telinga erat-erat.Laura menyembunyikan wajahnya di balik lutut, berusaha untuk melindungi dirinya dari ketakutan dan amukan badai dan petir yang bergemuruh itu. Laura selalu takut pada petir, sejak kecil. Dan dalam keterasingan itu, ketakutannya memuncak.Tanpa pikir panjang, Reve bergerak. Dia mendekat dan merangkul bahu Laura yang menggigil. Tubuhnya melingkari dirinya, memberikan perisai fisik dari ketakutan yang tak terlihat olehnya.“Tenanglah,” bisiknya di dekat telinganya, suaranya rendah dan lembut, berusaha

Argo menatap penuh curiga pada Laura. “Apa dia sudah menciummu?”Laura menggeleng kuat-kuat, tangisnya semakin menjadi. “Tidak! Dia hanya ... dia memberikan jaketnya karena aku kedinginan. Itu saja!”“Bohong!” bentak Argo, tinjunya mengetuk keras kepala ranjang. Getarannya terasa hingga ke tulang Laura. “Aku lihat caranya memandangmu! Dia tidak akan melewatkan kesempatan itu!”“AKU TIDAK BOHONG!” teriak Laura, putus asa.Dia duduk di atas tempat tidur, matanya yang merah menatap Argo. “Dia menjagaku semalaman, Argo. Dia tidak menyentuhku dengan cara yang tidak sopan. Dia ... dia bahkan memelukku hanya karena aku ketakutan petir.”Pengakuan itu keluar dengan getir, menyadari betapa terdengarnya itu seperti pembenaran, padahal Laura hanya ingin mengatakan kebenaran.Namun alih-alih mereda, amarah Argo justru semakin memanas. “Aku cemburu, Laura! Kau tahu tidak, bagaimana rasanya? Aku hampir mati karena