“Selamat pagi, Jul. Maaf mengganggu,” ucapku, menyapa adik bungsu suamiku melalui sambungan telepon.“Ya, mau apa? Cepatlah, aku buru-buru,” sahutnya, terdengar ketus.Aku menarik ujung bibirku dengan gugup. Sesungguhnya, aku begitu sungkan. Namun, aku tidak punya pilihan.“Anu… kamu masih ingat uang yang kamu pakai tiga tahun lalu? Maksudku, bolehkah aku memintanya kembali? Abangmu sedang dirawat di rumah sakit,” jelasku dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya.Kudengar dengusan kasar dari seberang. “Uang apa?”“Uang yang dulu kamu pinjam buat berobat Vania. Kamu masih ingat, kan?”“Astaga, Kak! Jadi selama ini Kakak nggak ikhlas buat berobat keponakan Kakak? Cuma tiga juta, loh, Kak! Ya ampun… masa begitu saja ditagih?”Aku terdiam. Seingatku, saat itu dia tidak mengatakan ‘meminta’, tetapi ‘meminjam’. Andai dia meminta, aku tidak akan sampai menjual cincin milikku.“Tapi, kali ini aku sangat butuh. Abangmu dirawat di rumah sakit. Kami butuh banyak bia
Terakhir Diperbarui : 2025-08-11 Baca selengkapnya