Home / Rumah Tangga / Petaka Menagih Hutang Ipar / Bab 5 Memulai Hidup Baru

Share

Bab 5 Memulai Hidup Baru

Author: Luss_Purba
last update Last Updated: 2025-08-11 01:08:33

Ibu terkejut ketika melihat aku turun dari angkot dengan menenteng tas pakaian yang cukup besar.

“Loh, kan Ibu sudah bilang, jangan nginap di mari kalau nggak bersama Gery.” Ibu menghampiriku.

“Aku diusir, Bu!” sahutku.

“Apa?”

Ibu terlihat sangat kaget. Aku tahu, dia pasti tidak percaya, sebab selama ini hubunganku dengan Bang Gery jarang ada masalah. Jikapun ada, aku memilih tidak bercerita.

Kuhampaskan tubuhku ke atas kasur yang terlihat terawat, walau aku jarang menggunakannya. Ibu pun menyusulku. Aku tahu, wanita tua itu pasti akan mencecarku dengan berbagai tanya.

“Maafkan Susi, Bu!” ucapku sebelum Ibu bersuara.

“Sebenarnya, apa yang terjadi?” Ibu menatapku begitu lekat. Aku memilih memeluknya dan menumpahkan air mataku tanpa mengucapkan apa pun padanya. Kuharap, Ibu memahami luka hati ini.

Kurasakan belaian lembut menghangatkan jiwaku. Ia tak berkata apa pun, tapi tangan penuh cinta itu tak henti mengusap punggungku yang berguncang.

“Aku gagal, Bu. Aku gagal mempertahankan rumah tanggaku. Aku malu, Bu!” ucapku sambil terus menangis.

Ibu terdengar menghela napas. Ia mendorong lembut tubuhku, lalu kembali menatapku dengan tatapan yang selalu kurindukan—tatapan yang tak pernah menghakimi, sekalipun aku salah.

“Tidak ada satu orang pun yang ingin gagal dalam hal apa pun. Namun, jika harus gagal, bukan berarti kamu menjadi tak berguna. Sudahlah, bersihkan dirimu. Kita makan,” ujar Ibu.

Ibu pun bangkit tanpa bertanya masalahku lebih jauh. Kurasa Ibu tengah menjaga perasaanku, atau memang Ibu sudah tahu apa masalahku. Ah, entahlah. Ibu memang paling pandai membuatku nyaman.

Seminggu sudah aku tinggal bersama Ibu. Tidak ada tanda-tanda Bang Gery datang mengajakku pulang, atau sekadar menjenguk sebab aku ini masih istrinya. Kutelan napas, dan aku menganggap semua adalah akhir. Aku hanya menunggu surat cerai, walau sebenarnya aku tak pernah menginginkannya.

Aku mulai menghubungi teman lamaku. Berdiam diri dan menjadi beban Ibu bukanlah keputusan baik. Beruntung Roni, sahabatku waktu sekolah, masih dengan senang hati membantuku, walau aku jarang menghubunginya demi menjaga perasaan Bang Gery.

“Ya sudah, kamu datang saja besok. Langsung bilang bertemu aku,” ucap Roni saat sambungan telepon berlangsung.

Aku pun menyetujuinya dengan cepat, dan pagi ini, seperti janji yang sudah kami sepakati, aku berdiri di depan sebuah hotel dan resto yang sangat megah dan besar. Walau ragu, karena aku hanya tamatan SMA yang tidak punya pengalaman kerja apa pun.

“Pagi, Bu!” sapa resepsionis ketika pintu kaca itu kudorong ke dalam.

“Pagi, Mbak. Maaf, bisa bertemu Roni?” tanyaku.

“Pak Roni? Ibu sudah buat janji?” tanya wanita itu kembali.

“Sudah, kemarin dia memintaku datang melalui telepon,” jelasku, yang dibalas anggukan oleh wanita itu.

Dia terlihat menelepon seseorang, lalu bertanya namaku. Sejenak aku kagum dengan Roni yang dulu pernah pulang dan pergi sekolah berjalan kaki denganku, kini sudah menjadi bos di tempat semewah ini.

“Bu!” Panggilan dari wanita itu mengagetkanku.

“Eh, i-iya, Mbak!” sahutku gugup.

“Ibu sudah ditunggu di ruangan Pak Roni. Silakan naik lift khusus, dan tekan angka sebelas. Nanti di depan lift akan bertemu sekretaris Pak Roni,” jelas wanita itu.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun lekas berjalan sesuai arahannya. Seperti petunjuk wanita itu, setelah pintu lift terbuka, seorang wanita yang tak kalah cantik dari resepsionis tadi menyapaku.

“Mari saya antar, Bu!” ucapnya seolah sudah menungguku sejak tadi.

Ia membawaku menyusuri lorong yang terlihat sepi, lalu berhenti di depan salah satu ruangan yang bertuliskan General Manager.

“Wah, hebat sekali Roni,” gumamku dalam hati.

“Silakan, Bu.”

Aku mengangguk perlahan, lantas melangkah pasti memasuki ruangan megah yang mengejutkan. Ruangan kantor itu mengungkapkan kebesaran yang tak pernah kusangka—biasanya hanya menjadi bayangan di layar televisi, namun kini aku berdiri di tengah-tengahnya, terpesona.

“Ehemm!!!”

Deheman Roni sekali lagi membuatku terkejut. Aku berbalik dan mendapati sosok lelaki yang berbeda dari bayanganku. Roni yang kukenal sedikit tambun, namun lelaki yang berdiri di belakangku tidak demikian.

“Ma-maaf, mungkin aku salah ruangan,” ucapku gugup, membuat lelaki itu tertawa.

“Aku Roni, Susi! Emangnya kamu kemari mau ketemu siapa?” ujarnya.

Aku menyipitkan mataku. Jelas ini lelaki berbeda dari yang terakhir kukenal. Namun, tawanya, suaranya terdengar sama.

“Kamu beneran Roni?”

“Lah, ya iya. Aku Roni. Roni si embem,” ucapnya, menyebutkan nama panggilannya ketika SMA.

Sejenak berbasa-basi, kemudian ia menawarkan beberapa pekerjaan yang kurasa tidak kukuasai.

“Ron, aku kerja jadi office girl aja, ya! Kamu tahu sendiri, aku cuma tamat SMA. Kerja yang begitu nanti malah jadi menyusahkan kamu,” tuturku.

“Loh, memangnya kamu nggak mau belajar?” Roni masih bersikukuh pada penawarannya, menempatkanku di staf marketing.

“Ron, kamu niat bantu atau ngejek, sih?”

Roni kembali tertawa. “Ya sudah, kalau kamu nyamannya demikian, silakan. Tapi ingat, kalau kamu merasa siap, posisi itu tetap ada buatmu,” ungkapnya.

“Terima kasih sudah membantuku,” ucapku tulus.

“Sama-sama. Kamu sahabat terbaikku. Sudah seharusnya demikian, bukan?”

Aku tersenyum, lalu mengundurkan diri untuk pamit pulang, dan kembali esok pagi sebagai pekerja dari Roni. Walau sangat lelah, tapi aku bersyukur, akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri.

Sebulan bekerja, aku akhirnya bisa memberikan Ibu uang dari gajiku sendiri.

“Tidak perlu begini, Nak! Kamu simpan saja, kamu akan lebih butuh,” tolak Ibu. Namun, aku tetap memaksa, dan akhirnya Ibu mau menerima.

Waktu bergulir begitu saja. Walau di awal begitu berat, tapi tiga bulan berlalu, aku semakin terbiasa. Roni berulang kali menanyakan apakah aku berubah pikiran. Aku mantap menjawab tidak. Aku tidak ingin merepotkan, apalagi merusak pekerjaan.

Sore itu, aku turun ke bawah. Sebenarnya, khusus resto ada cleaning service sendiri. Namun, berhubung ada acara penting yang membooking restoran malam ini, kami diminta membantu ke sana. Kalau yang kudengar, pesta ulang tahun seorang pengusaha. Dia akan merayakan bersama karyawan dan keluarga karyawannya. Aku tak mengetahui pasti perusahaan apa, yang jelas, kami harus lembur membantu pekerjaan di tempat ini.

Tamu-tamu mulai berdatangan. Sebagai petugas kebersihan, kami memang khusus membersihkan jika tamu membutuhkan sesuatu dibersihkan—seperti makanan tumpah, minuman tumpah. Pokoknya stand by saat dipanggil.

“Sus, kemari!” Supervisor memanggilku. Dengan cepat aku mendorong kereta yang penuh dengan alat kebersihan.

“Kamu bersihkan meja nomor 103. Cukup bawa pembersih meja saja,” titahnya.

Aku mengangguk cepat, dan berjalan menuju meja tamu yang disebutkan. Saat tiba di sana, aku begitu terkejut. Ternyata yang duduk di sana adalah Gery dan keluarganya.

“Susi …”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 5 Memulai Hidup Baru

    Ibu terkejut ketika melihat aku turun dari angkot dengan menenteng tas pakaian yang cukup besar. “Loh, kan Ibu sudah bilang, jangan nginap di mari kalau nggak bersama Gery.” Ibu menghampiriku. “Aku diusir, Bu!” sahutku. “Apa?” Ibu terlihat sangat kaget. Aku tahu, dia pasti tidak percaya, sebab selama ini hubunganku dengan Bang Gery jarang ada masalah. Jikapun ada, aku memilih tidak bercerita. Kuhampaskan tubuhku ke atas kasur yang terlihat terawat, walau aku jarang menggunakannya. Ibu pun menyusulku. Aku tahu, wanita tua itu pasti akan mencecarku dengan berbagai tanya. “Maafkan Susi, Bu!” ucapku sebelum Ibu bersuara. “Sebenarnya, apa yang terjadi?” Ibu menatapku begitu lekat. Aku memilih memeluknya dan menumpahkan air mataku tanpa mengucapkan apa pun padanya. Kuharap, Ibu memahami luka hati ini. Kurasakan belaian lembut menghangatkan jiwaku. Ia tak berkata apa pun, tapi tangan penuh cinta itu tak henti mengusap punggungku yang berguncang. “Aku gagal, Bu. Aku gagal mempertahan

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 4 Pergi

    Mendung terlihat menghiasi langit sore. Gumpalan awan hitam seolah siap memuntahkan kandungan air di dalamnya. Aku duduk termenung menatap gelapnya langit, walau jam masih menunjuk angka tiga sore hari ini. Ada rasa cemas menghantui. Aku tahu ancaman Kak Ros akan mengadu pada Bang Gery tidak akan main-main. Bila ia berkata jujur, aku tak mengapa. Namun, Kak Ros jarang sekali tidak menambah atau mengurangi cerita. "Apa aku benar-benar akan menjadi janda? Ya Tuhan, bagaimana nanti ibuku bila mengetahui nasib malang anak perempuannya ini?" bisikku lirih dalam hati. Kuseka sudut mata yang terasa basah. Kuputuskan menutup jendela, sebab rintik hujan mulai berlomba-lomba jatuh. Kurebahkan tubuhku, dengan pikiran yang terus berkelana entah ke mana, hingga tak sadar mata ini terlelap. Aku tersadar ketika kurasa cuaca semakin dingin. Kulirik jam di pergelangan tanganku. “Astaga, sudah jam sepuluh,” gumamku terkejut. Aku keluar menyisir seluruh ruangan. Tak ada tanda-tanda jika Bang Gery

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 3 Di Ujung Tanduk

    “Kamu kenapa, Nia?” Kak Ros berteriak dari dalam rumah dan menghampiri Nia yang menangis. “Itu, Tante, Ma,” sahut gadis kecil itu sambil menunjuk aku. Tak lama, Bang Haris dan Bang Gery menyusul. “Kamu apa-apaan, sih, Sus? Masa anak sekecil itu kamu pukul? Emangnya dia salah apaan?” Kak Ros menatapku sinis sambil memeluk Nia yang menangis histeris. “Nggak, nggak begitu…” “Gery, kamu nasehatin dong istri kamu. Masa sama anak kecil begini dia kasar banget. Nggak ada sikap keibuannya, pantas nggak punya anak sampai sekarang,” adu Kak Ros pada Bang Gery. Kutatap Bang Gery yang tengah menatapku dengan tatapan datar. Kuteguk saliva sendiri. Rasanya tatapan Bang Gery seperti seseorang yang siap menelanku bulat-bulat. Ia pun berjalan terdiam hingga saat di sampingku baru ia berkata, “Masuk!” Aku menatap sebentar Bang Haris dan Kak Ros, lalu aku mengikuti langkah Bang Gery masuk ke dalam rumah. “Kamu itu kelewatan, ya, Sus? Sebenarnya keluargaku salah apa sama kamu? Kok kamu jahat git

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 2 Tak Kasat Mata

    “Tapi, apa? Kamu itu kelewatan, ya!” potong Bang Gery tanpa membiarkan aku menjelaskan. Kupungut sisa nasi yang berserakan. Aku memilih diam. Tidak enak rasanya beradu argumen dengan suami sendiri, apalagi abang dan kakak iparku masih di sini. Aku beranjak ke dapur. Kubiarkan sisa bubur tetap di dekat Bang Gery. Kuusap kembali dadanya yang terasa nyeri. “Apa Abang tidak tahu kalau kita tengah kesulitan biaya saat ini? Ini semua demi kamu, Bang!” Aku meraup oksigen sebanyak yang kumampu. Kucoba tenangkan pikiran agar aku tak menangis. “Bang Gery hanya butuh penjelasan aku nanti. Aku pasti bisa menenangkannya.” Hatiku meyakinkan diriku sendiri. Malam pun tiba, entah kapan abang dan kakak iparku pergi. Aku tak perhatikan lagi. Tebal sekali rasanya wajahku kembali menemui mereka setelah Bang Gery membentakku di hadapan mereka. “Bang, makan. Ini buburnya sudah siap,” ucapku sambil meletakkan bubur di meja kecil di dekat tempat tidur. Bang Gery diam, tak menjawab sepatah kata pun. K

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 1 Kambing Hitam

    “Selamat pagi, Jul. Maaf mengganggu,” ucapku, menyapa adik bungsu suamiku melalui sambungan telepon.“Ya, mau apa? Cepatlah, aku buru-buru,” sahutnya, terdengar ketus.Aku menarik ujung bibirku dengan gugup. Sesungguhnya, aku begitu sungkan. Namun, aku tidak punya pilihan.“Anu… kamu masih ingat uang yang kamu pakai tiga tahun lalu? Maksudku, bolehkah aku memintanya kembali? Abangmu sedang dirawat di rumah sakit,” jelasku dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya.Kudengar dengusan kasar dari seberang. “Uang apa?”“Uang yang dulu kamu pinjam buat berobat Vania. Kamu masih ingat, kan?”“Astaga, Kak! Jadi selama ini Kakak nggak ikhlas buat berobat keponakan Kakak? Cuma tiga juta, loh, Kak! Ya ampun… masa begitu saja ditagih?”Aku terdiam. Seingatku, saat itu dia tidak mengatakan ‘meminta’, tetapi ‘meminjam’. Andai dia meminta, aku tidak akan sampai menjual cincin milikku.“Tapi, kali ini aku sangat butuh. Abangmu dirawat di rumah sakit. Kami butuh banyak bia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status