Share

Bab 3 Di Ujung Tanduk

Penulis: Luss_Purba
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-11 01:01:51

“Kamu kenapa, Nia?” Kak Ros berteriak dari dalam rumah dan menghampiri Nia yang menangis.

“Itu, Tante, Ma,” sahut gadis kecil itu sambil menunjuk aku.

Tak lama, Bang Haris dan Bang Gery menyusul.

“Kamu apa-apaan, sih, Sus? Masa anak sekecil itu kamu pukul? Emangnya dia salah apaan?” Kak Ros menatapku sinis sambil memeluk Nia yang menangis histeris.

“Nggak, nggak begitu…”

“Gery, kamu nasehatin dong istri kamu. Masa sama anak kecil begini dia kasar banget. Nggak ada sikap keibuannya, pantas nggak punya anak sampai sekarang,” adu Kak Ros pada Bang Gery.

Kutatap Bang Gery yang tengah menatapku dengan tatapan datar. Kuteguk saliva sendiri. Rasanya tatapan Bang Gery seperti seseorang yang siap menelanku bulat-bulat.

Ia pun berjalan terdiam hingga saat di sampingku baru ia berkata, “Masuk!”

Aku menatap sebentar Bang Haris dan Kak Ros, lalu aku mengikuti langkah Bang Gery masuk ke dalam rumah.

“Kamu itu kelewatan, ya, Sus? Sebenarnya keluargaku salah apa sama kamu? Kok kamu jahat gitu sama mereka?” cecar Bang Gery tanpa basa-basi.

“Maksud kamu jahat gimana, Bang? Aku nggak ngapa-ngapain Nia. Aku cuma…”

“Halah, Susi. Ini bukan sekali dua kali. Kamu memang membenci semua keluargaku, kan?” potong Bang Gery, membuatku menggeleng keras.

“Aku tak pernah membenci mereka, kamu jangan asal tuduh!” sanggahku membela diri.

Namun, Bang Gery malah tertawa mencemooh. “Caramu kelihatan, kok, Sus. Kalau kamu memang nggak nyaman dengan keluargaku, ya sudah, aku tak menghalangi langkahmu. Pergilah!” ucap Bang Gery begitu enteng, membuat pupil mataku melebar tak percaya mendengar kata-kata itu.

“Kamu mengusirku, Bang?”

Bang Gery tak menjawab dan pergi begitu saja, meninggalkan aku di balik perasaan tak percaya yang masih mencekam. Selama ini, aku menganggapnya sebagai tempat berlindung, orang yang paling mengenalku, tetapi ternyata dia lebih memilih mempercayai keluarganya yang bahkan tidak pernah benar-benar peduli padanya. Aku merasa seperti dikhianati. Air mata mulai mengalir deras membasahi pipi, hati ini mencoba mencerna kenyataan yang pahit.

“Apakah ini hukuman bagiku? Apa setelah itu aku menagih hutang iparku kemarin?” bisik hatiku dalam tangis.

Tidak pernah aku menyangka, semuanya bermula dari menagih hutang saudaranya yang aku lakukan demi menyelamatkan hidupnya, justru menjelma menjadi petaka yang menghancurkan hubungan kami. Aku tak habis pikir, kenapa segalanya justru menjadi begini? Mungkinkah karena keegoisan keluarganya yang merusak apa yang telah kami raih selama ini? Sungguh, hati ini masih sulit untuk menerima kenyataan dan terus mencari alasan untuk kembali percaya pada Bang Gery.

Satu malaman, Bang Gery tak lagi berbicara padaku. Aku semakin tidak nyaman.

“Kalau benar tindakanku kemarin meminta utang Ijul itu kesalahan fatal, meskipun aku menagih demi nyawamu, aku minta maaf, Bang!” ucapku lirih.

Aku tahu, meskipun matanya terpejam, tapi ia tak benar-benar tidur. Bang Gery tetap bergeming.

“Perlu kau tahu, kau bisa ditangani di rumah sakit karena aku meminjam cincin kawin ibuku, dan kita masih harus segera menggantinya,” sambungku lagi, membuat matanya tiba-tiba terbuka.

“Otakmu ternyata sangat licik, Sus. Kamu hanya peduli dengan keluargamu sendiri, tidak dengan keluargaku,” ujar Bang Gery dengan nada tajam, membuatku terkejut dengan reaksinya.

“Aku kurang peduli keluargamu bagaimana, Bang?” tanyaku dengan tatapan menantang. Kali ini aku benar-benar tidak mampu lagi menahan diri.

“Cih, pakai nanya. Buktinya, anak adikku mau masuk sekolah bukannya kamu bantu, malah kamu tagih uang. Itu saja sudah kelihatan liciknya pikiran kamu,” sergahnya.

Aku meremas kain penutup ranjang. Rasanya isi kepala Bang Gery ini benar-benar bermasalah. Dia tidak bisa mencerna penjelasanku.

“Kalau bukan demi nyawamu, aku nggak bakal nagih, kamu paham, nggak?” Akhirnya suara yang kutahan tidak meninggi, malah meninggi juga.

“Tuh, kan, kamu ngungkit! Baru begitu saja kamu sudah merasa paling berjasa. Seharusnya biarkan saja kakakku yang mengurus aku di rumah sakit,” jawabnya, membuat aku benar-benar tak kuat menahan amarah.

“Terserah!” ucapku, tak ingin terus berdebat dengan suamiku yang semakin lama tidak nyambung. Seingatku, dia tak seperti itu dulunya. Entah penyakitnya yang membuat kepalanya tidak berguna, atau memang pengaruh keluarganya.

Kutinggalkan Bang Gery di kamar. Aku memilih mendinginkan kepalaku di ruang tamu sambil menyalakan televisi. Entah berapa lama aku menggonta-ganti siaran, dan memutuskan menonton acara talkshow berbau candaan, lalu akhirnya terlelap.

“Haduh, haduh, Tuan Putri ini. Pantas lakinya berangkat kerja sarapan dari rumahku, rupanya si Nyonya ini masih tidur pulas depan tivi. Wah, enak banget, ya!”

Suara Kak Ros tiba-tiba mengagetkanku. Kulirik jam yang tepat menggantung di hadapanku, sudah pukul setengah sembilan pagi. Aku menggulung rambut panjangku, lalu bangkit tanpa menanggapi ucapan Kak Ros, dan berlalu ke dapur.

“Eh, eh, makin nggak sopan kamu lama-lama, ya! Orang ngomong, main pergi aja,” pungkasnya tak terima.

Aku tak menghiraukannya. Kupilih masuk ke dalam kamar mandi dan tiba-tiba menutup pintu agar wanita itu berhenti mengomel.

“Memang dasar ipar kurang ajar! Nggak punya sopan santun. Awas kamu, ya! Gery pulang, akan aku aduin kelakuan kamu ini. Biar kamu dicerai sekalian,” ucapnya, membuat emosiku kembali terpancing.

Aku membuka pintu kamar mandi dengan cepat.

“Silakan, bukankah itu yang Kakak mau dari dulu? Silakan adukan apa pun yang Kakak mau, aku tidak takut,” sahutku dan membanting pintu kamar mandi dengan keras, melampiaskan emosiku.

Aku duduk lemas di lantai kamar mandi yang dingin, kedua mataku terpejam rapat mencoba menenangkan badai emosi yang mengamuk dalam dada. Tanganku yang gemetar meremas erat, mencoba menahan derai air mata yang kembali hendak meledak tanpa izin. Pahit.

“Tidak, aku tidak ingin menangis lagi. Aku tidak takut. Biar saja Bang Gery menceraikanku. Biar Kakak dan adiknya bahagia,” bisikku dengan suara bergetar, penuh amarah dan kekecewaan.

Kepalaku terasa berat, setiap ucapan menyakitkan terus berputar-putar dalam pikiranku, seolah tidak ada jeda untuk bernapas lega. Aku benar-benar tak kuat lagi bertahan dengan semua ini.

Napasku terengah-engah, dadaku naik turun tak teratur. Kukepalkan kedua tangan semakin erat, seolah aku bisa menghancurkan semua kenyataan pahit yang kini harus kuhadapi. Di sudut mata, secercah air mata berhasil lolos, meluncur perlahan menyusuri pipi yang pucat, meninggalkan jejak basah yang dingin.

“Silakan, Bang. Ceraikan saja aku demi saudaramu. Aku rasa ini lebih baik,” ucapku sambil mengusap kasar air mata yang meleleh di pipi. Aku bangkit, menyiapkan hati yang pernah bermimpi akan menjalani rumah tangga hingga sehidup semati bersama satu orang yang sama.

Namun, sepertinya aku harus siap mengubur mimpi itu, semua hanya karena petaka menagih hutang iparku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 5 Memulai Hidup Baru

    Ibu terkejut ketika melihat aku turun dari angkot dengan menenteng tas pakaian yang cukup besar. “Loh, kan Ibu sudah bilang, jangan nginap di mari kalau nggak bersama Gery.” Ibu menghampiriku. “Aku diusir, Bu!” sahutku. “Apa?” Ibu terlihat sangat kaget. Aku tahu, dia pasti tidak percaya, sebab selama ini hubunganku dengan Bang Gery jarang ada masalah. Jikapun ada, aku memilih tidak bercerita. Kuhampaskan tubuhku ke atas kasur yang terlihat terawat, walau aku jarang menggunakannya. Ibu pun menyusulku. Aku tahu, wanita tua itu pasti akan mencecarku dengan berbagai tanya. “Maafkan Susi, Bu!” ucapku sebelum Ibu bersuara. “Sebenarnya, apa yang terjadi?” Ibu menatapku begitu lekat. Aku memilih memeluknya dan menumpahkan air mataku tanpa mengucapkan apa pun padanya. Kuharap, Ibu memahami luka hati ini. Kurasakan belaian lembut menghangatkan jiwaku. Ia tak berkata apa pun, tapi tangan penuh cinta itu tak henti mengusap punggungku yang berguncang. “Aku gagal, Bu. Aku gagal mempertahan

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 4 Pergi

    Mendung terlihat menghiasi langit sore. Gumpalan awan hitam seolah siap memuntahkan kandungan air di dalamnya. Aku duduk termenung menatap gelapnya langit, walau jam masih menunjuk angka tiga sore hari ini. Ada rasa cemas menghantui. Aku tahu ancaman Kak Ros akan mengadu pada Bang Gery tidak akan main-main. Bila ia berkata jujur, aku tak mengapa. Namun, Kak Ros jarang sekali tidak menambah atau mengurangi cerita. "Apa aku benar-benar akan menjadi janda? Ya Tuhan, bagaimana nanti ibuku bila mengetahui nasib malang anak perempuannya ini?" bisikku lirih dalam hati. Kuseka sudut mata yang terasa basah. Kuputuskan menutup jendela, sebab rintik hujan mulai berlomba-lomba jatuh. Kurebahkan tubuhku, dengan pikiran yang terus berkelana entah ke mana, hingga tak sadar mata ini terlelap. Aku tersadar ketika kurasa cuaca semakin dingin. Kulirik jam di pergelangan tanganku. “Astaga, sudah jam sepuluh,” gumamku terkejut. Aku keluar menyisir seluruh ruangan. Tak ada tanda-tanda jika Bang Gery

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 3 Di Ujung Tanduk

    “Kamu kenapa, Nia?” Kak Ros berteriak dari dalam rumah dan menghampiri Nia yang menangis. “Itu, Tante, Ma,” sahut gadis kecil itu sambil menunjuk aku. Tak lama, Bang Haris dan Bang Gery menyusul. “Kamu apa-apaan, sih, Sus? Masa anak sekecil itu kamu pukul? Emangnya dia salah apaan?” Kak Ros menatapku sinis sambil memeluk Nia yang menangis histeris. “Nggak, nggak begitu…” “Gery, kamu nasehatin dong istri kamu. Masa sama anak kecil begini dia kasar banget. Nggak ada sikap keibuannya, pantas nggak punya anak sampai sekarang,” adu Kak Ros pada Bang Gery. Kutatap Bang Gery yang tengah menatapku dengan tatapan datar. Kuteguk saliva sendiri. Rasanya tatapan Bang Gery seperti seseorang yang siap menelanku bulat-bulat. Ia pun berjalan terdiam hingga saat di sampingku baru ia berkata, “Masuk!” Aku menatap sebentar Bang Haris dan Kak Ros, lalu aku mengikuti langkah Bang Gery masuk ke dalam rumah. “Kamu itu kelewatan, ya, Sus? Sebenarnya keluargaku salah apa sama kamu? Kok kamu jahat git

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 2 Tak Kasat Mata

    “Tapi, apa? Kamu itu kelewatan, ya!” potong Bang Gery tanpa membiarkan aku menjelaskan. Kupungut sisa nasi yang berserakan. Aku memilih diam. Tidak enak rasanya beradu argumen dengan suami sendiri, apalagi abang dan kakak iparku masih di sini. Aku beranjak ke dapur. Kubiarkan sisa bubur tetap di dekat Bang Gery. Kuusap kembali dadanya yang terasa nyeri. “Apa Abang tidak tahu kalau kita tengah kesulitan biaya saat ini? Ini semua demi kamu, Bang!” Aku meraup oksigen sebanyak yang kumampu. Kucoba tenangkan pikiran agar aku tak menangis. “Bang Gery hanya butuh penjelasan aku nanti. Aku pasti bisa menenangkannya.” Hatiku meyakinkan diriku sendiri. Malam pun tiba, entah kapan abang dan kakak iparku pergi. Aku tak perhatikan lagi. Tebal sekali rasanya wajahku kembali menemui mereka setelah Bang Gery membentakku di hadapan mereka. “Bang, makan. Ini buburnya sudah siap,” ucapku sambil meletakkan bubur di meja kecil di dekat tempat tidur. Bang Gery diam, tak menjawab sepatah kata pun. K

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 1 Kambing Hitam

    “Selamat pagi, Jul. Maaf mengganggu,” ucapku, menyapa adik bungsu suamiku melalui sambungan telepon.“Ya, mau apa? Cepatlah, aku buru-buru,” sahutnya, terdengar ketus.Aku menarik ujung bibirku dengan gugup. Sesungguhnya, aku begitu sungkan. Namun, aku tidak punya pilihan.“Anu… kamu masih ingat uang yang kamu pakai tiga tahun lalu? Maksudku, bolehkah aku memintanya kembali? Abangmu sedang dirawat di rumah sakit,” jelasku dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya.Kudengar dengusan kasar dari seberang. “Uang apa?”“Uang yang dulu kamu pinjam buat berobat Vania. Kamu masih ingat, kan?”“Astaga, Kak! Jadi selama ini Kakak nggak ikhlas buat berobat keponakan Kakak? Cuma tiga juta, loh, Kak! Ya ampun… masa begitu saja ditagih?”Aku terdiam. Seingatku, saat itu dia tidak mengatakan ‘meminta’, tetapi ‘meminjam’. Andai dia meminta, aku tidak akan sampai menjual cincin milikku.“Tapi, kali ini aku sangat butuh. Abangmu dirawat di rumah sakit. Kami butuh banyak bia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status