เข้าสู่ระบบ"Tunggu!"
Suara berat itu menggema di seluruh ruangan, membuat semua kepala menoleh. Langkah sepatu kulit terdengar tegas mendekat. Semua orang yang semula berdiri di meja 103 mendadak menunduk hormat. “Pak Roni,” ucap supervisor gugup, menegakkan badan. Ya, dialah Roni, General Manager hotel tempat restoran itu berada. Pria yang dikenal tegas, jarang tersenyum, tapi punya wibawa yang membuat semua karyawan segan. Roni menyapu pandang ke sekeliling, lalu menatapku yang masih menunduk dengan rambut berantakan. “Ada apa ini? Kenapa ribut?” tanyanya datar, tapi nadanya cukup untuk membuat udara mendadak menegang. Rani melangkah duluan. Dengan suara lembut tapi penuh nada sombong, ia menjelaskan, “Begini, Pak. Karyawan Bapak ini—” ia menunjukku dengan telunjuk yang penuh penghinaan, “—sudah menumpahkan cairan pembersih ke gaun saya yang mahal. Lalu bersikap tidak sopan pula.” Ros menimpali cepat, “Dan kalau Bapak ingin tahu, kami ini keluarga dari suaminya dulu. Jadi, kami tahu betul bagaimana kelakuan aslinya. Memang perempuan ini dari dulu gak punya sopan santun!” Aku hanya diam. Bahkan supervisor pun terlihat mengangguk-angguk, seperti mengiyakan tuduhan mereka, mungkin karena takut kehilangan pekerjaannya. Roni menatap mereka lama, lalu menoleh ke arah supervisor. “Begitu?” tanyanya pendek. “I-iya, Pak. Tadi saya juga sudah berencana memberi sanksi potong gaji. Tapi kalau mereka tidak keberatan, saya bisa—” “Berikan kain lap dan cairan pembersih itu ke saya,” potong Roni datar. Aku bingung, tapi akhirnya aku menyerahkan benda itu ke tangannya. Roni lalu menatapku—lama, menembus. Ada sesuatu di matanya, semacam empati yang membuat tenggorokanku tercekat. Tanpa berkata apa pun, ia menyerahkan kain lap itu kepada supervisor. “Lanjutkan pekerjaannya,” titahnya pelan tapi tegas. “Ta-tapi Pak—” “Lakukan saja,” potong Roni, tajam. Supervisor itu menunduk dan segera mundur. Ros dan Rani saling pandang, senyum tipis di wajah mereka belum sempat hilang ketika Roni menatap mereka langsung. “Kalau Ibu-ibu keberatan dengan pelayanan kami, kami akan beri kompensasi yang layak. Tapi, saya tidak mau ada satu pun pelanggan mempermalukan staf saya di depan umum. Kami punya prosedur untuk semua itu.” Nada suaranya dingin tapi menohok. Ros terdiam. Rani melipat tangan di dada, mencoba melawan. “Tapi, Pak, dia—” “Cukup,” potong Roni lagi, kali ini lebih dalam. “Saya akan selesaikan langsung dengan manajemen. Sekarang, biarkan karyawan saya kembali bekerja.” Ia lalu menoleh padaku, “Ikut saya.” Aku sempat terpaku. Semua mata menatap, dan aku tak tahu harus bersyukur atau makin gugup. Tapi langkahnya yang tegas membuatku tak punya pilihan selain mengikuti. Kami berjalan menyusuri lorong panjang menuju area belakang. Suara musik restoran perlahan menghilang, berganti dengan dengung pendingin udara. Kami berhenti di ruangan kecil di ujung lorong—sebuah ruang staf yang sunyi. Roni memutar tubuhnya menghadapku. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, kali ini lebih lembut. Aku menunduk, menggigit bibir. “Aku... aku tidak apa-apa, Pak.” “Tidak apa-apa?” ulangnya pelan. “Rambutmu ditarik, wajahmu dilempari uang, dan kau masih bilang tidak apa-apa?” Aku tertegun. Tenggorokanku tercekat, dan air mata yang kutahan sejak tadi akhirnya menetes juga. “Kalau aku melawan, aku bisa kehilangan pekerjaan, Pak,” bisikku lirih. Roni menghela napas, menatapku lama, lalu berjalan pelan ke arah jendela. “Mulai malam ini, kau tak perlu lagi melayani di area depan. Aku pindahkan kau ke bagian administrasi. Di sana lebih tenang,” katanya akhirnya. Aku mendongak, terkejut. “Tapi, Pak... saya—” “Anggap ini kompensasi,” potongnya lembut. “Aku tidak suka orang bekerja keras tapi dipermalukan. Kau pantas diperlakukan lebih baik dari itu.” Aku menggeleng pelan. “Terima kasih, Pak Roni… tapi saya tidak bisa,” ucapku lirih. Roni menatapku lama. “Kenapa tidak bisa? Aku tahu kemampuanmu. Kau bukan cuma pekerja rajin, tapi juga teliti. Posisi di administrasi cocok untukmu.” Aku menunduk, jemariku meremas ujung celemek. “Saya cuma lulusan SMA, Pak. Di sana butuh orang yang bisa komputer, bisa ngetik cepat, bisa hitung laporan. Saya takut malah nyusahin.” Roni menghela napas panjang, lalu melangkah mendekat beberapa jengkal. “Sus… jangan rendahkan dirimu begitu,” katanya pelan, tapi nadanya tegas. “Masalah bukan di ijazah, tapi di kemauan. Kau kerja di sini, aku lihat sendiri bagaimana caramu menghadapi pelanggan. Bahkan dalam keadaan seperti tadi, kau tetap bisa menahan diri. Itu sudah lebih dari cukup untuk orang-orang yang duduk di meja kantor.” Aku menggigit bibir, masih ragu. “Tapi, saya sudah nyaman di sini, Pak. Lagipula, saya cuma butuh tempat untuk bertahan hidup, bukan jabatan yang tinggi.” Roni mendengus kecil, matanya menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca—antara kesal dan prihatin. “Kau pikir aku tidak tahu kenapa kau menolak?” tanyanya tiba-tiba. Aku menoleh perlahan. Ia menyandarkan tubuh ke meja kecil di belakangnya, menyilangkan tangan di dada. “Kau takut kau berhutang padaku, kan? Apa kau pikir aku akan menjadikannya alat mengekangmu?" Aku terdiam. Rasanya seluruh dadaku menegang. Aku tidak tahu dari mana Roni bisa mengatakan semua itu, tapi kata-katanya menusuk tepat di bagian yang paling ingin kusembunyikan. “Mereka selalu mengganggumu, ‘kan?” lanjutnya. Aku menatap lantai, tak sanggup menjawab. Roni menarik napas berat, lalu menatapku tajam. “Sus, aku nggak bisa diam lihat kau terus diganggu seperti ini. Mereka nggak akan berhenti kalau kau terus pasrah. Kau butuh posisi yang lebih aman. Di bagian administrasi, mereka nggak bisa seenaknya menyentuhmu.” Aku menggigit bibir, mencoba menahan gejolak di dada. “Saya nggak mau orang-orang bilang saya dinaikkan karena dikasihani, Pak. Biar saja mereka bilang saya pekerja kasar, yang penting saya kerja halal.” Suara Roni meninggi sedikit. “Ini bukan soal dikasihani, Susi! Ini soal harga dirimu.” Aku terdiam. Untuk pertama kalinya, Roni memanggilku dengan nama, bukan hanya “Sus”. Nada suaranya menurun lagi, tapi matanya masih menatapku dalam. “Kau terlalu sering disakiti, sampai lupa kalau kau pantas dihargai,” katanya pelan. “Aku cuma mau kau punya tempat aman, supaya mereka nggak bisa lagi menghina kau di depan umum.” Aku menarik napas panjang, menatapnya samar di balik genangan air mata. “Roni… saya berterima kasih. Tapi biarlah saya tetap di sini. Saya sudah terbiasa.” Ia menggeleng pelan. “Kau keras kepala, seperti dulu.” Nada suaranya berubah, lebih lembut, bahkan nyaris seperti bisikan. “Tapi kalau mereka datang lagi dan mengganggu kau, jangan diam. Datanglah padaku. Aku nggak akan biarkan mereka lewati batas lagi.” Aku menunduk. Kali ini aku tak bisa berkata apa pun. Hanya rasa sesak di dada yang sulit kuhentikan. Dalam hati, aku tahu Roni benar. Tapi untuk seseorang yang sudah terbiasa hidup dalam hinaan… belajar berdiri tegak memang tak semudah itu.Pagi itu udara terasa aneh. Langit cerah, tapi rasanya seperti ada yang menekan dadaku sejak aku bangun. Mungkin karena mimpi semalam—aku mimpi berdiri di depan pintu rumah kosong, mengetuk berkali-kali, tapi tak ada yang membukakan.Aku baru saja menjemur pakaian di halaman ketika suara motor berhenti di depan pagar. Suaranya berat, agak serak, dan… entah kenapa terdengar sangat familiar.Aku menoleh, dan jantungku langsung terhenti sesaat.Motor itu. Warna hitam doff dengan sedikit lecet di sisi kanan—bekas jatuh waktu aku dulu menjerit panik di jalan.Dan orang yang turun dari sana… Gery.Tanganku gemetar. Ember di genggaman miring, menumpahkan air cucian ke kaki. Aku buru-buru menurunkannya, tapi tubuhku tetap kaku.Apa yang dia lakukan di sini?Dari pintu rumah, Ibu sempat melongok. Wajahnya menegang sesaat, lalu tanpa sepatah kata pun, ia berbalik ke dapur. Aku tahu, itu caranya menolak tanpa perlu berdebat. Ia selalu begitu—menyimpan luka dengan diam.Gery berjalan pelan ke ara
"Tunggu!"Suara berat itu menggema di seluruh ruangan, membuat semua kepala menoleh.Langkah sepatu kulit terdengar tegas mendekat. Semua orang yang semula berdiri di meja 103 mendadak menunduk hormat.“Pak Roni,” ucap supervisor gugup, menegakkan badan.Ya, dialah Roni, General Manager hotel tempat restoran itu berada. Pria yang dikenal tegas, jarang tersenyum, tapi punya wibawa yang membuat semua karyawan segan.Roni menyapu pandang ke sekeliling, lalu menatapku yang masih menunduk dengan rambut berantakan.“Ada apa ini? Kenapa ribut?” tanyanya datar, tapi nadanya cukup untuk membuat udara mendadak menegang.Rani melangkah duluan. Dengan suara lembut tapi penuh nada sombong, ia menjelaskan,“Begini, Pak. Karyawan Bapak ini—” ia menunjukku dengan telunjuk yang penuh penghinaan, “—sudah menumpahkan cairan pembersih ke gaun saya yang mahal. Lalu bersikap tidak sopan pula.”Ros menimpali cepat, “Dan kalau Bapak ingin tahu, kami ini keluarga dari suaminya dulu. Jadi, kami tahu betul baga
Aku memalingkan wajahku sejenak ketika menyadari jika yang berada di meja 103 adalah keluarga suamiku."Kau kerja di sini, Sus?" tanya kakak iparku sambil melipat tangan di dada.Tatapannya jelas begitu merendahkanku.Aku berusaha tersenyum, walau sesungguhnya aku bisa menebak, pasti mereka akan membuat masalah padaku."I-iya, Kak." Suaraku terbata-bata menahan gugup.Mereka terlihat saling lirik. Lalu, tanpa kata, mereka mulai tertawa."Sudah kuduga. Wanita seperti kamu, memang cuma bisa kerja rendahan begini," ujar Kak Ros sambil tersenyum meremehkan.Aku menarik napas dalam. Kuulas senyum tipis."Mana yang harus saya bersihkan?" tanyaku, tak ingin berlama-lama meladeni mereka.Istri Jul melipat tangannya."Selain nggak bisa cari kerja yang tidak memalukan, kamu buta juga? Apa nggak bisa lihat meja ini sangat kotor?" timpalnya.Rani terlihat sangat berani. Padahal, walau aku sudah keluar dari rumah, aku masih tetap kakak iparnya."Maaf, akan segera kurapikan," ucapku, lalu mengeluar
Ibu terkejut ketika melihat aku turun dari angkot dengan menenteng tas pakaian yang cukup besar. “Loh, kan Ibu sudah bilang, jangan nginap di mari kalau nggak bersama Gery.” Ibu menghampiriku. “Aku diusir, Bu!” sahutku. “Apa?” Ibu terlihat sangat kaget. Aku tahu, dia pasti tidak percaya, sebab selama ini hubunganku dengan Bang Gery jarang ada masalah. Jikapun ada, aku memilih tidak bercerita. Kuhampaskan tubuhku ke atas kasur yang terlihat terawat, walau aku jarang menggunakannya. Ibu pun menyusulku. Aku tahu, wanita tua itu pasti akan mencecarku dengan berbagai tanya. “Maafkan Susi, Bu!” ucapku sebelum Ibu bersuara. “Sebenarnya, apa yang terjadi?” Ibu menatapku begitu lekat. Aku memilih memeluknya dan menumpahkan air mataku tanpa mengucapkan apa pun padanya. Kuharap, Ibu memahami luka hati ini. Kurasakan belaian lembut menghangatkan jiwaku. Ia tak berkata apa pun, tapi tangan penuh cinta itu tak henti mengusap punggungku yang berguncang. “Aku gagal, Bu. Aku gagal mempertahan
Mendung terlihat menghiasi langit sore. Gumpalan awan hitam seolah siap memuntahkan kandungan air di dalamnya. Aku duduk termenung menatap gelapnya langit, walau jam masih menunjuk angka tiga sore hari ini. Ada rasa cemas menghantui. Aku tahu ancaman Kak Ros akan mengadu pada Bang Gery tidak akan main-main. Bila ia berkata jujur, aku tak mengapa. Namun, Kak Ros jarang sekali tidak menambah atau mengurangi cerita. "Apa aku benar-benar akan menjadi janda? Ya Tuhan, bagaimana nanti ibuku bila mengetahui nasib malang anak perempuannya ini?" bisikku lirih dalam hati. Kuseka sudut mata yang terasa basah. Kuputuskan menutup jendela, sebab rintik hujan mulai berlomba-lomba jatuh. Kurebahkan tubuhku, dengan pikiran yang terus berkelana entah ke mana, hingga tak sadar mata ini terlelap. Aku tersadar ketika kurasa cuaca semakin dingin. Kulirik jam di pergelangan tanganku. “Astaga, sudah jam sepuluh,” gumamku terkejut. Aku keluar menyisir seluruh ruangan. Tak ada tanda-tanda jika Bang Gery
“Kamu kenapa, Nia?” Kak Ros berteriak dari dalam rumah dan menghampiri Nia yang menangis. “Itu, Tante, Ma,” sahut gadis kecil itu sambil menunjuk aku. Tak lama, Bang Haris dan Bang Gery menyusul. “Kamu apa-apaan, sih, Sus? Masa anak sekecil itu kamu pukul? Emangnya dia salah apaan?” Kak Ros menatapku sinis sambil memeluk Nia yang menangis histeris. “Nggak, nggak begitu…” “Gery, kamu nasehatin dong istri kamu. Masa sama anak kecil begini dia kasar banget. Nggak ada sikap keibuannya, pantas nggak punya anak sampai sekarang,” adu Kak Ros pada Bang Gery. Kutatap Bang Gery yang tengah menatapku dengan tatapan datar. Kuteguk saliva sendiri. Rasanya tatapan Bang Gery seperti seseorang yang siap menelanku bulat-bulat. Ia pun berjalan terdiam hingga saat di sampingku baru ia berkata, “Masuk!” Aku menatap sebentar Bang Haris dan Kak Ros, lalu aku mengikuti langkah Bang Gery masuk ke dalam rumah. “Kamu itu kelewatan, ya, Sus? Sebenarnya keluargaku salah apa sama kamu? Kok kamu jahat git







