เข้าสู่ระบบAku memalingkan wajahku sejenak ketika menyadari jika yang berada di meja 103 adalah keluarga suamiku.
"Kau kerja di sini, Sus?" tanya kakak iparku sambil melipat tangan di dada. Tatapannya jelas begitu merendahkanku. Aku berusaha tersenyum, walau sesungguhnya aku bisa menebak, pasti mereka akan membuat masalah padaku. "I-iya, Kak." Suaraku terbata-bata menahan gugup. Mereka terlihat saling lirik. Lalu, tanpa kata, mereka mulai tertawa. "Sudah kuduga. Wanita seperti kamu, memang cuma bisa kerja rendahan begini," ujar Kak Ros sambil tersenyum meremehkan. Aku menarik napas dalam. Kuulas senyum tipis. "Mana yang harus saya bersihkan?" tanyaku, tak ingin berlama-lama meladeni mereka. Istri Jul melipat tangannya. "Selain nggak bisa cari kerja yang tidak memalukan, kamu buta juga? Apa nggak bisa lihat meja ini sangat kotor?" timpalnya. Rani terlihat sangat berani. Padahal, walau aku sudah keluar dari rumah, aku masih tetap kakak iparnya. "Maaf, akan segera kurapikan," ucapku, lalu mengeluarkan kain lap dan cairan pembersih dari tas kecil di pinggangku. "Lihatlah, Gery. Bagaimana sekarang wanita ini tanpamu. Aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana kemarin kamu bisa menikahi dia," ujar Kak Ros. Aku melirik wajah Bang Gery. Kupikir dia masih punya sedikit saja rasa cinta yang tersisa. Seharusnya, ia terganggu dengan ucapan kakaknya. Namun, tampaknya tidak sama sekali. Ia menyandarkan punggungnya, lalu menatapku seperti menatap seorang pekerja biasa. "Kayaknya, emang main dukun sih, Kak. Lihat aja sekarang. Mungkin dukunnya sudah tidak sakti, atau malah sudah mati. Sekarang Bang Gery keliatannya sudah sadar," timpal Rani. Ros tertawa lepas. Aku mengepal kain lap di tanganku dengan geram. Aku berusaha menahan agar tidak merusak acara dengan menjawabi ucapan mereka. Kupercepat gerakan tanganku, agar aku lekas meninggalkan mereka. "Eh, kerjanya yang bener, donk! Lihat, cairan pembersih mejamu mengenai gaunku," sergah Rani, padahal sama sekali tidak kena. "Maaf," ucapku singkat, tanpa menatapnya. "Ih, nggak sopan banget, sih! Ini siapa sih yang biarin dia kerja di sini? Nggak becus," jerit Rani sambil mengibaskan tangannya di atas gaunnya. Para pengunjung terlihat menoleh. "Tapi, gaun kamu memang tidak kena," jawabku membela diri. Rani terlihat kesal. "Ih, Bang Jul! Kamu kok diam aja," rengeknya pada suaminya. Ijul pun berdiri dengan menghentakkan tangannya keras ke meja. "Eh, kamu bisa kerja nggak, sih?" bentaknya sambil melotot ke arahku. Dia sama sekali tidak menghargaiku. Demikian Bang Gery, ia tidak melarang, bahkan tidak mengatakan apa pun. Ia biarkan semua keluarganya terang-terangan menghinaku. "Maaf," sahutku, mencoba mendamaikan suasana, walau aku berulang kali meremas kain di tanganku. "Maaf? Enak aja. Emang kata maaf bisa bersihkan gaunku?" tanya Rani dengan suara lantang. Kulihat Kak Ros tersenyum miring. "Dia mana paham, Ran!" timpalnya sambil menatapku remeh. "Aku harus bagaimana?" tanyaku akhirnya dengan suara lemah. Rasanya, pekerjaan belum dimulai sepenuhnya, tapi aku sudah lelah menghadapi mereka. "Kamu nanya harus ngapain?" Rani mendecih. "Ya, gantilah, bodoh!" sambungnya sambil mendorong kepalaku. Aku memejamkan mata, menahan gejolak di dada yang sudah mulai tidak bisa ditahan. "Ingat, Sus! Kamu butuh uang," bisikku dalam hati, mencoba meredam amarah yang rasanya mulai tak bisa kuhentikan. "Tapi, bagaimana caranya. Aku tidak punya gaun ganti di sini," sahutku, membuat Ros tertawa kencang. Entah bagian mana yang menurutnya lucu. "Memang nasib, nasib. Kok bisa si Gery pernah nikahin kau?" cibirnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia menarik napas panjang, lalu menghela kasar, hingga aku bisa mendengar dengan jelas. Ia pun berdiri, lalu menatapku tajam. "Gini ya, Susi. Kau sudah mengotori gaun Rani. Kau tau, dia memesannya dari butik, dan tidak bisa dibersihkan sembarangan. Jadi, paling tidak, kau punya inisiatif memberi uang untuk biaya perawatannya. Paham sampai sini?" tukas Kak Ros, membuatku terdiam sejenak. Aku pun merogoh saku celanaku. Di sana ada tersisa uang ongkosku tadi pagi. Aku pun mengeluarkan. Totalnya sekitar 40 ribuan. "Ini, aku punya segini. Ambil saja," ucapku, dan membuat mereka semua tertawa, kecuali Rani. Dia menghentakkan kakinya begitu kesal. "Dia kira baju kamu bisa dicuci di laundry kiloan kali, Ran!" goda Ros. Rani pun meraih uang itu, lalu melemparkannya ke wajahku. "Dasar perempuan kampung!" pekiknya padaku. Aku menahan napas sejenak. Rasanya mereka benar-benar menguji imanku malam ini. Kubiarkan uang itu jatuh melewati wajahku, lalu aku berjongkok, dan mengambilnya. Rasanya, jika diladeni, mereka tidak akan selesai sampai besok. Kulangkahkan kakiku menjauh, agar tidak terus menimbulkan keributan. Namun, sepertinya mereka memang tidak ingin berhenti menggangguku. "Eh, kok main pergi aja, hei! Ini urusannya belum selesai," pekik Ros, memanggilku. Aku memilih mengabaikan. Aku berjalan terus, tapi tak kusangka, rambut yang tersanggul rapi dibalut jaring rambut, ditarik paksa, hingga klip yang menahan rambutku lepas. "Kurang ajar! Beraninya kau pergi begitu saja," desis Kak Ros begitu geram, membuat leherku harus mengikuti arah tarikannya. "Biasakan bertanggung jawab atas perbuatanmu, perempuan jalang!" sambungnya. Ia menarik rambut, lalu berjalan kembali ke arah meja mereka. Kudengar beberapa orang berbisik. "Aku harus bagaimana lagi? Aku sudah beri uang. Hanya itu yang kupunya," pekikku sambil meringis. Tak tahan dengan rambut yang terus ditarik paksa. "Kau pikir uang empat puluh ribumu cukup? Gaun ini harganya jutaan!" bentak Rani. "Tapi, aku cuma punya uang segitu," sahutku. "Gak mau tau, ganti!" pekik Rani bersikeras. "Pakai apa? Aku gak punya uang lagi," sahutku tetap kekeuh. "Kalau gitu, panggil supervisormu. Dia harus tau kalau kau bekerja tidak becus!" sentaknya. Mendengar kegaduhan yang kian riuh, tanpa dipanggil, lelaki yang menjadi supervisor restoran itu datang menghampiri. "Maaf, Bapak, dan Ibu, ada apa ini?" tanya lelaki itu sopan. Rani langsung menoleh, dan Ros melepaskan rambutku yang sudah berantakan. "Ini karyawan Anda. Dia sudah merusak gaunku," jawab Rani. Supervisor itu menatapku. Ia tak mengatakan apa pun, tetap menyeretku sedikit menjauh. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya sambil menekan rahangnya. "Aku tidak melakukan apapun. Mereka ..." "Cukup!" potongnya. "Pokoknya, gaji kamu dipotong," sergahnya, lalu berbalik kembali menghadap mereka. "Maafkan kelalaian pekerja kami. Kami akan bertanggung jawab," ucap supervisor, terdengar begitu sopan. Aku menghela napas. "Gak, aku gak mau cuma ganti rugi," jawab Rani kini semakin berani. Supervisor itu terlihat gelisah. "Lalu, harus bagaimana, Nyonya?" tanya lelaki berkacamata itu. Rani terlihat melipat tangannya di dada, lalu melirikku dengan tatapan sinis. "Aku mau pecat dia, karena karyawan kayak dia cuma bisa buat orang susah," ucapnya enteng, membuat mulutku terbuka tak percaya. Aku pun membelalak tak percaya. Supervisor itu pun terlihat ikut terkejut dengan permintaan Rani. Ia menatapku sejenak. Aku menunduk tak tahu harus bagaimana lagi. "Bisa, gak? Kalau gak bisa, aku bakal buat rating jelek tentang tempat ini, dan bilang ke semua teman-teman sosial aku, kalau restoran ini gak becus melayani pelanggan," ancam Rani. "Ja-jangan, jangan, jangan," cegah Supervisor itu dengan wajah panik. Terlihat senyum kemenangan terbit di wajah Rani, dan Ros. Supervisor mengepal tangannya erat, lalu menatapku cukup lama. "Susi kamu ..." "Tunggu!"Pagi itu udara terasa aneh. Langit cerah, tapi rasanya seperti ada yang menekan dadaku sejak aku bangun. Mungkin karena mimpi semalam—aku mimpi berdiri di depan pintu rumah kosong, mengetuk berkali-kali, tapi tak ada yang membukakan.Aku baru saja menjemur pakaian di halaman ketika suara motor berhenti di depan pagar. Suaranya berat, agak serak, dan… entah kenapa terdengar sangat familiar.Aku menoleh, dan jantungku langsung terhenti sesaat.Motor itu. Warna hitam doff dengan sedikit lecet di sisi kanan—bekas jatuh waktu aku dulu menjerit panik di jalan.Dan orang yang turun dari sana… Gery.Tanganku gemetar. Ember di genggaman miring, menumpahkan air cucian ke kaki. Aku buru-buru menurunkannya, tapi tubuhku tetap kaku.Apa yang dia lakukan di sini?Dari pintu rumah, Ibu sempat melongok. Wajahnya menegang sesaat, lalu tanpa sepatah kata pun, ia berbalik ke dapur. Aku tahu, itu caranya menolak tanpa perlu berdebat. Ia selalu begitu—menyimpan luka dengan diam.Gery berjalan pelan ke ara
"Tunggu!"Suara berat itu menggema di seluruh ruangan, membuat semua kepala menoleh.Langkah sepatu kulit terdengar tegas mendekat. Semua orang yang semula berdiri di meja 103 mendadak menunduk hormat.“Pak Roni,” ucap supervisor gugup, menegakkan badan.Ya, dialah Roni, General Manager hotel tempat restoran itu berada. Pria yang dikenal tegas, jarang tersenyum, tapi punya wibawa yang membuat semua karyawan segan.Roni menyapu pandang ke sekeliling, lalu menatapku yang masih menunduk dengan rambut berantakan.“Ada apa ini? Kenapa ribut?” tanyanya datar, tapi nadanya cukup untuk membuat udara mendadak menegang.Rani melangkah duluan. Dengan suara lembut tapi penuh nada sombong, ia menjelaskan,“Begini, Pak. Karyawan Bapak ini—” ia menunjukku dengan telunjuk yang penuh penghinaan, “—sudah menumpahkan cairan pembersih ke gaun saya yang mahal. Lalu bersikap tidak sopan pula.”Ros menimpali cepat, “Dan kalau Bapak ingin tahu, kami ini keluarga dari suaminya dulu. Jadi, kami tahu betul baga
Aku memalingkan wajahku sejenak ketika menyadari jika yang berada di meja 103 adalah keluarga suamiku."Kau kerja di sini, Sus?" tanya kakak iparku sambil melipat tangan di dada.Tatapannya jelas begitu merendahkanku.Aku berusaha tersenyum, walau sesungguhnya aku bisa menebak, pasti mereka akan membuat masalah padaku."I-iya, Kak." Suaraku terbata-bata menahan gugup.Mereka terlihat saling lirik. Lalu, tanpa kata, mereka mulai tertawa."Sudah kuduga. Wanita seperti kamu, memang cuma bisa kerja rendahan begini," ujar Kak Ros sambil tersenyum meremehkan.Aku menarik napas dalam. Kuulas senyum tipis."Mana yang harus saya bersihkan?" tanyaku, tak ingin berlama-lama meladeni mereka.Istri Jul melipat tangannya."Selain nggak bisa cari kerja yang tidak memalukan, kamu buta juga? Apa nggak bisa lihat meja ini sangat kotor?" timpalnya.Rani terlihat sangat berani. Padahal, walau aku sudah keluar dari rumah, aku masih tetap kakak iparnya."Maaf, akan segera kurapikan," ucapku, lalu mengeluar
Ibu terkejut ketika melihat aku turun dari angkot dengan menenteng tas pakaian yang cukup besar. “Loh, kan Ibu sudah bilang, jangan nginap di mari kalau nggak bersama Gery.” Ibu menghampiriku. “Aku diusir, Bu!” sahutku. “Apa?” Ibu terlihat sangat kaget. Aku tahu, dia pasti tidak percaya, sebab selama ini hubunganku dengan Bang Gery jarang ada masalah. Jikapun ada, aku memilih tidak bercerita. Kuhampaskan tubuhku ke atas kasur yang terlihat terawat, walau aku jarang menggunakannya. Ibu pun menyusulku. Aku tahu, wanita tua itu pasti akan mencecarku dengan berbagai tanya. “Maafkan Susi, Bu!” ucapku sebelum Ibu bersuara. “Sebenarnya, apa yang terjadi?” Ibu menatapku begitu lekat. Aku memilih memeluknya dan menumpahkan air mataku tanpa mengucapkan apa pun padanya. Kuharap, Ibu memahami luka hati ini. Kurasakan belaian lembut menghangatkan jiwaku. Ia tak berkata apa pun, tapi tangan penuh cinta itu tak henti mengusap punggungku yang berguncang. “Aku gagal, Bu. Aku gagal mempertahan
Mendung terlihat menghiasi langit sore. Gumpalan awan hitam seolah siap memuntahkan kandungan air di dalamnya. Aku duduk termenung menatap gelapnya langit, walau jam masih menunjuk angka tiga sore hari ini. Ada rasa cemas menghantui. Aku tahu ancaman Kak Ros akan mengadu pada Bang Gery tidak akan main-main. Bila ia berkata jujur, aku tak mengapa. Namun, Kak Ros jarang sekali tidak menambah atau mengurangi cerita. "Apa aku benar-benar akan menjadi janda? Ya Tuhan, bagaimana nanti ibuku bila mengetahui nasib malang anak perempuannya ini?" bisikku lirih dalam hati. Kuseka sudut mata yang terasa basah. Kuputuskan menutup jendela, sebab rintik hujan mulai berlomba-lomba jatuh. Kurebahkan tubuhku, dengan pikiran yang terus berkelana entah ke mana, hingga tak sadar mata ini terlelap. Aku tersadar ketika kurasa cuaca semakin dingin. Kulirik jam di pergelangan tanganku. “Astaga, sudah jam sepuluh,” gumamku terkejut. Aku keluar menyisir seluruh ruangan. Tak ada tanda-tanda jika Bang Gery
“Kamu kenapa, Nia?” Kak Ros berteriak dari dalam rumah dan menghampiri Nia yang menangis. “Itu, Tante, Ma,” sahut gadis kecil itu sambil menunjuk aku. Tak lama, Bang Haris dan Bang Gery menyusul. “Kamu apa-apaan, sih, Sus? Masa anak sekecil itu kamu pukul? Emangnya dia salah apaan?” Kak Ros menatapku sinis sambil memeluk Nia yang menangis histeris. “Nggak, nggak begitu…” “Gery, kamu nasehatin dong istri kamu. Masa sama anak kecil begini dia kasar banget. Nggak ada sikap keibuannya, pantas nggak punya anak sampai sekarang,” adu Kak Ros pada Bang Gery. Kutatap Bang Gery yang tengah menatapku dengan tatapan datar. Kuteguk saliva sendiri. Rasanya tatapan Bang Gery seperti seseorang yang siap menelanku bulat-bulat. Ia pun berjalan terdiam hingga saat di sampingku baru ia berkata, “Masuk!” Aku menatap sebentar Bang Haris dan Kak Ros, lalu aku mengikuti langkah Bang Gery masuk ke dalam rumah. “Kamu itu kelewatan, ya, Sus? Sebenarnya keluargaku salah apa sama kamu? Kok kamu jahat git







