Share

Petaka Menagih Hutang Ipar
Petaka Menagih Hutang Ipar
Author: Luss_Purba

Bab 1 Kambing Hitam

Author: Luss_Purba
last update Last Updated: 2025-08-11 00:54:36

“Selamat pagi, Jul. Maaf mengganggu,” ucapku, menyapa adik bungsu suamiku melalui sambungan telepon.

“Ya, mau apa? Cepatlah, aku buru-buru,” sahutnya, terdengar ketus.

Aku menarik ujung bibirku dengan gugup. Sesungguhnya, aku begitu sungkan. Namun, aku tidak punya pilihan.

“Anu… kamu masih ingat uang yang kamu pakai tiga tahun lalu? Maksudku, bolehkah aku memintanya kembali? Abangmu sedang dirawat di rumah sakit,” jelasku dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya.

Kudengar dengusan kasar dari seberang. “Uang apa?”

“Uang yang dulu kamu pinjam buat berobat Vania. Kamu masih ingat, kan?”

“Astaga, Kak! Jadi selama ini Kakak nggak ikhlas buat berobat keponakan Kakak? Cuma tiga juta, loh, Kak! Ya ampun… masa begitu saja ditagih?”

Aku terdiam. Seingatku, saat itu dia tidak mengatakan ‘meminta’, tetapi ‘meminjam’. Andai dia meminta, aku tidak akan sampai menjual cincin milikku.

“Tapi, kali ini aku sangat butuh. Abangmu dirawat di rumah sakit. Kami butuh banyak biaya,” jawabku, berusaha meyakinkan bahwa aku benar-benar sedang membutuhkan.

“Halah, alasan! Bilang saja mau nagih. Nggak nyangka Kakak begitu sama kami. Seharusnya Kakak ikhlas, lagian itu buat keponakan Kakak, loh!” sergahnya, membuatku terdiam, tak mengerti harus berkata apa lagi.

Andai bukan karena biaya rumah sakit, aku pun tidak akan menagih. Namun, kali ini aku tengah terhimpit. Semua saudara sudah kucoba hubungi, tapi tak satu pun yang bersedia memberi pinjaman.

Panggilan terputus begitu saja. Aku masih menatap jumlah biaya rumah sakit yang harus kubayar. Kondisi Bang Gery yang tiba-tiba drop membuatku tak berpikir panjang, langsung menyetujui pengobatan umum.

“Duh, ke mana nyari uang sebanyak ini?” gumamku bingung.

Tring!

Notifikasi dari grup keluarga suamiku berbunyi berulang-ulang. Awalnya aku tak berniat membacanya, tetapi bunyi itu terlalu sering, membuatku penasaran.

[Masa, sih, Jul? Ya ampun, tega sekali.]

Pesan pertama yang kubaca berasal dari kakak iparku, menanggapi aduan Ijul soal aku yang memintanya membayar utang.

[Tuh, kan. Apa kubilang. Susi itu emang begitu. Mana pernah ikhlas bantuin keluarga suaminya. Tapi kalau keluarga dia, emmm… cepat kurang cepat. Bahkan nggak pernah ditagih.] tulis adik iparku.

[Ih, kelewatan sih dia itu. Nggak berperasaan. Pantas nggak punya anak sampai sekarang] timpal Ros, istri abang iparku yang paling tua.

Kuusap dadaku yang terasa nyeri saat mereka membawa-bawa nasibku yang sudah menikah belasan tahun tapi belum diberi rezeki anak. Seharusnya, sebagai saudara, mereka tidak menjadikan itu pembahasan, apalagi aku ada di grup itu.

Pesan-pesan lain masih terus masuk setelah itu. Aku memilih membisukan notifikasi dan fokus mencari uang, agar Bang Gery lekas pulih. Aku mencoba mengabaikan semua ketikan yang menyayat hati. Fokusku sekarang hanya kesehatan suamiku.

Aku berdiri di depan rumah setengah permanen itu. Rasanya malu sekali harus kembali setiap kali kesulitan. Namun, aku tak punya pilihan. Dia satu-satunya harapanku.

Dari jauh, tatapan teduh penuh kasih itu menyambutku. Wanita yang kini bermahkota uban tersenyum hangat ketika menyadari kehadiranku.

“Loh, kamu. Kenapa di situ? Sini masuk!” Ibu melambaikan tangan memanggilku.

Aku mengusap air mata di sudut mataku, lalu lekas melangkah menghampiri. Kuraih tangan keriput yang sampai kini masih bekerja keras demi memenuhi kebutuhannya sendiri, dan kini, lihatlah, aku malah ikut menyusahkannya.

“Tumben sendiri. Mana Gery?” Ibu kembali menghampiriku setelah meninggalkanku sejenak. Dia kembali dengan nampan berisi teh hangat dan gorengan.

Walau sudah tua, ibuku memang serajin itu.

“Bang Gery sakit, Bu,” sahutku setelah menyeruput teh hangat yang begitu nyaman mengalir di tenggorokan. Rasanya hangat, sehangat cinta yang membuatnya.

“Hah, sakit? Sakit apa? Sudah dibawa berobat?”

Aku tersenyum kecil. Begitulah Ibu—dia akan sangat khawatir mendengar menantunya sakit, padahal saudara kandung Bang Gery sendiri malah tak peduli.

“Sudah, Bu. Justru itu aku ke mari.” Kutatap wajah keriput itu. Hatiku tak tega menyusahkannya, tapi hanya dia yang bisa kuandalkan. “Aku ingin pinjam uang, Bu. Bang Gery dirawat di rumah sakit.”

Aku memilin jemariku gugup. Aku tahu dia tak akan menolakku. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana membalas cintanya itu.

“Oalah! Tunggu sebentar.”

Ibu melangkah masuk ke dalam rumah. Entah bagaimana harus kulukiskan perasaanku saat ini. Tak lama, Ibu keluar dengan kantong penyimpanan uang yang biasa diikatkan di tali pakaian dalamnya.

“Ibu nggak punya uang saat ini, Sus. Tapi kamu bisa jual ini dulu. Nanti kalau Gery sudah sembuh, kalian bisa ganti lagi.”

Ibu menyerahkan sebuah cincin belah rotan yang kuyakini adalah cincin pernikahan Ibu dan Bapak.

“Tapi, Bu…”

“Sudah, pakai saja dulu. Kesehatan lebih penting. Sana, cepat! Biar Gery bisa langsung ditangani.”

Setelah dari rumah Ibu, aku segera menuju toko mas. Setelah cincin Ibu terjual, aku langsung ke rumah sakit, membayar sisa administrasi agar Bang Gery mendapat perawatan terbaik. Puji Tuhan, Bang Gery akhirnya membaik setelah hampir seminggu di rumah sakit.

“Kita pulang saja, ya. Aku takut biaya rumah sakit membengkak lagi. Aku sudah lebih baik,” ujar Bang Gery.

Aku pun terpaksa menyetujuinya, sebab uang yang kupegang sudah menipis. Kami pulang ke rumah, dengan syarat tetap kembali untuk kontrol minggu depan.

“Loh, kamu sakit?” Kak Ros, yang tinggal tepat bersebelahan dengan rumah kami, datang saat melihat tetangga berbondong-bondong menjenguk Bang Gery.

“Iya, Kak,” sahut Bang Gery dengan suara lemah.

“Aih, kalian kenapa nggak bilang-bilang? Harusnya kami bisa temani di rumah sakit. Iya, kan, Bang?” Kak Ros menatap suaminya, Haris.

Aku memilih meninggalkan mereka. Bang Gery tak boleh terlambat makan. Aku harus menyiapkan bubur, sebab sebentar lagi sudah waktunya minum obat.

Mereka masih bercengkrama di ruang tamu. Aku tak tahu apa yang dibahas, dan memilih membiarkannya. Aku melanjutkan memasak hingga selesai.

Setelah bubur selesai, kuhidangkan di mangkuk, tak lupa rebusan daun ubi jalar untuk menambah hemoglobin Bang Gery yang sempat rendah sekali.

Saat aku tiba di ruang tamu, mereka bertiga mendadak terdiam. Aku sedikit curiga dengan tatapan mereka, tapi karena merasa tak punya masalah, aku melangkah menghampiri Bang Gery.

“Makan, Bang!” ucapku sambil menyendokkan bubur ke mulutnya.

Prang!

Sendok itu melayang dari tanganku. Bubur hangat tumpah, sebagian mengenai wajahku.

“Abang kenapa?” tanyaku bingung.

Napas lelaki yang sudah menikahiku sebelas tahun itu naik turun tak beraturan. Kulirik kakak dan abang iparku yang memalingkan wajah, sama sekali tak berusaha mendamaikan suasana.

“Memang nggak ngotak kamu, ya! Berani sekali kau nagih utang adikku. Emangnya kamu pikir uang siapa yang dia pakai itu? Nggak tahu diri kamu!”

Nyess!

Hatiku mencelos mendengar amarah Bang Gery yang begitu menyudutkanku, apalagi di depan saudaranya.

“Tapi, Bang…”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 5 Memulai Hidup Baru

    Ibu terkejut ketika melihat aku turun dari angkot dengan menenteng tas pakaian yang cukup besar. “Loh, kan Ibu sudah bilang, jangan nginap di mari kalau nggak bersama Gery.” Ibu menghampiriku. “Aku diusir, Bu!” sahutku. “Apa?” Ibu terlihat sangat kaget. Aku tahu, dia pasti tidak percaya, sebab selama ini hubunganku dengan Bang Gery jarang ada masalah. Jikapun ada, aku memilih tidak bercerita. Kuhampaskan tubuhku ke atas kasur yang terlihat terawat, walau aku jarang menggunakannya. Ibu pun menyusulku. Aku tahu, wanita tua itu pasti akan mencecarku dengan berbagai tanya. “Maafkan Susi, Bu!” ucapku sebelum Ibu bersuara. “Sebenarnya, apa yang terjadi?” Ibu menatapku begitu lekat. Aku memilih memeluknya dan menumpahkan air mataku tanpa mengucapkan apa pun padanya. Kuharap, Ibu memahami luka hati ini. Kurasakan belaian lembut menghangatkan jiwaku. Ia tak berkata apa pun, tapi tangan penuh cinta itu tak henti mengusap punggungku yang berguncang. “Aku gagal, Bu. Aku gagal mempertahan

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 4 Pergi

    Mendung terlihat menghiasi langit sore. Gumpalan awan hitam seolah siap memuntahkan kandungan air di dalamnya. Aku duduk termenung menatap gelapnya langit, walau jam masih menunjuk angka tiga sore hari ini. Ada rasa cemas menghantui. Aku tahu ancaman Kak Ros akan mengadu pada Bang Gery tidak akan main-main. Bila ia berkata jujur, aku tak mengapa. Namun, Kak Ros jarang sekali tidak menambah atau mengurangi cerita. "Apa aku benar-benar akan menjadi janda? Ya Tuhan, bagaimana nanti ibuku bila mengetahui nasib malang anak perempuannya ini?" bisikku lirih dalam hati. Kuseka sudut mata yang terasa basah. Kuputuskan menutup jendela, sebab rintik hujan mulai berlomba-lomba jatuh. Kurebahkan tubuhku, dengan pikiran yang terus berkelana entah ke mana, hingga tak sadar mata ini terlelap. Aku tersadar ketika kurasa cuaca semakin dingin. Kulirik jam di pergelangan tanganku. “Astaga, sudah jam sepuluh,” gumamku terkejut. Aku keluar menyisir seluruh ruangan. Tak ada tanda-tanda jika Bang Gery

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 3 Di Ujung Tanduk

    “Kamu kenapa, Nia?” Kak Ros berteriak dari dalam rumah dan menghampiri Nia yang menangis. “Itu, Tante, Ma,” sahut gadis kecil itu sambil menunjuk aku. Tak lama, Bang Haris dan Bang Gery menyusul. “Kamu apa-apaan, sih, Sus? Masa anak sekecil itu kamu pukul? Emangnya dia salah apaan?” Kak Ros menatapku sinis sambil memeluk Nia yang menangis histeris. “Nggak, nggak begitu…” “Gery, kamu nasehatin dong istri kamu. Masa sama anak kecil begini dia kasar banget. Nggak ada sikap keibuannya, pantas nggak punya anak sampai sekarang,” adu Kak Ros pada Bang Gery. Kutatap Bang Gery yang tengah menatapku dengan tatapan datar. Kuteguk saliva sendiri. Rasanya tatapan Bang Gery seperti seseorang yang siap menelanku bulat-bulat. Ia pun berjalan terdiam hingga saat di sampingku baru ia berkata, “Masuk!” Aku menatap sebentar Bang Haris dan Kak Ros, lalu aku mengikuti langkah Bang Gery masuk ke dalam rumah. “Kamu itu kelewatan, ya, Sus? Sebenarnya keluargaku salah apa sama kamu? Kok kamu jahat git

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 2 Tak Kasat Mata

    “Tapi, apa? Kamu itu kelewatan, ya!” potong Bang Gery tanpa membiarkan aku menjelaskan. Kupungut sisa nasi yang berserakan. Aku memilih diam. Tidak enak rasanya beradu argumen dengan suami sendiri, apalagi abang dan kakak iparku masih di sini. Aku beranjak ke dapur. Kubiarkan sisa bubur tetap di dekat Bang Gery. Kuusap kembali dadanya yang terasa nyeri. “Apa Abang tidak tahu kalau kita tengah kesulitan biaya saat ini? Ini semua demi kamu, Bang!” Aku meraup oksigen sebanyak yang kumampu. Kucoba tenangkan pikiran agar aku tak menangis. “Bang Gery hanya butuh penjelasan aku nanti. Aku pasti bisa menenangkannya.” Hatiku meyakinkan diriku sendiri. Malam pun tiba, entah kapan abang dan kakak iparku pergi. Aku tak perhatikan lagi. Tebal sekali rasanya wajahku kembali menemui mereka setelah Bang Gery membentakku di hadapan mereka. “Bang, makan. Ini buburnya sudah siap,” ucapku sambil meletakkan bubur di meja kecil di dekat tempat tidur. Bang Gery diam, tak menjawab sepatah kata pun. K

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 1 Kambing Hitam

    “Selamat pagi, Jul. Maaf mengganggu,” ucapku, menyapa adik bungsu suamiku melalui sambungan telepon.“Ya, mau apa? Cepatlah, aku buru-buru,” sahutnya, terdengar ketus.Aku menarik ujung bibirku dengan gugup. Sesungguhnya, aku begitu sungkan. Namun, aku tidak punya pilihan.“Anu… kamu masih ingat uang yang kamu pakai tiga tahun lalu? Maksudku, bolehkah aku memintanya kembali? Abangmu sedang dirawat di rumah sakit,” jelasku dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya.Kudengar dengusan kasar dari seberang. “Uang apa?”“Uang yang dulu kamu pinjam buat berobat Vania. Kamu masih ingat, kan?”“Astaga, Kak! Jadi selama ini Kakak nggak ikhlas buat berobat keponakan Kakak? Cuma tiga juta, loh, Kak! Ya ampun… masa begitu saja ditagih?”Aku terdiam. Seingatku, saat itu dia tidak mengatakan ‘meminta’, tetapi ‘meminjam’. Andai dia meminta, aku tidak akan sampai menjual cincin milikku.“Tapi, kali ini aku sangat butuh. Abangmu dirawat di rumah sakit. Kami butuh banyak bia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status