LOGINMendung terlihat menghiasi langit sore. Gumpalan awan hitam seolah siap memuntahkan kandungan air di dalamnya. Aku duduk termenung menatap gelapnya langit, walau jam masih menunjuk angka tiga sore hari ini.
Ada rasa cemas menghantui. Aku tahu ancaman Kak Ros akan mengadu pada Bang Gery tidak akan main-main. Bila ia berkata jujur, aku tak mengapa. Namun, Kak Ros jarang sekali tidak menambah atau mengurangi cerita. "Apa aku benar-benar akan menjadi janda? Ya Tuhan, bagaimana nanti ibuku bila mengetahui nasib malang anak perempuannya ini?" bisikku lirih dalam hati. Kuseka sudut mata yang terasa basah. Kuputuskan menutup jendela, sebab rintik hujan mulai berlomba-lomba jatuh. Kurebahkan tubuhku, dengan pikiran yang terus berkelana entah ke mana, hingga tak sadar mata ini terlelap. Aku tersadar ketika kurasa cuaca semakin dingin. Kulirik jam di pergelangan tanganku. “Astaga, sudah jam sepuluh,” gumamku terkejut. Aku keluar menyisir seluruh ruangan. Tak ada tanda-tanda jika Bang Gery sudah pulang. Aku terdiam sejenak, lalu mencoba meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Sambil menunggu panggilan tersambung, aku mengetuk-ngetuk jari di atas meja kayu. “Loh, kok nggak masuk?” Hatiku mulai cemas. Kuulang sekali lagi, tetap saja sama. Walau saat ini kami tidak sedang akur, tapi tetap bagaimanapun dia suamiku. Aku tentu khawatir jika dia tidak memberi kabar begini. “Apa handphonenya lowbat? Atau sepeda motornya mogok? Atau jangan-jangan… Tidak, mungkin Bang Gery hanya singgah dan nongkrong bersama temannya. Coba kutanya Kak Ros, apa Bang Haris sudah pulang,” ucapku berbicara sendiri, sambil mencoba menepis segala pikiran buruk di hatiku. Bang Haris dan Bang Gery memang tidak satu tempat kerja. Namun, mereka punya tongkrongan yang sama. Biasanya, kalau teman-teman mereka tengah ada acara seperti ulang tahun, mereka selalu pergi bersama-sama. “Kak, Kak Ros!” Kuketuk pintu yang terlihat sudah ditutup rapat. Tak ada suara menjawab, lampu rumah pun terlihat sudah gelap. “Biasanya, kalau Bang Haris belum pulang, mereka tidak akan mematikan lampu. Apa jangan-jangan Bang Haris sudah pulang? Lalu, ke mana Bang Gery?” Pikiranku mulai makin tak tenang. Kuulang lagi mengetuk pintu itu, kali ini sedikit lebih keras. Tak lama, kudengar suara seseorang bergerak dari dalam. Kuremas jemariku, mengurangi rasa gugup yang berlebihan. Ceklek! Pintu terbuka, dan alisku bertaut ketika melihat siapa yang membukakan pintu. “Bang Gery?” “Mau apa kamu kemari?” tanya Bang Gery santai, padahal aku sudah cemas setengah mati. “Abang kenapa di sini? Kenapa tidak pulang ke rumah kita?” cecarku. Dia menguap, lalu merentangkan tubuhnya yang ternyata sudah mengenakan baju rumahan. Entah kapan ia masuk, dan pergi dari rumah. “Aku mau tinggal di sini, dan kamu tinggal saja di sana. Selama kamu di sana, aku akan tetap di sini,” ujarnya santai, membuat hatiku bagai diremas sembilu. “Apa ini artinya kau mengusirku, Bang?” Bang Gery mengangkat bahu acuh. “Aku tidak mengatakan itu, tapi kalau kau merasa demikian, baguslah! Ternyata pikiran dan hatimu masih berfungsi.” “Astaga, Tuhan!” Aku menutup mulutku tak percaya dengan ucapan Bang Gery. “Kalau sudah tidak ada yang penting, pergilah! Aku ngantuk,” ucapnya, lalu menutup pintu. Aku tak percaya dengan semua ini. Entah ke mana perginya Bang Gery yang dulu. Sejak pindah ke kampung ini, dan bertetangga dengan iparku, aku seolah tak mengenal Gery lagi. Lelaki yang dulu begitu mencintaiku, kini berubah menjadi lelaki yang tidak kukenal. Aku melangkahkan kaki kembali ke rumah. Semakin hari, kehidupan kami semakin tak nyaman. Kucoba pulang, dan mencari solusi pada ibuku. Dia memintaku bersabar. "Mungkin kalian hanya salah paham saja. Coba bicarakan pelan-pelan," begitu ucap Ibu. Ibu pun memintaku langsung pulang, tanpa mengizinkan aku menginap di rumahnya. "Tidak baik kamu di sini, sementara suamimu di rumah. Lagi pula kau belum izin sama Gery, toh?" Kutelan napas panjang. Walau sudah muak, aku tetap kembali ke rumah ini. Saat tiba, kulihat ada kakak dan abang iparku di rumah. Terdengar suara tawa mereka yang begitu pecah. Nampaknya, mereka sangat senang tanpa adanya aku. "Jadi, bener aku boleh pakai bonus kamu?" tanya Kak Ros dengan senyum sumringah. "Boleh, dong. Pakai saja, lagi pula aku belum butuh," jawab Bang Gery begitu enteng, sementara kami masih punya utang pada Ibu. "Bang, kenapa dikasih sama Kak Ros?" tanyaku setiba di ambang pintu. Tawa mereka tiba-tiba berhenti. Tatapan sinis dari Kak Ros kuabaikan. Aku ingin membahas ini hanya dengan Bang Gery. "Emangnya kenapa? Duit-duit aku, suka aku, dong!" sahut Gery santai, kemudian disambut tawa dia manusia yang terlihat tak punya perasaan itu. "Tapi, Bang... Kita masih punya utang sama Ibu, bukannya lebih baik kita lunasi itu dulu?" tanyaku, mengingatkan Bang Gery. "Hah, utang? Aku nggak pernah merasa minjam apa-apa sama ibumu. Kalau kau punya utang, bayarin aja sendiri," jawabnya dengan sinis, membuat jantungku berdegup kencang. Aku mencoba menenangkan diri, namun suara hatiku yang paling dalam merasa tercabik-cabik. "Apa kamu lupa, Bang? Kalau bukan gara-gara ibuku, mungkin kamu sudah tidak hidup lagi sekarang," lontarku, sambil menekan rahang, menahan emosi yang begitu memuncak. Kurasa tubuhku sampai bergetar, menahan emosi yang sudah berada di ubun-ubun. Aku mengepalkan tanganku, berusaha menahan amarah yang menggelegak di dada. Namun, aku masih berusaha agar amarah ini tidak meledak sekarang. "Aku tidak menyuruhmu meminjam pada ibumu. Kan masih ada Kak Ros? Kamu aja sepele, mentang-mentang kakakku terlihat susah." "Aku sudah pinjam, tapi..." "Hei, jangan ngarang cerita kamu. Gery masuk rumah sakit saja aku tidak tahu, jangan ngadi-ngadi," potong Ros dengan suaranya yang besar. “Kamu memang kelewatan, ya, Sus! Kamu ingin mengkambinghitamkan kakakku?” “Tapi…” “Halah, sudah, sudah! Kamu itu memang sudah membenci keluargaku sejak dulu. Kalau kamu memang tak bisa menerima keluargaku, pergilah! Sudah berapa kali kukatakan, pergi saja, tapi kau tetap ngeyel,” ucap Bang Gery terlihat enteng, dan seolah tak ada yang penting atas diriku. Begitu ringannya ia mengucapkan kalimat itu. Air mataku pun kembali menetes. “Baik, kalau itu memang keinginanmu. Selama ini, aku pikir kita hanya kurang komunikasi, tapi hari ini jelas sudah, kau memang tak lagi menginginkan aku. Terima kasih untuk sebelas tahun yang penuh kenangan, aku pamit.” Kulangkahkan kakiku menuju kamar. Aku akan mengambil semua benda yang memang milikku, lebihnya aku tinggalkan, termasuk uang sisa belanja yang diberikan Bang Gery. “Eh, itu cincin kawin Gery yang beli, kan? Tinggalin!” ucap Kak Ros menghentikan langkahku. Kulepas dengan kasar cincin yang sudah menghiasi jari manisku selama belasan tahun. Kuletakkan di meja, dan melanjutkan langkahku tanpa menoleh lagi. “Kupastikan kau akan menyesali hari ini dalam hidupmu, Bang!” bisikku dalam hati, sambil melambaikan tangan agar angkot berhenti, dan membawaku dari tempat yang kuharapkan jadi tempatku hingga menua.Pagi itu udara terasa aneh. Langit cerah, tapi rasanya seperti ada yang menekan dadaku sejak aku bangun. Mungkin karena mimpi semalam—aku mimpi berdiri di depan pintu rumah kosong, mengetuk berkali-kali, tapi tak ada yang membukakan.Aku baru saja menjemur pakaian di halaman ketika suara motor berhenti di depan pagar. Suaranya berat, agak serak, dan… entah kenapa terdengar sangat familiar.Aku menoleh, dan jantungku langsung terhenti sesaat.Motor itu. Warna hitam doff dengan sedikit lecet di sisi kanan—bekas jatuh waktu aku dulu menjerit panik di jalan.Dan orang yang turun dari sana… Gery.Tanganku gemetar. Ember di genggaman miring, menumpahkan air cucian ke kaki. Aku buru-buru menurunkannya, tapi tubuhku tetap kaku.Apa yang dia lakukan di sini?Dari pintu rumah, Ibu sempat melongok. Wajahnya menegang sesaat, lalu tanpa sepatah kata pun, ia berbalik ke dapur. Aku tahu, itu caranya menolak tanpa perlu berdebat. Ia selalu begitu—menyimpan luka dengan diam.Gery berjalan pelan ke ara
"Tunggu!"Suara berat itu menggema di seluruh ruangan, membuat semua kepala menoleh.Langkah sepatu kulit terdengar tegas mendekat. Semua orang yang semula berdiri di meja 103 mendadak menunduk hormat.“Pak Roni,” ucap supervisor gugup, menegakkan badan.Ya, dialah Roni, General Manager hotel tempat restoran itu berada. Pria yang dikenal tegas, jarang tersenyum, tapi punya wibawa yang membuat semua karyawan segan.Roni menyapu pandang ke sekeliling, lalu menatapku yang masih menunduk dengan rambut berantakan.“Ada apa ini? Kenapa ribut?” tanyanya datar, tapi nadanya cukup untuk membuat udara mendadak menegang.Rani melangkah duluan. Dengan suara lembut tapi penuh nada sombong, ia menjelaskan,“Begini, Pak. Karyawan Bapak ini—” ia menunjukku dengan telunjuk yang penuh penghinaan, “—sudah menumpahkan cairan pembersih ke gaun saya yang mahal. Lalu bersikap tidak sopan pula.”Ros menimpali cepat, “Dan kalau Bapak ingin tahu, kami ini keluarga dari suaminya dulu. Jadi, kami tahu betul baga
Aku memalingkan wajahku sejenak ketika menyadari jika yang berada di meja 103 adalah keluarga suamiku."Kau kerja di sini, Sus?" tanya kakak iparku sambil melipat tangan di dada.Tatapannya jelas begitu merendahkanku.Aku berusaha tersenyum, walau sesungguhnya aku bisa menebak, pasti mereka akan membuat masalah padaku."I-iya, Kak." Suaraku terbata-bata menahan gugup.Mereka terlihat saling lirik. Lalu, tanpa kata, mereka mulai tertawa."Sudah kuduga. Wanita seperti kamu, memang cuma bisa kerja rendahan begini," ujar Kak Ros sambil tersenyum meremehkan.Aku menarik napas dalam. Kuulas senyum tipis."Mana yang harus saya bersihkan?" tanyaku, tak ingin berlama-lama meladeni mereka.Istri Jul melipat tangannya."Selain nggak bisa cari kerja yang tidak memalukan, kamu buta juga? Apa nggak bisa lihat meja ini sangat kotor?" timpalnya.Rani terlihat sangat berani. Padahal, walau aku sudah keluar dari rumah, aku masih tetap kakak iparnya."Maaf, akan segera kurapikan," ucapku, lalu mengeluar
Ibu terkejut ketika melihat aku turun dari angkot dengan menenteng tas pakaian yang cukup besar. “Loh, kan Ibu sudah bilang, jangan nginap di mari kalau nggak bersama Gery.” Ibu menghampiriku. “Aku diusir, Bu!” sahutku. “Apa?” Ibu terlihat sangat kaget. Aku tahu, dia pasti tidak percaya, sebab selama ini hubunganku dengan Bang Gery jarang ada masalah. Jikapun ada, aku memilih tidak bercerita. Kuhampaskan tubuhku ke atas kasur yang terlihat terawat, walau aku jarang menggunakannya. Ibu pun menyusulku. Aku tahu, wanita tua itu pasti akan mencecarku dengan berbagai tanya. “Maafkan Susi, Bu!” ucapku sebelum Ibu bersuara. “Sebenarnya, apa yang terjadi?” Ibu menatapku begitu lekat. Aku memilih memeluknya dan menumpahkan air mataku tanpa mengucapkan apa pun padanya. Kuharap, Ibu memahami luka hati ini. Kurasakan belaian lembut menghangatkan jiwaku. Ia tak berkata apa pun, tapi tangan penuh cinta itu tak henti mengusap punggungku yang berguncang. “Aku gagal, Bu. Aku gagal mempertahan
Mendung terlihat menghiasi langit sore. Gumpalan awan hitam seolah siap memuntahkan kandungan air di dalamnya. Aku duduk termenung menatap gelapnya langit, walau jam masih menunjuk angka tiga sore hari ini. Ada rasa cemas menghantui. Aku tahu ancaman Kak Ros akan mengadu pada Bang Gery tidak akan main-main. Bila ia berkata jujur, aku tak mengapa. Namun, Kak Ros jarang sekali tidak menambah atau mengurangi cerita. "Apa aku benar-benar akan menjadi janda? Ya Tuhan, bagaimana nanti ibuku bila mengetahui nasib malang anak perempuannya ini?" bisikku lirih dalam hati. Kuseka sudut mata yang terasa basah. Kuputuskan menutup jendela, sebab rintik hujan mulai berlomba-lomba jatuh. Kurebahkan tubuhku, dengan pikiran yang terus berkelana entah ke mana, hingga tak sadar mata ini terlelap. Aku tersadar ketika kurasa cuaca semakin dingin. Kulirik jam di pergelangan tanganku. “Astaga, sudah jam sepuluh,” gumamku terkejut. Aku keluar menyisir seluruh ruangan. Tak ada tanda-tanda jika Bang Gery
“Kamu kenapa, Nia?” Kak Ros berteriak dari dalam rumah dan menghampiri Nia yang menangis. “Itu, Tante, Ma,” sahut gadis kecil itu sambil menunjuk aku. Tak lama, Bang Haris dan Bang Gery menyusul. “Kamu apa-apaan, sih, Sus? Masa anak sekecil itu kamu pukul? Emangnya dia salah apaan?” Kak Ros menatapku sinis sambil memeluk Nia yang menangis histeris. “Nggak, nggak begitu…” “Gery, kamu nasehatin dong istri kamu. Masa sama anak kecil begini dia kasar banget. Nggak ada sikap keibuannya, pantas nggak punya anak sampai sekarang,” adu Kak Ros pada Bang Gery. Kutatap Bang Gery yang tengah menatapku dengan tatapan datar. Kuteguk saliva sendiri. Rasanya tatapan Bang Gery seperti seseorang yang siap menelanku bulat-bulat. Ia pun berjalan terdiam hingga saat di sampingku baru ia berkata, “Masuk!” Aku menatap sebentar Bang Haris dan Kak Ros, lalu aku mengikuti langkah Bang Gery masuk ke dalam rumah. “Kamu itu kelewatan, ya, Sus? Sebenarnya keluargaku salah apa sama kamu? Kok kamu jahat git







