Share

Bab 2 Tak Kasat Mata

Author: Luss_Purba
last update Huling Na-update: 2025-08-11 00:58:20

“Tapi, apa? Kamu itu kelewatan, ya!” potong Bang Gery tanpa membiarkan aku menjelaskan.

Kupungut sisa nasi yang berserakan. Aku memilih diam. Tidak enak rasanya beradu argumen dengan suami sendiri, apalagi abang dan kakak iparku masih di sini.

Aku beranjak ke dapur. Kubiarkan sisa bubur tetap di dekat Bang Gery. Kuusap kembali dadanya yang terasa nyeri.

“Apa Abang tidak tahu kalau kita tengah kesulitan biaya saat ini? Ini semua demi kamu, Bang!”

Aku meraup oksigen sebanyak yang kumampu. Kucoba tenangkan pikiran agar aku tak menangis.

“Bang Gery hanya butuh penjelasan aku nanti. Aku pasti bisa menenangkannya.” Hatiku meyakinkan diriku sendiri.

Malam pun tiba, entah kapan abang dan kakak iparku pergi. Aku tak perhatikan lagi. Tebal sekali rasanya wajahku kembali menemui mereka setelah Bang Gery membentakku di hadapan mereka.

“Bang, makan. Ini buburnya sudah siap,” ucapku sambil meletakkan bubur di meja kecil di dekat tempat tidur.

Bang Gery diam, tak menjawab sepatah kata pun. Kukira ia tak mendengarku. Kucoba ulangi lagi, tapi dia malah membentakku.

“Ya udah, letak aja di situ! Kamu pikir aku tuli?”

Aku membuka mulutku lebar. Tak kusangka Bang Gery bisa sekasar itu padaku. Aku mencoba mencari manik mata yang biasa menatapku dengan teduh.

“Bang, kamu kenapa?” Kujatuhkan bobotku di tepi ranjang dan mencoba mencari tahu ada apa sebenarnya.

Bang Gery mendengus dan memalingkan wajahnya. Saat aku mencoba menyentuhnya, dia pun menghempaskan tanganku begitu saja. Sakit, tentu saja. Rasanya aku seperti sebuah benda yang menjijikkan, yang bahkan tak pantas lagi menyentuhnya.

“Apa salahku, Bang?” kucoba bertanya kembali.

Bang Gery menoleh dengan tatapan yang begitu tajam seolah aku sudah melakukan kesalahan yang sangat teramat besar.

“Masih bertanya kamu apa salahmu? Kamu benar-benar nggak punya perasaan, atau hati kamu yang sudah menjadi batu?”

“Maksud Abang?”

Bang Gery mendecih. Ia melirik dengan ekor matanya, lalu membuang mukanya kembali.

“Sok polos kamu itu. Nggak nyangka kamu setega itu sama Ijul. Kamu tahu, saat ini Vania akan masuk sekolah, biaya masuk sekolah itu mahal. Tega-teganya kamu menagih hutang. Di mana perasaanmu?” cecarnya.

Aku pun menghela napas. Kini aku tahu sumber masalahnya. Aku menekan kembali amarah yang hampir memuncak. Kutatap lembut wajah Bang Gery dan kucoba jelaskan yang sebenarnya. Aku berharap Bang Gery mampu memahami kondisiku saat itu.

Namun, ternyata tidak. Dia tetap mengatakan aku yang tidak punya rasa empati. Aku yang salah, dan aku yang tidak mampu mengerti keadaan adiknya. Aku terisak ketika Bang Gery meninggalkanku dan pergi tanpa menyentuh makanan yang sudah dimasak susah payah.

Hatiku rasanya sesak. Aku berjuang demi dia, tapi dia malah demikian padaku. Tak ingin rasanya aku menangis, tapi air mata ini jatuh tanpa bisa kucegah.

“Oh, Tuhan. Kenapa Bang Gery jadi begini?”

Malam pun beranjak semakin larut. Setelah dari kamar, aku tidak tahu ke mana perginya Bang Gery. Kulirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul sebelas malam. Aku kembali mengkhawatirkan Bang Gery yang baru saja sakit. Aku takut ia kembali sakit.

Aku memutuskan mencarinya ke rumah Kak Ros, tapi ketika hendak menggapai pintu, tiba-tiba Bang Gery sudah pulang. Aku menghela napas lega, akhirnya dia pulang juga.

“Abang dari mana? Abang mau makan? Biar buburnya aku panaskan,” tawarku sambil mengikuti langkahnya dari belakang.

Ia melepas jaketnya dan melemparkannya ke sembarang arah. “Tak perlu!” ketusnya membuat aku mematung sejenak.

“Oh, atau Abang dari tempat Kak Ros?”

“Bukan urusanmu!”

Lagi-lagi jawabannya berhasil menyayat hatiku. Terlihat cengeng sekali aku ini, tapi aku benar-benar tak tahu mengapa Bang Gery berubah seperti itu hanya karena hutang yang kutagih, bahkan belum dibayar sama sekali.

Malam ini berlalu begitu lambat. Kami tidur seranjang, tapi bak dua insan yang tak saling mengenal. Aku mencoba menawarkan bantuan mengambil air ketika ia batuk. Semua pertolonganku ia tolak, dan ia mengabaikan semua ucapanku.

Kami seperti dua orang yang tak saling melihat. Ia seolah tak mendengar suaraku meskipun aku berbicara berulang kali. Jika seperti ini, rasanya lebih baik ia memakiku daripada terus menjadi seseorang yang tidak kasat mata.

Fajar menyingsing, menghapus kegelapan malam. Aku pun terbangun walau mataku rasanya masih berat sekali. Kutatap Bang Gery yang masih meringkuk nyaman di balik selimut. Kurentangkan tubuh dan mencoba kembali berharap sesuatu yang baik terjadi pagi ini.

“Pagi, Bang! Kopinya!” sapaku dengan senyum terbaik, seolah kami tak punya masalah. Aku tidak ingin terus-menerus berselisih paham terhadap suamiku sendiri.

Bang Gery melirik, lalu beranjak dari kursinya dan pergi tanpa menyambut kopi yang sudah aku buatkan.

Kutatap punggung lelaki yang kian lenyap di balik pintu. Kucoba menarik napas lebih dalam, berharap sesak di dada bisa mereda.

“Kau itu jadi istri kok nggak becus, sih, Susi? Pagi-pagi bukannya buatin kopi sama suami, ini malah suamimu ngopi ke rumah kami. Kan harga gula itu mahal.” Kak Ros yang tiba-tiba muncul di pintu dapur yang terbuka lebar, mengoceh tanpa basa-basi.

“Bang Gery ke rumah Kakak?” tanyaku mencoba memastikan.

“Lah, selain malas, tukang ngungkit, sekarang kamu budek juga? Duh, sial sekali Gery memperistri perempuan seperti kamu. Sudah mandul, jelek, gendut, pemalas. Entah dukun mana yang kamu suruh memelet adikku,” tuduhnya tanpa perasaan.

“Kak, Kakak kok gitu?” Aku sedikit menaikkan nada suaraku.

“Kekek ke begete, dih!” Kak Ros mengulang ucapanku dengan mengejek. Tangan lincah menggagahi tempat perbumbuanku. “Nih, aku ambil bumbu. Suamimu minta dimasakin sup. Katanya kamu nggak becus jadi istri,” sambungnya, kemudian berlalu begitu saja.

Kutatap bumbu yang sudah dihaluskan. Padahal hari ini aku juga berencana masak sup ayam kesukaan Bang Gery. Akhirnya kuurungkan saja, sebab percuma jika tidak ada yang memakannya.

Hingga sore menjelang, Bang Gery tak kunjung kembali. Kali ini kubiarkan saja. Kuharap setelah dia kembali, perasaannya akan lebih baik dan bisa diajak bicara baik-baik. Kuputuskan mengangkat jemuran yang sangat banyak. Sepulang dari rumah sakit, cucian kami menumpuk. Aku bahkan menambah tali jemuran karena tidak muat di tempat biasa.

“Nia, jangan main lumpur di bawah jemuran. Nanti kain Tante kena,” ucapku pada gadis kecil berusia sembilan tahun.

Dia tak menghiraukan laranganku. Aku menghela napas pelan, lalu berjalan menemuinya.

“Nia, jangan main lumpur di situ. Nanti kain Tante kena.” Kuulangi ucapanku, tapi Nia tetap tak mendengarkanku.

“Nia!” aku meninggikan suaraku.

Gadis kecil itu menatapku tajam. Dia semakin kuat menghentakkan kakinya ke atas lumpur hingga mengenai selimut yang terjemur di sana.

“Ih, Nia! Tuh lihat kain Tante kotor!” Aku menarik tangan gadis itu. Aku meyakini sangat pelan, hanya agar dia menjauh dari lumpur itu. Tapi Nia malah menjerit seperti orang yang baru kena pukul.

“Kenapa kamu, Nia?” Kak Ros berlari dari dalam rumahnya, menghampiri Nia yang tengah menangis.

“Itu, Tante. Aku dimarahi!” Nia menunjuk aku yang mematung tak percaya. Bisa-bisanya gadis sekecil itu sudah pandai memfitnah orang.

“Oh, Tuhan, ampuni dosaku!”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 5 Memulai Hidup Baru

    Ibu terkejut ketika melihat aku turun dari angkot dengan menenteng tas pakaian yang cukup besar. “Loh, kan Ibu sudah bilang, jangan nginap di mari kalau nggak bersama Gery.” Ibu menghampiriku. “Aku diusir, Bu!” sahutku. “Apa?” Ibu terlihat sangat kaget. Aku tahu, dia pasti tidak percaya, sebab selama ini hubunganku dengan Bang Gery jarang ada masalah. Jikapun ada, aku memilih tidak bercerita. Kuhampaskan tubuhku ke atas kasur yang terlihat terawat, walau aku jarang menggunakannya. Ibu pun menyusulku. Aku tahu, wanita tua itu pasti akan mencecarku dengan berbagai tanya. “Maafkan Susi, Bu!” ucapku sebelum Ibu bersuara. “Sebenarnya, apa yang terjadi?” Ibu menatapku begitu lekat. Aku memilih memeluknya dan menumpahkan air mataku tanpa mengucapkan apa pun padanya. Kuharap, Ibu memahami luka hati ini. Kurasakan belaian lembut menghangatkan jiwaku. Ia tak berkata apa pun, tapi tangan penuh cinta itu tak henti mengusap punggungku yang berguncang. “Aku gagal, Bu. Aku gagal mempertahan

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 4 Pergi

    Mendung terlihat menghiasi langit sore. Gumpalan awan hitam seolah siap memuntahkan kandungan air di dalamnya. Aku duduk termenung menatap gelapnya langit, walau jam masih menunjuk angka tiga sore hari ini. Ada rasa cemas menghantui. Aku tahu ancaman Kak Ros akan mengadu pada Bang Gery tidak akan main-main. Bila ia berkata jujur, aku tak mengapa. Namun, Kak Ros jarang sekali tidak menambah atau mengurangi cerita. "Apa aku benar-benar akan menjadi janda? Ya Tuhan, bagaimana nanti ibuku bila mengetahui nasib malang anak perempuannya ini?" bisikku lirih dalam hati. Kuseka sudut mata yang terasa basah. Kuputuskan menutup jendela, sebab rintik hujan mulai berlomba-lomba jatuh. Kurebahkan tubuhku, dengan pikiran yang terus berkelana entah ke mana, hingga tak sadar mata ini terlelap. Aku tersadar ketika kurasa cuaca semakin dingin. Kulirik jam di pergelangan tanganku. “Astaga, sudah jam sepuluh,” gumamku terkejut. Aku keluar menyisir seluruh ruangan. Tak ada tanda-tanda jika Bang Gery

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 3 Di Ujung Tanduk

    “Kamu kenapa, Nia?” Kak Ros berteriak dari dalam rumah dan menghampiri Nia yang menangis. “Itu, Tante, Ma,” sahut gadis kecil itu sambil menunjuk aku. Tak lama, Bang Haris dan Bang Gery menyusul. “Kamu apa-apaan, sih, Sus? Masa anak sekecil itu kamu pukul? Emangnya dia salah apaan?” Kak Ros menatapku sinis sambil memeluk Nia yang menangis histeris. “Nggak, nggak begitu…” “Gery, kamu nasehatin dong istri kamu. Masa sama anak kecil begini dia kasar banget. Nggak ada sikap keibuannya, pantas nggak punya anak sampai sekarang,” adu Kak Ros pada Bang Gery. Kutatap Bang Gery yang tengah menatapku dengan tatapan datar. Kuteguk saliva sendiri. Rasanya tatapan Bang Gery seperti seseorang yang siap menelanku bulat-bulat. Ia pun berjalan terdiam hingga saat di sampingku baru ia berkata, “Masuk!” Aku menatap sebentar Bang Haris dan Kak Ros, lalu aku mengikuti langkah Bang Gery masuk ke dalam rumah. “Kamu itu kelewatan, ya, Sus? Sebenarnya keluargaku salah apa sama kamu? Kok kamu jahat git

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 2 Tak Kasat Mata

    “Tapi, apa? Kamu itu kelewatan, ya!” potong Bang Gery tanpa membiarkan aku menjelaskan. Kupungut sisa nasi yang berserakan. Aku memilih diam. Tidak enak rasanya beradu argumen dengan suami sendiri, apalagi abang dan kakak iparku masih di sini. Aku beranjak ke dapur. Kubiarkan sisa bubur tetap di dekat Bang Gery. Kuusap kembali dadanya yang terasa nyeri. “Apa Abang tidak tahu kalau kita tengah kesulitan biaya saat ini? Ini semua demi kamu, Bang!” Aku meraup oksigen sebanyak yang kumampu. Kucoba tenangkan pikiran agar aku tak menangis. “Bang Gery hanya butuh penjelasan aku nanti. Aku pasti bisa menenangkannya.” Hatiku meyakinkan diriku sendiri. Malam pun tiba, entah kapan abang dan kakak iparku pergi. Aku tak perhatikan lagi. Tebal sekali rasanya wajahku kembali menemui mereka setelah Bang Gery membentakku di hadapan mereka. “Bang, makan. Ini buburnya sudah siap,” ucapku sambil meletakkan bubur di meja kecil di dekat tempat tidur. Bang Gery diam, tak menjawab sepatah kata pun. K

  • Petaka Menagih Hutang Ipar   Bab 1 Kambing Hitam

    “Selamat pagi, Jul. Maaf mengganggu,” ucapku, menyapa adik bungsu suamiku melalui sambungan telepon.“Ya, mau apa? Cepatlah, aku buru-buru,” sahutnya, terdengar ketus.Aku menarik ujung bibirku dengan gugup. Sesungguhnya, aku begitu sungkan. Namun, aku tidak punya pilihan.“Anu… kamu masih ingat uang yang kamu pakai tiga tahun lalu? Maksudku, bolehkah aku memintanya kembali? Abangmu sedang dirawat di rumah sakit,” jelasku dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya.Kudengar dengusan kasar dari seberang. “Uang apa?”“Uang yang dulu kamu pinjam buat berobat Vania. Kamu masih ingat, kan?”“Astaga, Kak! Jadi selama ini Kakak nggak ikhlas buat berobat keponakan Kakak? Cuma tiga juta, loh, Kak! Ya ampun… masa begitu saja ditagih?”Aku terdiam. Seingatku, saat itu dia tidak mengatakan ‘meminta’, tetapi ‘meminjam’. Andai dia meminta, aku tidak akan sampai menjual cincin milikku.“Tapi, kali ini aku sangat butuh. Abangmu dirawat di rumah sakit. Kami butuh banyak bia

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status