All Chapters of Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku: Chapter 91 - Chapter 100

Angin pagi berhembus membawa hawa lembap dari utara. Sejak fajar, langit ibu kota tampak aneh seolah ada kabut halus yang datang terlalu jauh dari musimnya. Lin Qian berdiri di serambi Balai Medis, menatap ke arah pegunungan jauh yang hanya tampak samar di balik awan. Hatinya berdebar, seakan darah di tubuhnya mengenali panggilan yang datang dari sana.Ia memegang surat Mei Lian yang kini lusuh di tangannya. Kata-kata terakhir sang leluhur terngiang di kepalanya, “Bila kabut putih turun sebelum waktunya, ketahuilah bahwa naga Shenlan mulai gelisah.”Langkah pelan terdengar dari belakang. Wang Rui datang dengan mengenakan jubah perjalanan warna gelap, tanpa lambang kekaisaran di dadanya.“Persiapan sudah selesai.” katanya lembut. “Kuda dan pengawal rahasia sudah menunggu di gerbang timur.”Lin Qian menoleh, matanya menyapu wajah lelaki itu. Tegas, tapi mata hitamnya tampak menahan sesuatu yang lembut.“Yang Mulia tidak perlu ikut

Langit di atas Gunung Shenlan telah berubah. Kabut merah yang semalam menutupi puncak perlahan sirna, tergantikan cahaya putih lembut yang jatuh seperti salju musim pertama. Setiap hela napas terasa hangat meski udara tetap dingin, seolah gunung itu baru saja menghembuskan napas panjang setelah tidur ribuan tahun.Lin Qian berdiri di tepi kolam naga, memandangi air yang kini sebening kristal. Wajahnya pucat, tapi matanya tenang. Di dalam air, bayangan naga Shenlan sudah menghilang, meninggalkan permukaan air yang bergelombang pelan.“Sudah selesai...” katanya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Wang Rui berdiri di belakangnya, membawa sisik perak yang ditemukannya semalam. Cahaya lembut dari benda itu masih berdenyut pelan, menandakan sisa kehidupan naga yang tertinggal di dalamnya.“Gunung ini akan tertidur kembali,” ucapnya. “Dan dunia akan mengira semuanya hanyalah legenda.”Lin Qian mengangguk pelan. “Memang seharusnya begitu. Shenlan tidak butuh saksi, hanya penjaga.”Ia menatap

Musim gugur perlahan berganti ke musim dingin. Hujan tipis turun di atas atap Balai Medis Kekaisaran, membasuh aroma obat yang menguap dari tungku di setiap ruangan.Suasana di aula utama hari itu lebih sibuk dari biasanya. Para tabib berdiri rapi, menundukkan kepala ke arah perempuan muda berseragam biru muda yang berdiri di depan mereka.“Mulai hari ini,” suara Kepala Balai Medis terdengar lantang. “atas titah Yang Mulia Kaisar, Tabib Lin diangkat menjadi Zhongyi Taifu, Tabib Agung, sekaligus pengajar bagi para tabib junior.”Sorak kecil tertahan di antara barisan. Gelar itu bukan pangkat biasa, jarang sekali diberikan pada tabib yang usianya belum genap tiga puluh tahun.Lin Qian menunduk dalam, wajahnya tenang meski jantungnya berdebar cepat. Ia menerima gulungan perintah keemasan dari tangan kepala balai dengan dua tangan.“Hamba akan menjaga kehormatan tugas ini dengan sepenuh hati.” jawabnya dengan penuh keyakinan dan percaya diri.Para tabib membungkuk memberi hormat. Sebagian

Udara pagi di Istana Tengah terasa ganjil sejak Kaisar jatuh sakit. Semua orang berjalan dengan langkah hati-hati, seakan sekadar hembusan napas bisa menimbulkan bisik-bisik baru. Lin Qian berdiri di bawah naungan paviliun, memandang kolam teratai yang tampak beku meski matahari sudah naik tinggi. Ia tahu jika ingin menemukan penyebab sakitnya Wang Rui, ia harus menelusuri semua hal yang berkaitan dengan kesehariannya. Dapur utama istana berdiri di bagian timur kompleks, tempat para juru masak sibuk menyiapkan makanan untuk ratusan orang setiap hari. Begitu Lin Qian melangkah masuk, semua aktivitas langsung berhenti. Panci mendesis, pisau berhenti di udara, dan puluhan mata tertuju padanya. “Tabib Agung Lin?” salah satu juru masak menunduk gugup. Lin Qian memberi isyarat lembut dengan tangannya. “Lanjutkan pekerjaan kalian. Aku hanya ingin melihat bahan makanan untuk Kaisar.” Suara berulang dari wajan dan kuk

Pagi itu langit Wangjing tampak pucat, seolah ikut menanggung beban rahasia yang belum terungkap. Lin Qian duduk di ruang pribadinya, memandangi serpihan abu dari dupa berwarna ungu kebiruan yang ia kumpulkan malam sebelumnya. Wadah porselennya diletakkan di atas meja batu, sementara alat-alat penguji sederhana telah siap di sampingnya. Yue Er berdiri di dekat pintu, menahan napas, tak ingin mengganggu. “Apakah anda akan memeriksa komposisi dupa itu sekarang?” Lin Qian mengangguk tanpa menoleh. “Jika sumber penyakit Kaisar benar-benar berasal dari sini, maka sekecil apa pun perubahan warnanya harus punya sebab.” Dengan pinset perak, ia mengambil sejumput abu dan meneteskan cairan uji di atasnya. Butiran halus itu mendesis pelan, tapi tak menunjukkan perubahan mencolok. Lin Qian mengerutkan kening, lalu mencoba dengan cairan kedua. Hasilnya sama. “Tak ada reaksi. Ini… benar-benar dupa biasa.” gumamnya pelan. Yue Er tampak bingung. “Bagaimana mungkin, Tabib Lin? Ujungnya jelas