บททั้งหมดของ Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas: บทที่ 91 - บทที่ 100

"Rencana? Apa kamu ada ide?" Rhevan memicingkan matanya, pandangannya serius menatap Amanda yang duduk di seberangnya. Nada suaranya terdengar datar, tapi sorot matanya mengandung rasa ingin tahu yang dalam. "Aku—" Belum sempat Amanda bicara, seorang pelayan datang membawa pesanan mereka. Bunyi dentingan piring di atas meja membuat suasana tegang seketika mencair. Amanda tersenyum kikuk, berusaha menutupi kegugupan yang sempat muncul di wajahnya. "Kita makan dulu, Mas! Nanti kita bicarakan lagi," ujarnya cepat sambil mengambil sendok. Meskipun rasa penasaran menggelitik benak Rhevan, pria itu memilih menahan diri. Ia hanya mengangguk kecil, kemudian mulai menyendok makanannya perlahan. Sementara itu, Amanda sesekali melirik ke arah Rhevan dengan wajah gelisah. Tangannya sempat bergetar saat mengaduk jus di depannya. Hatinya terasa berat — antara ingin jujur atau tetap menyembunyikan apa yang telah ia lakukan.'Kalau aku jujur, Mas Rhevan pasti marah besar. Tapi kalau terus ditutu

"Oh ya, Ga," Nadine membuka suara setelah menatap Dirga beberapa saat. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit di atas meja. "Tadi di restoran, kenapa kamu buru-buru ngajak pergi? Emangnya ada apa?" Dirga yang tengah menyesap es tehnya sejenak terdiam. Tatapannya tidak langsung mengarah ke Nadine, melainkan ke arah mangkuk mie di hadapannya. Lalu dengan nada datar tapi bermakna, ia berkata, “Aku liat duo dajjal tadi.” Nadine sontak membelalak. “Kamu liat Mas Rhevan sama Amanda?” ulangnya, setengah tak percaya. “Kok kamu gak bilang?” Dirga mengangkat wajahnya pelan. Wajahnya tampak lelah, tapi senyumnya tetap tenang. “Aku gak mau momen hari ini rusak karena mereka berdua,” ujarnya lirih, nada suaranya berat. “Tapi, Ga…” Nadine mencondongkan tubuhnya sedikit. “Itu bisa dijadikan bukti lainnya, kan?” “Ya tau, Nad.” Dirga menghela napas panjang, menatap gadis itu dengan lembut. “Tapi kan sekarang kita lagi ngerayain momen kamu keterima kerja. Aku gak mau kamu jadi sedih cuma gara-gara mere

"Apa-apaan ini?" sentak Rhevan dengan suara yang meninggi begitu tudung saji dibuka. Matanya melotot ke arah meja makan, di sana terdapat dua piring nasi, tahu dan tempe, juga sambal. Menu itu cukup sederhana. Sangat sederhana malah. Wajah Rhevan langsung menegang, rahangnya tampak mengeras. "Kamu cuma masak ini?" Nadine yang berdiri di dekat meja menunduk pelan, tapi suaranya tetap tenang. "Iya, Mas. Ada masalah?" Rhevan meliriknya tajam. "Mana ayamnya? Daging? Sayur?" Nadine menarik napas dalam-dalam sebelum menatap suaminya dengan lembut. "Mas..." panggilnya pelan, "maafin aku ya." Nada suaranya membuat Rhevan sedikit ragu. Dahi pria itu berkerut, sorot matanya waspada. "Ada apa lagi?" tanyanya kaku. Nadine menggigit bibir bawahnya sebelum bicara lirih, "Sebenarnya uang belanja yang Mas kasih, udah aku belikan baju sama make up." Beberapa detik berlalu dalam hening yang mencekam. Sampai akhirnya Rhevan bersuara keras, "Apa kamu bilang?" Nada marahnya menggema di ruang makan.

Rhevan keluar dari rumah dengan setelan kerja rapi: kemeja biru tua, celana bahan hitam, dan sepatu kulit mengilap. Di belakangnya, Nadine berjalan anggun mengikutinya. Baru beberapa langkah mereka keluar dari pagar, suara ceria menyapa dari halaman seberang. “Mas Rhevan! Mbak Nadine! Kalian pagi-pagi gini udah pada rapi. Mau ke mana?” Rhevan mendongak dengan wajah datar. Di halaman rumahnya, Dirga, tetangga sekaligus musuh lamanya, sedang jogging kecil dengan earphone menggantung di leher dan botol minum di tangan. “Kerja. Kamu pikir ke mana?” balas Rhevan ketus tanpa basa-basi. Dirga tersenyum santai, matanya melirik ke arah Nadine yang berdiri di belakang suaminya. “Mbak Nadine juga mau kerja?” tanyanya dengan nada ramah, lalu menambahkan dengan nada menggoda, “Kok cantik banget pagi ini.” Nadine tersenyum sopan. “Iya, Mas. Hari ini hari pertama saya kerja.” Suaranya lembut tapi terdengar mantap, menunjukkan rasa percaya dirinya yang baru tumbuh. “Oh ya? Wah, selamat ya, M

"Ini benar ruangan saya?" Nadine terperangah begitu melihat ruangan tempat kerjanya. Ruangan itu memiliki gaya tata letak terbuka yang rapi dan modern. Meja-meja berwarna terang dengan laci penyimpanan di bawahnya tersusun berjajar rapi, dipisahkan oleh partisi abu-abu rendah. Kursi ergonomis berwarna putih dengan sandaran jaring hitam tampak nyaman hanya dengan sekali lihat. Setiap meja dilengkapi satu komputer, keyboard, telepon, dan perlengkapan kantor seperti map, sticky note, serta pulpen berlogo perusahaan. Lampu putih di langit-langit membuat ruangan itu terasa bersih dan profesional, meski sedikit dingin bagi seseorang yang baru pertama kali bekerja di lingkungan sebesar ini. Di dalam ruangan itu, sudah ada tiga orang karyawan lain yang tampak fokus dengan pekerjaan masing-masing. Mereka sesekali menunduk ke layar komputer, mengetik cepat, atau berbicara pelan di telepon. “Ini ruang kerja kamu,” ujar Bu HRD dengan senyum ramah. Ia menunjuk salah satu meja kosong di sisi te