บททั้งหมดของ Malam Pertama Sang Istri Kontrak: บทที่ 31 - บทที่ 40

Sejak pengkhianatan Lani terbongkar, rumah besar ini terasa berbeda. Para pelayan berjalan dengan wajah tertunduk, seolah takut setiap gerakan mereka akan dicurigai. Aku sendiri tidak lagi bisa mempercayai siapa pun selain suamiku. Setiap kali aku melangkah di lorong panjang itu, aku merasa ada mata-mata tak terlihat yang mengawasi. Aku mencoba menenangkan diri dengan berkata dalam hati bahwa semua sudah selesai, bahwa dengan ditangkapnya Lani maka ancaman pun berhenti, tapi hatiku tahu kebenaran yang pahit: ini baru permulaan.Pagi itu, aku turun ke ruang makan dengan langkah lemah. Suamiku sudah duduk di kursi utama, jasnya rapi, wajahnya serius seperti biasa. Di depannya ada tablet yang terus ia baca, dahinya berkerut dalam. Aku mendekat dengan ragu, duduk di sampingnya, lalu bertanya pelan, “Ada apa?” Ia menoleh padaku, matanya dingin, lalu mendorong tablet itu agar aku bisa melihat. Layar menampilkan sebuah artikel di portal berita: “Istri kontrak bos besar kedapatan s

Hari itu suasana rumah kembali terasa mencekam, seolah udara sendiri ikut menahan napas menunggu sesuatu yang akan terjadi. Setelah gosip baru tersebar, aku merasa langkah kakiku semakin berat. Setiap kali membuka ponsel, beranda dipenuhi kabar tentangku, sebagian menghina, sebagian berspekulasi. Rasa malu, marah, dan takut bercampur jadi satu. Namun di tengah semua itu, suamiku justru terlihat lebih tenang dibanding biasanya. Sorot matanya dingin, bibirnya tipis tanpa senyum, tapi gerakannya penuh perhitungan. Ia seakan menyembunyikan sesuatu yang besar. Saat kami duduk berdua di ruang kerja malam itu, ia menatapku lama sebelum berkata lirih tapi tajam, “Aku tahu mereka akan bergerak lagi. Dan kali ini, aku tidak akan hanya bertahan. Aku akan membuat mereka keluar dari persembunyian.” Kata-kata itu membuatku merinding. Aku menatapnya dengan cemas. “Apa maksudmu?” Ia mendekat, jemarinya meraih tanganku, genggamannya kuat. “Aku akan berpura-pura percaya pada fitnah itu. Aku akan memb

Hari itu rumah besar terasa jauh lebih penuh dari biasanya. Meja makan panjang dihiasi taplak putih bersulam emas, piring porselen berjejer rapi, lilin kristal menyala dengan cahaya lembut. Dari luar, semua tampak mewah dan anggun, tapi dari dalam aku bisa merasakan hawa dingin yang menekan dada. Ini bukan sekadar makan malam keluarga; ini adalah panggung tempat aku dihakimi. Sejak aku melangkah masuk ke ruang makan, tatapan sinis menghujani tubuhku. Beberapa kerabat berbisik pelan sambil menahan tawa, dan aku bisa menebak isi pembicaraan mereka: gosip tentang istri kontrak yang katanya berselingkuh, gosip tentang aku yang mempermalukan keluarga besar. Aku berjalan dengan langkah berat, duduk di samping suamiku, mencoba menundukkan kepala, namun rasanya seluruh tubuhku terbakar.Ibu mertua duduk di kursi utama, wajahnya tampak tenang namun sorot matanya tajam seperti pedang. Begitu semua orang duduk, ia memulai percakapan dengan suara keras agar semua mendengar. Katanya kel

Sejak rencana ibu mertua terbongkar, rumah besar ini tidak pernah lagi terasa sama. Dinding-dindingnya berdiri megah, lampu gantung masih berkilau, tapi udara di dalamnya dingin, penuh tekanan, seakan setiap lorong menyimpan mata yang mengawasi. Aku melangkah pelan di koridor panjang, mendengar detak jam dinding berdentum begitu keras di telingaku. Setiap tatapan pelayan membuat dadaku bergetar; aku tidak tahu siapa di antara mereka yang masih netral, siapa yang diam-diam sudah memihak ke luar.Suamiku semakin memperketat keamanan, memeriksa telepon staf, memasang kamera baru di beberapa sudut. Ia bahkan membatasi akses orang luar, memerintahkan agar tidak ada tamu diterima tanpa sepengetahuannya. Dari luar terlihat seperti perlindungan, namun dari dalam aku bisa merasakan ketegangan yang makin tebal. Karena semakin ia mengontrol, semakin jelas ibu mertuaku merasa dipaksa, dan kebenciannya padaku tumbuh lebih besar.Malam itu, ruang tamu dipenuhi kerabat lagi. Semu

Hari itu matahari bersinar terik, namun hawa di hati Alena terasa dingin. Ia baru saja keluar dari butik tempatnya memilih beberapa gaun baru, ditemani bodyguard yang ditugaskan Arka. Setiap langkah terasa diawasi, setiap gerakannya seolah dipantau. Meski pada awalnya ia merasa tidak nyaman, lama-lama ia tahu bahwa ini adalah cara Arka untuk memastikan tidak ada lagi orang yang mencoba merusak kepercayaannya.Namun, rencana hari itu tidak berjalan semulus yang ia kira. Saat ia melangkah ke arah mobil yang menunggunya, sebuah suara yang begitu familiar menyapanya dari kejauhan. “Alena…”Tubuhnya langsung kaku. Ia mengenali suara itu. Revan.Pria itu berdiri beberapa meter darinya, mengenakan kemeja biru rapi, wajahnya dihiasi senyum yang seolah-olah penuh kerinduan. Bodyguard segera melangkah maju, mencoba menghalangi, namun Revan mengangkat tangan dengan tenang. “Aku hanya ingin bicara sebentar. Tidak lebih.”Alena menggenggam tasnya erat, jantung