บททั้งหมดของ Malam Pertama Sang Istri Kontrak: บทที่ 51 - บทที่ 60

Pagi itu udara kota masih basah oleh sisa hujan semalam, jalanan lengket dengan genangan kecil, langit kelabu seolah menandakan hari ini tidak akan berjalan tenang. Arka duduk di ruang kerjanya sejak subuh, menatap peta digital di layar laptop yang penuh titik merah. Itu bukan sekadar peta biasa, melainkan jalur distribusi uang Consortium yang berhasil ia bongkar dari flashdisk semalam. Angkanya terlalu besar untuk dipercaya, perputaran miliaran rupiah hanya dalam hitungan jam, dan semuanya melewati perusahaan fiktif yang tersebar di beberapa negara. Arka tahu ini bukan hanya sekadar ancaman terhadap keluarganya, ini adalah ancaman terhadap sistem itu sendiri.Alena datang dengan wajah pucat, rambutnya masih terurai basah karena ia baru saja mandi, tapi matanya menunjukkan betapa ia tidak benar-benar tidur. Ia berdiri di samping meja kerja suaminya, menatap layar dengan rasa takut sekaligus kebingungan. “Jadi ini yang mereka lakukan? Semua uang ini… semua kekuatan mereka be

Pagi itu matahari muncul samar di balik awan kelabu, sinarnya lemah, seolah enggan menembus kabut yang masih menggantung di atas kota. Arka berdiri di balkon rumah dengan secangkir kopi yang tak disentuh, matanya tajam menatap jauh ke jalan raya yang basah oleh hujan semalam. Ia tidak hanya melihat jalan kosong, ia melihat kemungkinan, jalur serangan, arah datangnya musuh. Kepalanya dipenuhi strategi, bagaimana melindungi rumah sekaligus menyerang balik Consortium. Tubuhnya masih terasa pegal, luka di lengannya belum sepenuhnya sembuh, tapi pikirannya bekerja tanpa henti. Baginya rasa sakit hanyalah pengingat bahwa ia masih hidup, dan selama ia hidup, ia akan bertarung.Alena keluar dengan langkah pelan, mengenakan gaun rumah sederhana, rambutnya masih sedikit kusut karena malam panjang penuh tangis dan pelukan. Ia berdiri di samping suaminya, menatap wajahnya yang keras, lalu meletakkan tangannya di atas lengan Arka. “Kamu bahkan tidak tidur, ya?” suaranya lirih tapi penuh

Fajar baru saja menembus jendela ketika Arka duduk di ruang kerja dengan map terbuka, peta terpampang di meja penuh coretan merah yang menandai titik-titik operasi musuh; matanya sembab karena semalam hampir tidak tidur, tetapi sorotnya tetap tajam, otaknya bekerja menenun strategi. Di sampingnya tergeletak pistol yang sudah diisi penuh, radio komunikasi menyala dengan suara samar dari tim luar. Di tengah semua itu, Alena berdiri diam di pintu, wajahnya pucat, rambut tergerai, tubuhnya bersandar ke kusen seolah kaki tidak sanggup menopang. “Kau bahkan tidak sempat menyentuh tempat tidur lagi,” katanya lirih, nadanya campuran lelah dan marah. Arka menoleh, menatapnya sebentar, lalu menghela napas panjang. “Aku tidak bisa tidur, Alena. Setiap menit yang kulewatkan tanpa bergerak memberi mereka kesempatan lebih dekat pada kita. Tadi malam kita selamat, tapi itu hanya percobaan. Serangan berikutnya akan lebih besar, lebih terencana.”Alena mendekat, tangannya gemetar meraih map

Arka menutup pintu ruang kerja dengan gerakan yang hampir tanpa suara, lampu yang remang membuat peta Helios memantulkan bercak-bercak cahaya, ia menempelkan telapak tangan ke meja sejenak seperti mengambil napas panjang yang tidak pernah sempat ia ambil selama beberapa hari terakhir; di layar laptop, angka-angka transaksi menggeliat — pola yang sama, perusahaan cangkang, rekening luar, lalu hilang ke labirin yang dibuat untuk menyembunyikan jejak; ia melempar rokok ke asbak yang sudah penuh bekas, menatap Jendra yang duduk di seberang dengan wajah lusuh namun mata yang tak kalah tajam. “Tiga hari kita punya waktu,” gumam Jendra pelan, suaranya seperti menimbang risiko, “Tapi besok rencana Helios dimulai, dan kita harus memaksa mereka bereaksi di tempat yang kita kendalikan, bukan sebaliknya.” Arka mengangguk, memutar kursi, lalu menulis cepat serangkaian langkah di kertas: satu, serang jalur logistik; dua, bocorkan sebagian bukti ke media independen; tiga, isolasi rekening kunci; e

Hujan deras mengguyur kota sejak senja dan membuat jalanan licin berkilau seperti kaca pecah, suara rintik menabrak atap seng safe house berulang-ulang seperti dentuman drum perang, di dalam rumah sederhana itu Arka berdiri tegak di depan jendela dengan tangan menyilang di dada, matanya tajam menatap keluar meski gelap tak memperlihatkan apa-apa, hanya bayangan samar pohon yang bergoyang diterpa angin; di meja kayu panjang di belakangnya berserakan dokumen basah, laptop menyala dengan layar penuh data yang baru saja ia bocorkan, berita-berita internasional bermunculan di layar lain, wajah pejabat tinggi yang tadi pagi masih bicara soal moral kini terpampang dengan label “tersangka korupsi” dan “terhubung dengan Helios”, dunia luar mulai bereaksi namun Arka tahu itu hanya langkah awal, karena musuh tidak akan jatuh hanya dengan berita, mereka akan melawan dengan cara paling kotor. Alena duduk di kursi dekat perapian kecil yang hanya mengeluarkan panas seadanya, selimut melilit tubuhn